Transisi Palsu

Foto: FC St. Pauli

Transisi juga bisa diciptakan kendati sebuah tim tak melancarkan pressing tinggi dan tak harus menerima serangan terlebih dahulu.

Dalam sepak bola, transisi adalah momen yang krusial. Tak heran banyak tim yang bergantung pada momen ini untuk menyerang. Erik ten Hag, misalnya, sangat terobsesi menjadikan Manchester United sebagai tim dengan transisi terbaik di dunia. Ia, pada musim keduanya ini, membangun tim yang bisa melancarkan transisi menyerang cepat dan mematikan.

Transisi memang menguntungkan: Lawan tengah tak berada dalam situasi siap—shape pertahanan mereka acap tak terorganisasi dengan baik, dan di momen ini sebuah tim bisa menyerang dengan situasi superior secara jumlah atas lawan. Tak heran situasi ini jadi favorit. Banyak tim yang, seperti Manchester United, menjadikan transisi sebagai momen utama dalam menyerang.

Masalahnya, tak semua tim memiliki gaya main yang mampu membuat mereka rutin mendapatkan momen transisi. Tim-tim yang superior dalam hal penguasaan bola, yang lebih suka mengambil inisiatif atas bola, biasanya akan lebih jarang mendapat momen transisi ketimbang tim-tim yang lebih inferior soal penguasaan bola dan lebih suka bermain menunggu.

Tak semua pelatih juga mau mengambil risiko untuk selalu melancarkan pressing tinggi guna menciptakan momen transisi—seperti apa yang dilakukan Ten Hag, misalnya. Tak semua pelatih juga memiliki kesabaran (dan skuad) seperti Carlo Ancelotti untuk melihat timnya menerima serangan-serangan lawan guna pada akhirnya mendapatkan transisi positif untuk menciptakan peluang atau mencetak gol.

Namun, sepak bola beruntung memiliki kepala-kepala cerdas. Taktik berkembang, akan selalu ada strategi terbaru untuk mengakali strategi lainnya, akan selalu ada cara untuk menciptakan sesuatu yang sebelumnya sulit didapatkan (entah ruang, entah momen). Dan begitu pula dengan transisi. Beberapa pelatih modern sudah berhasil menemukan cara untuk menciptakan momen ini, tanpa harus: a) melancarkan pressing tinggi, b) menghadapi serangan terlebih dulu.

Yap, transisi juga bisa didapatkan oleh mereka yang biasanya lebih dominan atas permainan dan penguasaan bola, yang lebih sering mengambil inisiatif dalam laga. Kepada temuan ini, saya ingin lebih dulu memberi kredit kepada tiga nama pelatih yang sejauh ini sudah saya lihat berhasil menggunakannya: Roberto de Zerbi, Ruben Amorim, dan Fabian Hürzeler.

Temuan ini disebut oleh The Athletic sebagai “artificial transition” atau yang saya translasikan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi “transisi palsu”. (Disclaimer: Saya hanya meminjam istilah, tanpa menggunakan obervasi The Athletic dalam tulisan ini :p) Lantas, bagaimana ketiga pelatih tersebut mampu menciptakan transisi palsu ini? Jika Anda pernah menonton Brighton-nya De Zerbi main, mudah saja menebaknya.

Tim akan memancing lawan melakukan pressing. Iya, alih-alih sebuah tim melancarkan pressing, tim yang ingin mendapatkan momen transisi palsu justru berharap mereka mendapatkan pressing. Alasannya sederhana, mendapatkan pressing dari lawan juga berarti membuat lawan meninggalkan zona bertahan mereka—pemain akan naik untuk menekan build-up.

Dengan itu, zona bertahan lawan yang seharusnya (atau idealnya) diisi oleh 10 pemain, kini bisa diisi hanya oleh empat atau lima pemain saja—karena pemain tengah atau depan akan melancarkan pressing terhadap build-up. Di situasi ini, tim yang ingin menciptakan transisi palsu bisa menaruh empat sampai lima pemain juga, sehingga di depan akan tercipta situasi 4vs5, 5vs5, atau bahkan 5vs4 untuk keunggulan mereka.

Dalam situasi ini, serangan cepat atau direct bisa dilepaskan ke depan dan tim tersebut bisa mendapatkan situasi yang sama menguntungkannya dengan situasi yang didapat tim yang menyerang via transisi biasa: Tak ada inferioritas secara jumlah dari lawan dan banyak ruang kosong yang bisa dieksploitasi. Serangan bisa menjadi efektif dan berbahaya.

Yang lebih menarik lagi, tiga pelatih yang saya sebutkan di atas memiliki caranya masing-masing untuk menciptakan transisi palsu ini. De Zerbi akan menggunakan dua bek tengahnya untuk selama mungkin memegang bola (men-delay build-up) guna membuat lawan naik setinggi mungkin, menghasilkan ruang sebanyak mungkin. Amorim akan menginstruksikan gelandang serangnya untuk turun membantu build-up, dengan harapan mereka akan menarik bek lawan untuk ikut naik—dan pada akhirnya menghasilkan ruang yang bisa dieksploitasi penyerang tengah.

Fabian, pelatih St. Pauli, punya cara lain lagi. Dan saya baru saja melihatnya melakukan ini akhir pekan kemarin, saat St. Pauli menjamu SC Paderborn dalam laga lanjutan 2. Bundesliga. Pada laga tersebut, Fabian menciptakan situasi di mana ia seperti menggunakan dua nomor enam (dalam hal ini Eric Smith dan Jackson Irvine) untuk ikut serta dalam build-up, dengan berdiri dekat ke dua bek tengah.

Fabian menggunakan dua nomor enam itu hanya sebagai “boneka” untuk memancing Paderborn melancarkan pressing terhadap mereka. Dan benar saja, Paderborn coba mengunci Smith dan Irvine dengan blok pressing di tengah tiap kali St. Pauli melakukan build-up. Situasi yang membuat dua wing-back St. Pauli menjadi bebas, sehingga bisa digunakan sebagai arah serangan—yang juga cepat dan direct ke depan.

Hasilnya, St. Pauli menciptakan dua gol berkat kesuksesan dalam menciptakan transisi palsu ini. Dua gol yang tercipta setelah mereka sukses mendapatkan dan mengeksploitasi ruang kosong di pertahana lawan, juga tanpa inferioritas secara jumlah. Dua gol yang juga membuat mereka menang 2-1 dan memimpin 2. Bundesliga untuk mengejar tiket promosi.

Selepas laga, saya bertanya kepada Fabian—sekaligus juga “meminjam” kepalanya sebagai pelatih—soal momen ini. Dan dia mengakui bahwa menerima pressing akan lebih menguntungkan ketimbang menghadapi lawan yang bertahan dengan dalam dan low-block, misalnya. “Sebenarnya tim harus siap menghadapi situasi apa pun, harus bisa fleksibel. Namun, tentu saat tim lawan melakukan pressing, itu berarti akan lebih banyak ruang kosong yang tercipta (untuk dimanfaatkan),” katanya.

Iya juga mengiyakan analisis saya perihal prosesnya menciptakan transisi palsu di laga ini dengan menggunakan dua nomor enam sebagai “boneka” guna memancing pressing lawan. Sesuatu yang menurut saya adalah pilihan cerdas, mengingat sebelumnya St. Pauli acap kesulitan ketika dua nomor enam mereka dikunci, dan itu membuat lawan berpikir bahwa melakukan pressing dan mengunci area tengah adalah pilihan tepat. Yang terjadi, justru sebaliknya.

Namun, sebagaimana strategi lainnya, transisi palsu ini juga memiliki kelemahan. Yang paling jelas tentu saja adalah kegagalan memancing pressing lawan. Bagaimana lawan tak tertarik untuk naik dan tetap memilih menunggu—yang mana artinya tim pemegang bola mau tak mau harus tetap menyerang dan menghadapi lawan yang bertahan penuh di zona defensif mereka. Brighton acap menghadapi situasi ini dan beberapa kali jadi salah satu penyebab mereka kalah.

Kedua adalah kemungkinan bahwa pressing lawan berhasil, yang artinya mereka mampu merebut bola dan justru mendapatkan situasi transisi menyerang. Kelemahan kedua ini beberapa kali saya lihat dialami oleh Sporting CP-nya Amorim, di mana mereka kebobolan setelah build-up mampu digagalkan lawan. Dan juga baru saja saya lihat di Millerntor, di mana SC Paderborn berhasil mencetak satu gol setelah berhasil merebut bola berkat suksesnya pressing atas build-up St. Pauli.

Akan tetapi, sejauh ini saya melihat transisi palsu sebagai sesuatu yang masih sangat worth it untuk dilakukan dan tampaknya akan menjadi tren baru dalam sepak bola. Well, beginilah. Dunia si kulit bulat terus berkembang. Satu dekade terakhir kita melihat bagaimana pressing menjadi alat jitu untuk menyerang dan mendapatkan momen transisi seiring dengan meroketnya sepak bola ala Jürgen Klopp. Namun, saat ini, pressing justru dimanfaatkan tim yang menerimanya sebagai suatu alat untuk menyerang, menemukan titik lemah lawan.