Apakah Formasi Masih Relevan?

Foto: FC St. Pauli

Sepak bola semakin dinamis, taktik tak lagi sebatas formasi apa yang akan digunakan, sebuah tim makin sulit dibaca lawan.

Sepak bola berkembang dan belakangan formasi sudah tak lagi relevan. Saya sepakat dengan apa yang dituliskan Karen Carney di The Guardian, bahwa sepak bola modern tidak menuntut pemain untuk bekerja pada fungsi yang rigid. Namun, mereka memiliki role/peran masing-masing untuk menyempurnakan desain atau struktur besar tim tersebut.

Seorang bek tepi kanan dalam formasi dasar 4-3-3, misalnya, tak melulu hanya akan menyusuri sisi kanan, maju-mundur sesuai kebutuhan. Beberapa ada yang underlap ke tengah, menempatkan dirinya sejajar dengan sang single pivot, sehingga membuat dua gelandang tengah tepi menjadi naik. Struktur tim kemudian berubah menjadi 3-2-2-3 dan sang full-back kanan bisa lebih sering berada di sana ketimbang di kanan untuk menyempurnakan pola 4 bek.

Xabi Alonso dalam sebuah video pernah berkata bahwa bersama para pemainnya ia tak banyak berbincang tentang formasi yang digunakan (dalam hal ini 3-2-2-3 atau 3-4-2-1), tapi lebih pada apa yang akan terjadi pada pertandingan, bagaimana Bayer Leverkusen mampu memanfaatkan kelemahan lawan. Alonso lebih fokus pada aksi-aksi apa yang akan dilakukan pemainnya ketimbang dalam posisi apa pemainnya akan menempatkan diri.

Sementara itu, Pep Guardiola sudah sejak dua musim terakhir membuat kita kebingungan menebak pola apa yang akan dimainkan Manchester City. Di atas kertas terlihat seperti 4-3-3 atau 4-2-3-1, tapi setelah laga berlangsung kita bisa melihat bahwa saat menguasai bola pola yang dimainkan City bisa menjadi 3-2-5 atau 2-3-5. Ketika tanpa bola pun situasi tak melulu kembali ke 4-3-3 atau 4-2-3-1 seperti dugaan awal.

Lantas, apakah formasi dalam sepak bola masih relevan? Apakah 4-4-2 atau 4-3-3 atau 3-4-2-1 masih penting? Atau pelatih memang tak lagi mementingkan itu dan lebih fokus pada fungsi atau aksi dari para pemain sebagaimana yang dikatakan Alonso?

Saya coba “meminjam kepala” Pelatih St. Pauli, Fabian Hürzeler, untuk hal ini. Saya bertanya kepadanya selepas melihat St. Pauli mengalahkan Eintracht Braunschweig 1-0 pada akhir pekan kemarin. Kemenangan yang dicapai dengan pemosisian pemain yang tak seperti biasanya.

Begini, St. Pauli di atas kertas bermain dengan formasi dasar 3-4-3. Namun, saat menguasai bola, misalnya, mereka bisa menggunakan pola 2-3-5 seperti Manchester City, atau 3-3-4, atau 2-4-4. Yang menarik, pada akhir pekan lalu St. Pauli seolah bermain dengan 2-3-4-1. Uniknya, satu pemain yang berdiri paling depan itu adalah Oladapo Afolayan, seorang penyerang sayap kanan.

Afolayan berdiri lebih depan ketimbang Jojo Eggestein yang merupakan penyerang tengah. Eggestein justru bermain lebih turun, sejajar dengan Elias Saad sebagai penyerang sayap kiri dan Marcel Hartel serta Jackson Irvine yang merupakan gelandang tengah. Irvine bahkan terkadang harus bergerak lebih ke sayap kanan untuk mengisi ruang kosong yang sengaja ditinggalkan Afolayan.

”Tentu ada struktur besar yang disiapkan dan (harus) dipatuhi oleh pemain,” Fabian membuka jawabannya untuk pertanyaan saya. Saya paham bawa yang ia maksudkan struktur besar adalah pola dasar, yang dibuat untuk mempermudah pemain menempatkan diri pada situasi tertentu (seperti situasi bertahan).

”Namun, setiap pemain punya fungsinya masing-masing. Mereka bisa bergerak sesuai dengan fungsinya itu,” tambahnya. Ini yang kemudian membuat pola dasar tadi jadi bisa berubah di tengah laga (tergantung situasinya), terutama saat serangan dibangun dan bola sudah sampai di area lawan. Dalam kesempatan lain, Fabian juga bilang bahwa ia menginginkan pemainnya menjadi “decision maker” di lapangan.

Artinya, pemain boleh bergerak ke mana saja asalkan itu sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai tim (overload, melakukan switch, melakukan pressing, mengisi ruang yang ditinggalkan lawan, dst.). Saya kemudian mengambil contoh pergerakan Irvine yang sangat dinamis dalam laga vs Braunschweig, terutama dalam bergerak ke flank kanan dan meninggalkan sisi tengah. Fabian, lagi-lagi, menjawab dengan menjelaskan soal tujuan.

“Para pemain terus bergerak karena kami ingin, secara konstan, menciptakan situasi 2 vs 1 saat menguasai bola,” katanya. Ia juga menjelaskan bahwa penempatan Afolayan yang jauh lebih ke tengah adalah untuk meningkatkan variasi, terutama untuk menambah jumlah opsi untuk umpan-umpan direct yang dikirimkan ke belakang garis pertahanan lawan. Semakin banyak opsi, kans mendapatkan bola akan semakin besar.

Saya kemudian bertanya kepada Afolayan soal hal yang sama, dan ia juga menjelaskan soal tujuan. Bahwa pergerakannya dilakukan untuk membuat serangan tambah variatif, bahwa ia akan bisa bergerak di belakang lawan, ia bisa menarik lawan dari posisinya, atau bisa juga memenangkan bola mati untuk tim. Bahwa pergerakannya di (dan ke) tengah membuat sisi kanan kosong dan formasi “berantakan” itu tak jadi masalah, toh tujuan tim tercapai.

***

Ketika Guardiola mempersetankan formasi untuk menyempurnakan kontrol timnya dan demi bisa mengantisipasi serangan balik dengan baik, juga ketika Leverkusen diperbincangkan dengan tiga beknya padahal dalam banyak kesempatan pada sebuah laga mereka justru bermain dengan pola empat bek, atau ketika The Athletic menghitung bahwa pola 4-4-2 yang dulu kesohor sekarang makin sepi peminat, formasi terlihat makin kurang relevan di sepak bola.

Ini mungkin terdengar kontradiktif: Sepak bola modern memang disesaki oleh sesuatu yang kuantitatif seperti data dan statistik. Hampir semua aksi di lapangan bisa dihitung. Namun, formasi atau penempatan pemain di lapangan justru makin jauh dari kata kaku. Pelatih tidak lagi menggunakan formasi baku atau satu pola saja. Pemain tak lagi harus berada dan bergerak pada posisi-posisi tertentu. Mereka justru diberi fleksibilitas, bisa bergerak tak sesuai dengan peran alami, dan dituntut jadi pembuat keputusan.

Sepak bola semakin dinamis, taktik tak lagi sebatas formasi apa yang akan digunakan, tim semakin pintar untuk membuat dirinya makin sulit dibaca lawan, dan perbincangan-perbincangan soal cara (bagaimana) tim menang akan semakin kompleks.