Akhir Kisah Joachim Loew

Foto: DFB.

Kisah Joachim Loew bersama Timnas Jerman segera menemui akhir. Namun, akhir yang bagaimana? Akhir yang penuh suka cita atau duka lara? Pilihan itu ada di tangan Loew sendiri.

Jika menjadi Joachim Loew, saya akan memutuskan mundur selepas Piala Eropa 2016.

Semua masih indah saat itu. Okelah, Jerman memang gagal jadi juara. Namun, pada turnamen tersebut, mereka disingkirkan oleh finalis sekaligus tuan rumah, Prancis. Dengan fakta bahwa dua tahun kemudian Prancis berhasil jadi juara dunia, kegagalan Jerman saat itu jelas bisa dimaafkan.

2016 juga tepat satu dekade Loew menjadi pelatih Jerman. Dengan gelar juara Piala Dunia dua tahun sebelumnya, dia akan dikenang sebagai pelatih yang sukses--tanpa borok sedikit pun. Namun, sifat dasar manusia memang tak pernah puas.

Loew masih kekeh untuk mempertahankan jabatannya. Satu tahun sejak kalah di semifinal Piala Eropa itu, dia berhasil membawa Jerman menjadi kampiun Piala Konfederasi. Setelahnya, Jerman babak belur. Di Piala Dunia 2018, mereka gagal total. Jerman tersingkir di fase grup, keok dari Korea Selatan dan Meksiko.

Selepas dari Rusia, Loew tak pernah membawa Die Mannschaft kembali. Mereka jadi bulan-bulanan di ajang UEFA Nations League. Pada edisi 2018/19, mereka cuma mengemas dua poin kala berada di grup yang sama dengan Prancis dan Belanda. Pada edisi setelahnya, Jerman dipermak Spanyol 0-6.

Jerman bukan lagi Jerman lima atau sepuluh tahun sebelumnya. Jerman tak lagi menjadi kekuatan menakutkan, di Eropa ataupun dunia. Tentu saja, itu membuat pamor Loew tercoreng. Ketika mengumumkan akan mengundurkan diri selepas Piala Eropa 2020 (yang akan berlangsung musim panas 2021), Loew sudah terlanjur membawa kesuksesan dan kegagalan di kantungnya.

***

Ketika pertama kali ditunjuk jadi pelatih, Joachim Loew fokus membuat para pemainnya tidak berlama-lama dalam memegang bola. Dia ingin mengembalikan sepak bola Jerman yang direct. Bola harus diumpan secepat mungkin. Permainan harus berlangsung cepat. Dengan tiga sampai empat umpan, bola sudah harus berada di sepertiga area akhir lawan.

Ini kemudian ditunjukkan oleh Loew pada Piala Eropa 2008. Dengan pemain-pemain seperti Lukas Podolski, Bastian Schweinsteiger, dan Michael Ballack, Loew benar-benar membuat Jerman tampil menakutkan. Mereka bisa mencetak gol lewat proses yang sangat cepat. Ini, bagusnya, juga dipadukan dengan fisik para pemain Jerman yang tangguh.

Pada Piala Dunia 2010, Loew juga masih membawa napas yang sama. Bahkan saat itu Jerman menjelma menjadi mesin counter-attack yang sangat mengerikan. Mereka boleh saja diserang terus oleh lawan-lawannya, tapi ketika mendapat kesempatan menyerang balik, Thomas Mueller dkk. tak terhentikan. Inggris dihajar 4-1 dan Argentina dipermalukan 4-0 di Afrika Selatan.

Puncak dari semua itu tentu saja terjadi di Piala Dunia 2014. Di Brasil, permainan direct Jerman dipadukan dengan penguasaan bola yang bagus. Jerman masih menyerang dengan cepat, tetapi mereka juga tak cepat kehilangan bola karena bisa menguasainya.

Jerman mencatatkan 57,6 % penguasaan bola per pertandingan di ajang tersebut. Catatan itu adalah yang tertinggi kedua setelah milik Spanyol. Dan bagusnya lagi, Loew mampu membuat anak asuhnya cuma kehilangan bola rata-rata 10,4 kali per pertandingan. Angka itu jadi salah satu yang paling sedikit di turnamen, terutama jika dibandingkan dengan tim delapan besar.

Pada Piala Dunia 2014, Jerman juga bisa memanfaatkan celah sekecil apa pun untuk bisa menciptakan gol. Mereka mampu menghukum celah-celah di pertahanan lawan dengan serangan kilat yang dipadukan umpan satu-dua sentuhan yang menawan. Brasil mereka libas 7-1 dan kemudian mereka jadi juara dunia.

Foto: DFB

Sayangnya, selepas itu, Jerman yang muncul adalah Jerman yang berbeda. Jika diibaratkan film, ini adalah chapter II. Judul sama, alur dan kisah berbeda. Di sini Loew mulai keranjingan penguasaan bola. Serangan Die Manschaft tak lagi secepat kilat. Blitzkrieg hilang.

Di Piala Dunia 2018, mereka justru yang sering kecolongan lewat serangan balik cepat yang diluncurkan lawannya. Jerman terlalu fokus pada penguasaan bola, serangan mereka melambat. Di Rusia, mereka mencatatkan rata-rata 65,3% penguasaan bola per laga. Angka ini naik drastis ketimbang saat mereka jadi juara dunia.

Loew dikritik karena Jerman sudah tak cepat lagi. Serangan mereka terlalu bertele-tele. Anak-anak asuhnya juga tak bisa merilis counter-attack mematikan sebelum sebelum-sebelumnya. Belum lagi lini pertahanan memburuk. Jerman terlalu mudah diserang oleh lawannya.

Selepas Piala Dunia 2018, Pelatih berusia 61 tahun itu masih mengandalkan penguasaan bola sembari coba mengembalikan serangan balik cepat Jerman. Namun, pertahanan terlalu lembek dan lini serang belum matang. Loew kesulitan mengembalikan Jerman ke performa terbaik.

Apalagi saat ini Jerman masih berada di situasi yang tak bagus-bagus amat dalam hal regenerasi. Pemain-pemain yang seharusnya jadi andalan seperti Timo Werner, Kai Havertz, Leroy Sane, Serge Gnabry, Joshua Kimmich, atau Ilkay Guendogan belum terlalu konsisten ketika berseragam Tim Nasional.

Di satu sisi, Loew masih tetap tak mau memanggil pemain-pemain seniornya. Thomas Mueller, Jerome Boateng, dan Matts Hummels masih ditepikan. Padahal ketiganya tampil gemilang bersama klub masing-masing, meski usianya sudah tak muda lagi. Banyak orang meyakini trio ini bisa memberikan impak positif buat Jerman.

Terkhusus Boateng dan Hummels, keduanya diharapkan bisa memperbaiki lini pertahanan Jerman yang lembek. Kebetulan, selepas keduanya tak masuk skuad, Jerman tak punya bek yang memiliki kualitas kelas satu. Antonio Ruediger, Niklas Suele, Matthias Ginter, sampai Robin Koch masih angin-anginan.

Tak sempurnanya regenerasi inilah yang juga ditengarai jadi alasan di balik melempemnya Jerman di bawah Loew dalam beberapa tahun terakhir. Padahal, sebelum ini, Loew terkenal jago mengembangkan pemain muda. Mueller, Boateng, Hummels, Manuel Neuer, Mesut Oezil, sampai Sami Khedira adalah pemain yang diorbitkan Loew.

Kini, pria yang jadi pelatih dengan masa bakti paling lama untuk Timnas Jerman itu harus bisa menemukan cara agar skuadnya tak bolong-bolong. Jika ingin memaksimalkan pemain muda, Loew harus fokus untuk mencari formula agar skuadnya bisa matang di Piala Eropa 2020 nanti.

Kalau ternyata dia ingin mengembalikan nama-nama senior ke skuad, Loew juga harus membuat mereka padu dengan pemain-pemain yang lebih junior agar skuad Jerman kembali kuat. Dan yang jelas, Jerman harus kembali cepat. Sebab itu yang membuat mereka bisa melaju jauh di kompetisi-kompetisi mayor bersama Loew.

Pola 3-4-2-1 yang jadi andalan harus dimaksimalkan untuk tak hanya memperkuat pertahanan, tapi juga membuat Blitzkrieg kembali muncul. Istilah itu sendiri hadir ketika Jerman mampu menghadirkan serangan kilat untuk menghajar celah di pertahan lawannya. Loew harus mampu menjadikan itu senjata di Piala Eropa 2020 nanti.

***

Di Piala Eropa 2020 nanti, Loew sendiri yang akan menentukan bagaimana kisahnya bersama Jerman akan ditutup. Entah dengan kegagalan, atau dengan keberhasilan. Jika ternyata berhasil ditutup dengan prestasi, maka rapor buruk Loew dalam beberapa tahun terakhir pasti bisa dilupakan.

Namun, ketika yang hasilnya ternyata buruk seperti yang sudah-sudah, maka Loew harus tahu bahwa pamornya tak secemerlang lima tahun lalu. Sebab saat gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, Loew pergi meninggalkan kesuksesan dan kegagalan yang sama besarnya.

Jangan sampai pembicaraan tentang siapa yang jadi penggantinya lebih nyaring ketimbang pembicaraan tentang kesuksesannya bersama Jerman.