Nasib Buruk, Nasib Baik, dan Sepak Bola

Foto: St. Pauli

Sepak bola acap kali memang bisa jadi refleksi yang baik terhadap kehidupan.

Hidup berkelindan di antara nasib baik dan nasib buruk. Terkadang kau menghampiri yang satu, lalu yang kedua datang padamu. Terkadang kau mendapatkan keduanya dalam satu paket yang sama. Baik-buruk, kebahagiaan-kesedihan tak bisa dijadwal. Mereka tak mengenal kerja sif.

Sepekan terakhir kabar yang benar-benar buruk mungkin sampai di telingamu, mengacaukan pikiranmu, melenyapkan semangatmu. Namun, pada satu hari, kau bisa menerima kabar baik yang pada akhirnya membantumu melanjutkan kehidupan tanpa terus menundukan kepala dan menyeka air mata. Bahwa masih ada asa tersisa di sana, kecil-besarnya tak jadi perkara.

Dalam konteks sepak bola, fans Manchester United mungkin paham betul dengan kondisi ini. Mereka bisa melangkah dari satu kabar buruk, ke kabar baik, dari satu kekalahan ke kemenangan, dari satu kabar cedera atau konflik ke satu kabar baik seperti investasi dan penunjukan manajemen yang kredibel. Perjalanan naik turun yang kadang hampir membuat putus asa, kadang menimbulkan rasa percaya bahwa klub ini masih bisa kembali berjaya.

Sepak bola acap kali memang bisa jadi refleksi yang baik terhadap kehidupan. Olahraga ini bisa memberikan contoh tentang bagaimana kehidupan berjalan. Silakan ambil kasus klub favorit kalian, kaitkan dengan fenomena kehidupan, dan kalian kemungkinan besar bisa menemukan contoh atau benang merah. Buat saya, jika melihat dalam konteks St. Pauli, pengalaman absurd perihal nasib baik-buruk itu terjadi selama sepekan terakhir.

Pekan lalu, St. Pauli keok 1-3 dari Schalke dan kemudian mendapati dua penggawa utama, Eric Smith dan Dapo Afolayan, mengalami cedera. Harus menepi selama beberapa waktu ke depan. Kekalahan dan kabar yang sempat membuat kobar semangat padam. Bahwa mungkin musim ini bisa berakhir seperti musim sebelumnya: Terpeleset dan gagal ketika peluang untuk promosi ke Bundesliga masih menyala.

Namun, kemudian beberapa kabar baik datang. Sang pelatih, Fabian Hürzeler, memperpanjang kontrak sekaligus menyelesaikan saga soal masa depannya. Ia bertahan bersama St. Pauli. Di tengahnya, Jackson Irvine sang kapten merayakan ulang tahun. Sampai kemudian kabar baik datang lagi pada akhir pekan kemarin.

St. Pauli menang 2-0 atas Hertha Berlin pada laga lanjutan 2. Bundesliga. Kemenangan yang diraih dengan permainan yang sangat meyakinkan. St. Pauli dominan, cerdas dalam hal memanfaatkan kelemahan lawan, mencetak dua gol yang menawan, dan pada akhirnya membuat posisi puncak klasemen tetap aman. Jarak dengan zona playoff promosi kini terpaut 10 poin. Dengan musim yang tinggal menyisakan sembilan laga lagi, asa untuk naik tingkat kembali besar.

Belum lagi kemenangan terasa spesial karena lawan yang dihadapi adalah tim dari ibu kota. Kecuali kau pendukung tim tersebut, melihat tim ibu kota dikalahkan oleh tim dari kota kedua atau ketiga adalah hal yang menyenangkan. Dalam konteks ini, tim asal Berlin dikalahkan oleh tim asal Hamburg. Dua kota yang, buat saya pribadi, memiliki keunikan tersendiri dan mempunyai tempat spesial di hati. Dua kota besar Jerman yang seharusnya menyumbangkan lebih banyak klub di Bundesliga.

Selain itu, laga ini juga tak hanya memiliki duel yang menarik untuk ditonton—terutama bagi pendukung St. Pauli, tentu—, tapi juga menghadirkan pemandangan yang menarik di tribune. Ultra St. Pauli dengan poster dalam merayakan Hari Perempuan Sedunia, dan suporter Hertha Berlin dengan flare biru dan putih yang mewarnai langit Millerntor yang cukup cerah siang itu. Laga yang indah.

Akan tetapi, kabar buruk kemudian langsung datang buat St. Pauli. Karol Mets, bek tengah andalan mereka, mengalami cedera pada laga melawan Hertha dan diragukan tampil untuk laga berikutnya. Dengan cedera Smith sebelumnya, St. Pauli pun mengalami krisis bek tengah. Situasi yang sebelumnya tak ada bayangan bakal tercipta, terlebih pada situasi yang krusial seperti saat ini.

Pekan memang berjalan begitu “nano-nano” buat St. Pauli dan para pendukungnya. Dan bisa saja situasi seperti ini akan mereka temukan lagi pada pekan-pekan berikutnya. Sebab, bukankah ujian makin sering tercipta ketika hal indah akan segera datang? Dan saya percaya bahwa tiket promosi pertama setelah lebih dari satu dekade jelas tak akan diraih dengan jalan yang lurus dan mulus. Juga pada situasi seperti ini, terlalu percaya diri bukanlah pilihan bijak.

Selepas laga di Millerntor itu, saya pulang ke rumah, menyetel televisi, menonton laga Liverpool vs Manchester City, dan kebingungan setelahnya: Terlepas dari kegagalan Liverpool menang, saya tak tahu harus merayakan akhir pekan kemarin dengan keriaan atau kesedihan. Saya memutuskan untuk tak jadi minum malam itu, sebab jika riang dirayakan dengan satu botol dan kesedihan ditutupi dengan botol lain, saya bisa pengar di hari Senin setelahnya.

Lagi pula, pada pekan-pekan yang padat dengan kabar baik dan buruk, saya rasa merayakan dan meratapi semuanya akan jadi sesuatu yang amat melelahkan. Yang perlu adalah terus berjalan; mungkin menatap laga berikutnya, bersiap mendengar kabar berikutnya, menanti apa yang ada di ujung sana.