Hybrid Pressing

Foto: St. Pauli

Apa itu hybrid pressing dan mengapa sistem ini banyak digunakan oleh pelatih-pelatih muda?

Saya bosan menulis kutipan ini, tapi “attack wins you games, defense wins you titles.” akan selalu relevan dalam sepak bola. Yang membuatnya berbeda hanyalah soal bagaimana sebuah generasi memandang cara bertahan, memaknai proses dari “defense” itu sendiri.

Sepuluh, lima tahun lalu, cara bertahan yang baik mungkin adalah dengan meniru Jose Mourinho atau Diego Simeone: Bertahan dengan rapat dan dalam (menggunakan mid/low-block), menutup ruang sesempit apa pun di pertahanan sendiri, dan dengan sabar sekuat tenaga menahan gempuran lawan. Istilah parkir bus kemudian muncul.

Ketika Jürgen Klopp dan sepak bola Jerman kemudian (makin) memopulerkan pressing sebagai salah satu skema bertahan (dan juga menyerang), banyak pelatih yang kemudian menggunakan sistem ini sebagai cara untuk menetralisir serangan lawan. Yang jadi masalah, menggunakan pressing sebagai cara bertahan lebih berisiko ketimbang parkir bus.

Penyebabnya sederhana: Pressing, yang pada awalnya berlandaskan man-to-man, berisiko menghadirkan ruang-ruang yang bisa dieksploitasi lawan. Ini karena sebuah tim akan berorientasi kepada pergerakan dan posisi lawan alih-alih ruang. Lawan bergerak, pemain tim tersebut harus ikut bergerak. Alhasil, disorganisasi pertahanan jadi mudah tercipta dan lawan akan mudah menyerang balik jika pressing yang diterapkan gagal.

Atas dasar ini, muncullah pressing tipe lain. Alih-alih berorientasi pada orang, pressing kemudian berorientasi pada zona tertentu. Contoh: Pemain A akan diinstruksikan menjaga zona 1. Jadi, apabila ada pemain lawan yang memasuki zona 1 tersebut, pemain A-lah yang akan melancarkan pressing, bukan rekannya yang lain.

Yang jadi masalah, sistem ini juga memiliki kelemahan: Karena biasanya sistem ini bergantung pada shape/struktur, mengingat seorang pemain sudah memiliki zona masing-masing yang harus dipatuhi, tim lawan bisa mengalirkan bola ke zona yang kosong atau dianggap zona terlemah dari tim tersebut—seperti memilih menyerang via flank menghadapi tim yang menggunakan zonal-pressing dengan narrow, misalnya.

Atas kelemahan dan risiko yang dimiliki itulah, menggunakan pressing kemudian juga dianggap bukan cara bijak untuk menggalang pertahanan. Sebab, sistem pressing yang buruk akan menghasilkan pertahanan yang buruk pula. Manchester United, lagi-lagi, bisa dijadikan contohnya kalian bisa melihat bagaimana buruknya struktur pressing mereka musim ini.

Namun, sepak bola terus berkembang dan taktik akan selalu menemukan variasi lain. Banyak pelatih tetap menggunakan pressing sebagai cara mereka bertahan, tapi dengan menggabungkan dua tipe pressing tersebut. Man-to-man dan zonal digabungkan jadi satu. Jon Mackenzie dari The Athletic kemudian menyebutnya dengan “hybrid pressing”.

Dalam mode ini, biasanya sebuah tim akan menggunakan sistem man-to-man untuk pemain depan—di mana tugasnya menekan lawan yang melakukan build-up—dan menggunakan zona di tengah dan belakang. Atau bisa pula sebaliknya (tapi saya lebih sering melihat yang pertama). Tujuan dari penggunaan hybrid-pressing ini adalah agar tim tidak kehilangan kontrol atas ruang, tapi juga mampu tidak kehilangan kontrol atas lawan (per individu).

Biasanya, ide yang digunakan begini: Tim akan melakukan man-to-man di depan untuk membuat lawan membuang bola secepat mungkin ke depan—harapannya dengan long-ball. Dengan itu, pemain tengah atau belakang yang bertahan dengan zona, diharapkan mampu memenangkan duel udara atau memenangkan second-ball mengingat mereka bertahan dalam struktur yang rapi.

Hybrid pressing sendiri makin umum digunakan banyak pelatih saat ini. Beberapa nama yang menggunakannya adalah Mikel Arteta, Andoni Iraola, atau Thomas Tuche. Pep Guardiola pun pernah melakukan hal sama. Dan buat saya sendiri, saya terbiasa melihatnya hampir tiap pekan karena pelatih St. Pauli, Fabian Hürzeler, jadi salah satu sosok yang acap menggunakan metode ini.

Laga vs Hansa Rostock pada Jumat lalu jadi momen terbaru di mana saya menyaksikan St. Pauli menggunakan hybrid pressing dalam mode tanpa penguasaan bola. St. Pauli menggunakan pola 5-2-3 tanpa penguasaan bola di mana tiga pemain depan dan dua gelandang akan melakukan man-marking, sementara lima pemain belakang bertahan dengan zona.

Dan seperti yang sudah saya sebutkan di atas, Fabian menggunakan cara ini untuk memampatkan build-up Rostock. Mau tak mau, Rostock pun acap melepaskan bola lambung karena tak punya cara lain untuk melancarkan bola ke depan. Sesuatu, yang, menariknya, juga dilakukan balik oleh St. Pauli karena Rostock pada laga tersebut melakukan pressing dengan pendekatan man-to-man.

Cara ini terbukti mampu meredam Rostock. Bahkan sepanjang laga Rostock hanya memiliki angka 22% untuk urusan long-ball sukses, dan 39% dalam urusan duel udara sukses. Memang ada lima tembakan tepat sasaran yang mereka lepaskan sepanjang laga, tapi satu pun juga tak ada yang berbuah gol. St. Pauli menang 1-0 pada laga itu via gol Jackson Irvine yang bermula dari sepak pojok.

Hybrid pressing memang bisa menguntungkan, terutama bila dijalankan dengan baik—dalam arti pemain sudah mengerti betul tugasnya dalam mengover serta menekan orang maupun ruang. Saya acap melihat St. Pauli terbantu dengannya, meski hybrid-pressing yang mereka terapkan juga acap membuat saya khawatir.

Mengingat dua unit atau dua lini (depan dan belakang) menggunakan dua metode pressing berbeda, acap tercipta jarak antarkedua lini tersebut. Jarak ini tidak jarang mampu dimanfaatkan lawan untuk mengalirkan bola atau menjadi tempat bermulanya serangan. Belum lagi jika lawan memiliki pemain yang memiliki umpan progresif mumpuni. Ruang antarlini ini bisa berisiko.

Namun, saya juga melihat bagaimana ruang-antarlini ini diminimalisir dengan dinaikannya garis pertahanan ataudengan pemain belakang yang akan naik mengikuti lawan yang berniat mengeksploitasi ruang tersebut—dari zona berubah lagi ke man-to-man pressing. Well, beginilah sepak bola sekarang: Pelatih yang menonjol selalu mereka yang mampu menemukan ide untuk meminimalisir risiko.

Karenanya saya tak heran mengapa St. Pauli saat ini berada di puncak klasemen 2. Bundesliga meski bukan tim paling produktif di liga—mereka adalah tim dengan jumlah kebobolan paling sedikit. Pun dengan mengapa Arsenal masih memimpin Premier League saat ini, atau Xabi Alonso dan Bayer Leverkusennya masih belum terkalahkan. Sebab, keamanan diutamakan, risiko diperkecil kemungkinannya. Sebab, indeed, defense wins you multiple games that lead you to the title.