Atas Nama Kemanusiaan

Foto: Facebook Marcus Rashford

Marcus Rashford, lewat aktivismenya, tidak berbicara soal kepentingan segelintir pihak. Ia berbicara soal manusia. Ia berbicara soal kita.

Ini bukan cuma perkara Marcus Rashford, tetapi soal seberapa lantang seorang manusia bersuara ketika manusia-manusia di sekelilingnya sedang terbungkam.

Rashford sudah mencontohkannya. Tumbuh sebagai anak dari keluarga miskin, ia terbiasa mengandalkan makanan gratis di sekolahnya. Setidaknya, satu kali dalam sehari, ia bisa mendapatkan satu makanan layak —ya, dari makanan gratis di sekolahnya itu.

Oleh karena itu, Rashford paham betul bahwa ketika sekolah-sekolah tutup akibat pandemi, yang paling menderita adalah anak-anak yang terlahir dari keluarga seperti dirinya.

Permintaan Rashford sederhana saja: Bagaimana kalau pemerintah Inggris tetap memberikan makanan gratis kepada anak-anak sekalipun sekolah tutup? Sialnya, persoalan sesederhana ini menjadi merepotkan di tangan para politisi.

Rashford tidak membawa kepentingan politik apa-apa ketika mengajukan permintaan itu. Yang ia bawa adalah kepentingan kemanusiaan dan urusan paling mendasar: Soal perut.

Toh, tidak peduli kamu Labour atau Tory, ketika perutmu keroncongan, hal pertama yang perlu kamu lakukan adalah pergi makan. Sayangnya, bahkan untuk hal semendasar itu pun tidak semua mampu. Oleh karena itu, food bank pun menjadi hal yang krusial di Inggris sana.

Di hadapan para politisi konservatif, permintaan sederhana Rashford menjadi banyolan. Karena tak pernah menghadapi lawan yang sesungguhnya apolitis, mereka jadi bingung untuk bersikap. Satu-satunya cara menghadapinya adalah memelintirnya menjadi sebuah sikap politis.

Maka, jangan heran kalau dalam beberapa bulan terakhir, lini masa akun Twitter-nya penuh perdebatan dengan para politisi konservatif. Beruntung, Rashford tidak sendirian. Dari rekan setimnya di Manchester United hingga rival, semua mendukung.

Bek kiri Liverpool, Andrew Robertson, bahkan terang-terangan menyebut bahwa Rashford bisa saja menjadi pemain United pertama yang mendapatkan standing ovation di Anfield.

“Begitu fans boleh menonton di stadion lagi, Marcus Rashford bisa menjadi pemain Manchester United pertama yang mendapatkan standing ovation di sini. Dia layak mendapatkannya. Karena dia, ribuan keluarga mendapatkan suapan makanan,” kata Robertson dalam wawancaranya dengan The Times.

Liverpool, sama seperti halnya Manchester, adalah kota kelas pekerja. Sekalipun begitu, ada kebencian panjang di antara kedua kota semenjak Manchester membangun kanal supaya kapal-kapal tidak perlu berlabuh di Liverpool dan langsung masuk ke kota Manchester untuk memasok bahan-bahan produksi.

Namun, Rashford bahkan mampu menambal jurang itu. Manchester dan Liverpool terpisah karena urusan perut, tapi kemudian menjadi merasa senasib sepenanggungan ketika ada bocah dari Wytenshawe melakukan aktivisme yang juga tidak jauh-jauh dari urusan perut.

***

Musik, kata Simon Frith dalam ‘The Sociology of Rock’, bisa memberikan relevansi historis akan sejarah kehidupan manusia. Perubahan di dalam dunia musik, kata dia lagi, juga bisa merefleksikan perubahan di dalam masyarakat.

Anda tentu paham kalau Rage Against The Machine (RATM), salah satu band paling gahar dan keras dalam mengkritik ketidakadilan sosial, sampai merencanakan comeback pada tahun 2020 berarti dunia sedang tidak baik-baik saja. Sayang, pandemi mengadang.

RATM hanya satu contoh. Contoh lainnya adalah Thom Yorke.

Dalam sebuah wawancara dengan Stephen Colbert, Yorke mendapatkan pertanyaan yang sebetulnya cukup menyentil. Namun, ia menjawabnya dengan malu-malu karena merasa apa yang ia lakukan tidak cukup luar biasa.

“Selama beberapa dekade,” kata Colbert, “Anda menuliskan kegusaran lewat musik mengenai masyarakat, pemerintahan, teknologi, dan arus perubahan kehidupan secara global… Bagaimana rasanya terbukti benar?”

Yorke, duduk dengan sedikit membungkuk dan terlihat tidak menyangka diperlakukan seperti peramal, menjawab dengan cukup mendetail meskipun agak terbata-bata. Ia kemudian mengakhiri jawabannya dengan ucapan paling jujur:

“Ya, itu bukan salahku —memang kita saja hidup di zaman yang aneh.”

Pada 1997, ketika Yorke membahas tema-tema soal alienasi, teknologi yang mengubah cara manusia bangun dan tidur, pekerjaan yang rasanya bikin orang mau mampus saja, dan pemerintahan yang kerap berbohong, ia tidak sedang meramal. Sebaliknya, itu adalah observasi sederhana mengenai kehidupan sehari-hari yang seringkali tidak kita sadari.

Observasi sederhana itu, bagi Yorke, seperti menempatkan kamera dalam sebuah ruangan kecil. Di ruangan kecil tersebut, manusia memerankan dirinya lewat sejumlah adegan (yang mencerminkan kehidupannya) yang tidak seberapa.

Yorke beruntung ia punya suara untuk didengar. Band-nya, Radiohead, sedang naik daun. Ia menggunakan musik sebagai mediumnya untuk berbicara.

Lantas, seperti halnya '1984' karangan Orwell, album Radiohead yang dirilis pada tahun itu, ‘OK Computer’ menjadi semacam penjaga kesadaran. Ia meminta manusia untuk lebih melek dan peka dengan sekelilingnya.

Yorke tidak jauh berbeda dengan Rashford. Tidak pula berbeda dengan atlet-atlet olahraga yang memutuskan untuk berlutut demi menyuarakan ketidakadilan rasial lewat gerakan Black Lives Matters.

Yorke dan Rashford berbicara soal kita. Andaikata kamu punya kemampuan untuk bersuara lantang —dan lantas bisa berbuat untuk memperjuangkannya—, maukah kamu bergerak untuk mereka yang terbungkam?