Anjing Menggonggong, Kjaer Enggan Berlalu

Foto: @Euro2020.

Sepanjang karier, Kjaer acap diremehkan dan tak dipercaya; dipandang sebelah mata. Itu semua pada akhirnya yang membentuk Kjaer. Ia ingin membuktikan bahwa apa yang orang kira tentangnya salah.

Pembuktian, pembuktian, dan pembuktian. Itulah yang dilakukan Simon Kjaer sepanjang hidupnya.

Kjaer tahu bahwa banyak orang memandangnya sebelah mata, tidak yakin akan kemampuannya, dan tak percaya bahwa pilihan hidupnya benar. Namun, sesering apa pun anjing menggonggong, Kjaer tak pernah mau berlalu. 

Ia justru berdiri di depan anjing yang menggonggong itu, bertekad untuk memberi pembuktian.

***

Kjaer kecil tahu betul bahwa cita-citanya adalah untuk jadi pesepak bola hebat. Ia mengaku sudah main bola sejak usia empat tahun. Namun, sang ibu tak setuju. Ibu Kjaer yang bekerja di bidang akademis menginginkan sang anak untuk fokus sekolah.

Pria kelahiran Horsens itu kemudian menekuni keduanya secara bersamaan. Ia fokus sekolah dan sembari terus bermain sepak bola. Kjaer bermain di klub kecil bernama Lund IF yang berjarak tujuh kilometer dari tempat tinggalnya.

Pada usia 15 tahun, Kjaer naik kelas. Ia kantas masuk ke akademi FC Midtjylland. Namun, ia dipilih bukan karena bakat atau kemampuannya. Kjaer dipilih karena ia adalah anak salah satu manajer di klub tersebut.

Ceritanya begini: Pada 2004, FC Midtjylland baru mendirikan akademi. Sebagai klub baru, tak banyak remaja yang mau masuk ke sana karena mereka biasanya lebih memilih ke klub besar yang sudah mapan dan terkenal. Oleh karena itu, FC Midtjylland kekurangan satu pemain ketika hendak membentuk tim. Benar-benar satu pemain.

Ketimbang tak mampu ikut kompetisi karena jumlah pemain tidak mencukupi, para pelatih yang bertugas di akademi pun pada akhirnya memilih Kjaer. Namun, dengan satu syarat: Ia harus membayar uang masuk secara pribadi, dalam arti tidak terikat dengan sang ayah.

Masuklah Kjaer dan, usut punya usut, selain terpaksa karena kekurangan pemain, para pelatih di tim juga memilihnya agar sang ayah tidak mundur dari pekerjaannya di klub. Jadilah Kjaer itu sudah tak diinginkan, dipilih karena terpaksa pula. Ia juga cuma jadi alibi klub untuk mempertahankan sang ayah.

Situasi itu kemudian membuat Kjaer berlatih lebih keras daripada biasanya. Ia mau membuktikan diri bahwa memang punya kapabilitas untuk masuk ke dalam tim. Bukan karena privilese, bukan karena faktor sang ayah. Pembuktian bahwa ia bisa berdiri di atas kakinya sendiri.

Namun, situasi diremehkan tak jua hilang. Enam bulan setelah masuk dalam tim, klub meminta para pelatih urun rembuk untuk menentukan siapa dari para pemain akademi yang kira-kira akan punya masa depan cerah. Tiap pelatih disuruh memilih lima nama dari total 16 pemain dalam tim.

Anda tahu hasilnya? Tak ada satu pun dari para pelatih itu yang memilih nama Kjaer. Semua masih tak yakin pada kemampuannya. Situasi baru benar-benar berubah ketika seorang pelatih memindahkan posisi Kjaer dari yang tadinya pemain tengah jadi bek tengah.

Tiga tahun setelahnya, Kjaer sudah mendapatkan kontrak profesional. Ia sudah menjalani debut kompetitif bersama tim utama dan bahkan sudah ditawar Real Madrid. Los Blancos mengajukan 5.5 juta euro kepada FC Midtjylland untuk menebus Kjaer, tetapi kemudian ditolak.

Sejak 2007 itu, karier Kjaer menanjak. Ia menjadi pilihan utama tim dan bermain 19 kali di ajang Danish Superliga. Pada 2008, atau semusim setelah ia jadi pemain reguler, Kjaer dipinang oleh Palermo dengan banderol 4 juta euro. Saat itu, Rino Foschi yang merupakan Direktur Olahraga Palermo, jatuh cinta setelah melihat permainan Kjaer di sebuah turnamen bernama Viareggio.

Kjaer pindah ke Palermo dan dari situ petualangannya di liga-liga yang lebih besar dimulai. Dari Palermo, pemain bertinggi 1,9 meter itu kemudian pindah ke Wolfsburg, lalu ke Roma, Lille, Fenerbahce, Sevilla, Atalanta, hingga sekarang di Milan.

Jika Anda perhatikan daftar klub Kjaer itu, paling hanya Roma dan Milan yang dikatakan sebagai klub top. Sisanya bisa dibilang hanya klub menengah. Namun, itu bukan karena Kjaer tak dilirik klub-klub besar, tapi karena ia lebih memilih melawan klub-klub besar itu ketimbang bermain di sana.

"Saya selalu memiliki stimulan yang lebih besar ketika saya bermain melawan pemain yang lebih kuat, karena mereka memberikan yang terbaik dan Anda juga dapat menguji diri sendiri," ujarnya dalam wawancara dengan Carlo Peleggatti untuk StarCasino.

Selain itu, dengan melawan klub besar dan pemain-pemain terbaik di dalamnya, Kjaer juga ingin melakukan pembuktian bahwa dirinya mampu. Bahwa ia adalah bek tangguh yang sulit dilewati lawan, siapa pun itu. Mau pemain dengan nama besar atau pemain biasa saja.

Kjaer sendiri sepanjang karier pernah diincar klub-klub macam Real Madrid, Liverpool, sampai Inter. Jika mau, ia bisa saja main di panggung yang lebih tinggi. Toh, saat usia 20 tahun saja ia sudah mendapatkan gelar Pemain Terbaik Denmark. Prestasi yang membuktikan kapasitasnya.

***

Apa yang Kjaer perlihatkan bersama Milan sepanjang 2020/21 sudah cukup untuk mendatangkan aplaus. Selama satu musim, WhoScored memberinya ponten 7,01. Catatan itu adalah yang terbaik untuknya (di kompetisi domestik) sejak musim 2015/16 saat masih berseragam Fenerbahce.

Musim kemarin, Kjaer mencatatkan rata-rata 1,6 tekel, 1,5 intersep, dan 4,3 sapuan per laga. Angka pressing-nya musim lalu, 308, jadi yang paling tertinggi dalam lima musim terakhir. Akurasi umpannya mencapai angka 88%. Pun dengan angka shot creating action (SCA)-nya, yang ada di angka 0,45 per 90 menit, juga paling tinggi selama lima musim ke belakang.

Sederet catatan tersebut menunjukkan bahwa Kjaer semakin matang sebagai seorang bek. Ia tak hanya kokoh sebagai bek tengah, sebagaimana yang sudah ditunjukkannya sejak masih belia, tetapi juga adaptif terhadap kebutuhan modern di mana bek tengah juga harus punya distribusi bola dan visi yang bagus.

Kjaer piawai dalam memblok bola, melakukan duel satu lawan satu dengan lawan, dan membaca permainan untuk mengintersep perainan lawan. Selain itu, kini ia juga bagus dalam soal mengalirkan bola ke depan dan menjadi awal serangan timnya.

Pemain berusia 32 tahun itu berhasil membuktikan diri bahwa dirinya memang bukan modal beruntung. Kjaer mampu membuktikan bahwa ia bukanlah bek medioker yang cuma bisa pindah-pindah klub saja. Ia bisa membuktikan bahwa dirinya memang bagus.

***

Lantas, bergulirlah Piala Eropa 2020. Dengan ban kapten di lengan, Kjaer memimpin Timnas Denmark berlaga. Ban kapten tersebut bukan simbol atau jabatan semata, tetapi betul-betul perwujudan dari jiwa kepemimpinan Kjaer.

Pada laga perdana timnya, yakni melawan Finlandia, Kjaer melakukan aksi heroik. Ketika Christian Eriksen kolaps, Kjaer langsung berlari ke arahnya dan jadi orang pertama yang memastikan bahwa lidah Eriksen tak menutupi jalur pernapasannya.

Ketika Eriksen tengah mendapatkan perawatan dari tim medis, Kjaer jugalah yang hadir untuk menenangkan istri rekannya itu. Kjaer mencoba memberikan penjelasan agar membuat Sabrina Kvist tak dipenuhi kepanikan saat melihat suaminya dari pinggir lapangan.

Aksi itu membuatnya mendapat pujian dari seantero dunia. Kjaer mendapatkan aplaus. Bahkan, kabarnya, aksi itu membuat sang pemain dipertimbangkan untuk jadi kapten utama Milan pada musim 2021/22.

Sebagai pesepak bola, Kjaer tampak seperti sedang berada di puncak: Main di klub paling besar sepanjang kariernya, performa sedang menanjak, dan sorotan yang mengarah padanya makin bertambah besar.

Namun, segala sesuatu yang terlihat mudah di permukaan biasanya menyembunyikan beragam peluh dan kesukaran. Andai kesukaran-kesukaran itu datang lagi, agaknya Kjaer masih bakal mampu menghadapinya dan berdiri menantangnya.