Bagaimana Graham Potter Membentuk Chelsea dan Aubameyang?

Foto: Twitter @ChelseaFC.

Fleksibilitas tanpa meninggalkan identitas ala Potter membentuk Chelsea sebagai tim yang bisa merasa nyaman bahkan pada situasi yang tidak nyaman sekalipun.

Keberhasilan Chelsea menghantam AC Milan 5-0 di Liga Champions menumbuhkan dua pemikiran: Milan yang datang sambil menenteng scudetto memang belum pantas berlaga di level Eropa atau Graham Potter adalah pelatih yang benar-benar patut diperhitungkan.

Kalaupun pendapat pertama benar, mengesampingkan pemikiran bahwa Potter adalah pelatih mumpuni juga tidak adil. Pasalnya, tidak semua pelatih dapat memanfaatkan kesemenjanaan lawannya. Tidak seluruh tim mampu melihat celah dan kekurangan lawan, lalu menjadikannya sebagai batu loncatan untuk merengkuh kemenangan. Berangkat dari situ, tidak berlebihan untuk mengakui kualitas Potter sebagai pelatih.

Pada pertandingan leg pertama di Stamford Bridge, Chelsea mempertontonkan kelihaian mereka dalam memanfaatkan penguasaan bola yang angkanya tidak mencapai 50%. Potter memilih Ruben Loftus-Cheek yang lebih dinamis secara fisik ketimbang Jorginho untuk bertandem bersama Mateo Kovacic di lini tengah. Dengan cara ini, Potter mengatur para pemainnya untuk memasang jebakan saat Milan berusaha memajukan bola keluar dari pertahanan.

Pasukan Stefano Pioli berlaga dalam formasi 4-2-3-1 dengan Ismael Bennacer dan Sandro Tonali di lini tengah. Rade Krunic, Charles De Ketelaere, dan Rafael Leao mengisi lini kreatif di depan mereka. Chelsea cenderung membiarkan duet bek tengah, Fikayo Tomori dan Pierre Kalulu, menguasai bola alih-alih memastikan tidak ada umpan yang bisa dimainkan ke kaki Bennacer atau Tonali.

Sejumlah fragmen memperlihatkan Mason Mount, Pierre-Emerick Aubameyang, dan Raheem Sterling memberikan celah sempit di depan dua poros lini tengah Milan, sementara Loftus-Cheek mendorong dari belakang untuk menginisiasi tekanan. Satu-satunya pilihan aman Tomori adalah mengoper bola ke kiri atau ke kanan alias menuju Kalulu atau Fode Ballo-Toure.

Suporter Milan boleh saja berharap Bennacer akan menjadi juru selamat dalam situasi ini dengan berupaya mendapatkan bola. Akan tetapi, masalah Milan justru berawal dari sini. Tekanan Chelsea ini memaksa pemain Milan untuk ‘mengembalikan’ bola kepada kiper–Ciprian Tatarusanu–yang hanya bisa melepas bola panjang untuk membukakan jalan keluar bagi timnya.

Namun, jangan lupa bahwa Chelsea memiliki Thiago Silva yang begitu andal dalam permainan udara. Mengutip statistik WhoScored, pemain asal Brasil itu merupakan penggawa Chelsea terbaik dalam urusan duel udara dengan catatan kemenangan 2,4 kali per laga. Kualitas itu pula yang memampukan Silva untuk menyetop bola panjang yang dilepas oleh Tatarusanu dari depan gawang.

Dari situ, Silva dapat mengalirkan bola ke Kovacic yang mendapat keleluasaan karena Bennacer acap meninggalkan posnya. Kalau sudah begini, Chelsea memiliki setidaknya dua pilihan: Meneruskan bola ke Pierre-Emerick Aubameyang atau Mason Mount.

Pendekatan Chelsea itu membuat Milan berjuang keras untuk mendapatkan bola demi menghidupkan pergerakan lini kreatif mereka. Apes, Milan hampir selalu gagal. Situasinya jadi jelas. Jika tidak mendapat asupan bola, lini kreatif mati kutu dan artinya tidak ada aliran bola yang dapat diselesaikan oleh Olivier Giroud di pos terdepan.

Dalam kemandekan seperti ini, Leao memang masih menjadi ancaman buat Chelsea lewat keputusan Pioli untuk menggesernya ke posisi menyerang yang lebih sentral daripada babak pertama. Akan tetapi, Milan harus gigit jari karena ancaman itu tidak berbuah manis, tetapi hanya dua peluang yang pada akhirnya mampu dibereskan oleh The Blues.

Ketika sedang menguasai bola, Chelsea asuhan Potter dapat bermain dengan lebih mematikan. Mereka memecah tekanan lawan dengan permainan melebar. Penempatan Ben Chilwell di kiri dan Reece James di sektor kanan adalah mimpi buruk yang menjadi kenyataan bagi lawan, termasuk Milan di Liga Champions. Pemosisian ini membuat lawan kesulitan untuk menekan atau sekadar bertahan secara efektif.

Chilwell efektif karena ia mampu menggerakkan permainan ke James yang berada di pinggir sektor kanan. Pemain bertahan–ambil contoh Ballo-Toure–disibukkan dengan Sterling. Potter menjebak lawan dengan menginstruksikan Sterling bermain lebih dalam sehingga ia dapat berkoordinasi dengan apik bersama Mount.

Dalam kasus laga melawan Milan, Chelsea berhasil memanfaatkan kecenderungan penyerang asuhan Pioli yang bermain terlalu sempit sehingga gagal mengusik permainan Chilwell dan James. Secara sederhana, Chelsea diuntungkan karena memiliki keunggulan saat bermain melebar.

Bersama Chelsea, Potter tidak selalu memilih 3-5-2 atau 3-5-1-1 sebagai formasi tim. Ia pun memimpin anak-anak asuhnya turun arena dalam formasi 3-4-2-1. Meski demikian, apa pun formasinya, ia tetap mengandalkan possession–berapa pun besarannya–untuk mengkreasikan peluang.

Selain itu, Potter andal dalam memanfaatkan set piece. Contoh terbaik adalah saat mereka menghancurkan Milan 3-0. Gol pertama berawal dari sepak pojok Chilwell. Dalam prosesnya, Wesley Fofana dan Kalidou Koulibaly berlari ke tiang terdekat untuk menyeret Tonali dan Krunic sehingga memberikan ruang yang cukup terbuka kepada Chilwell, sementara Silva bertugas untuk menahan Bennacer. Ketika kemelut di depan gawang terjadi tanpa melibatkan Tonali, Krunic, dan Benacer, di situlah Chelsea mengamankan poin pertama.

Permainan Chelsea tersebut pada dasarnya menunjukkan bahwa identitas permainan Potter bisa dilihat dari beberapa hal: Kejelian possession football, set piece, dan proses pressing. Fleksibilitas tanpa kehilangan identitas itu adalah cara Potter untuk membangun sebuah tim yang bisa merasa nyaman bahkan pada situasi yang tidak nyaman sekalipun.

Kepemimpinan Potter berimbas positif pada permainan Chelsea. Kreativitas mereka di musim ini meningkat. Saat dilatih Thomas Tuchel, Chelsea menorehkan 133 shot-creating actions dalam total 7 laga Premier League dan Liga Champions 2022/23. Dalam jumlah laga dan kompetisi yang sama, Potter membawa Chelsea membukukan 169 shot-creating actions. Jika diterjemahkan, shot-creating actions berarti angka penciptaan tembakan via operan, dribel, atau tembakan. Atribut ini menunjukkan kreativitas dan daya gedor tim.

Bersama Potter pula, Aubameyang memiliki kesempatan untuk menghapus mimpi buruknya di London. Belum lagi tentang hikayat kutukan jersey nomor 9 Chelsea yang entah bagaimana terus-menerus mengakar di seantero Stamford Bridge. Hulu pembicaraan tentang Aubameyang yang kini singgah di Chelsea adalah kemandulannya di waktu-waktu terakhir bersama Arsenal.

Meski demikian, terlalu naif untuk melimpahkan seluruh tuduhan kepada Aubameyang. Pada waktu-waktu tersebut, Aubameyang menjadi satu-satunya titik tumpu Arsenal. Sialnya, peran itu malah bertabrakan dengan kenyataan bahwa ia kekurangan suplai bola. Sebagai titik tumpu, Aubameyang jelas membutuhkan suplai bola yang cukup dan berada di posisi yang tepat untuk bisa mencetak gol.

Masalahnya, di bawah asuhan Mikel Arteta saat itu, Arsenal memang kekurangan sumber daya mumpuni untuk memecahkan kedua problem tersebut. Mereka tak memiliki banyak kreator serangan untuk memberikan pasokan bagus kepada Aubameyang.

Seharusnya ada beberapa pemain yang bisa diandalkan untuk memasok umpan bagi Aubameyang dalam skema 3-4-3 rancangan Arteta. Sayangnya, hanya Dani Ceballos dan Willian yang berdaya melepas umpan kunci. Hector Bellerin, Ainsley Maitland-Niles, dan Kieran Tierney punya rasio umpan kunci yang rendah.

Hal itu sangat ironis karena idealnya, sektor wing-back berperan krusial dalam pakem tiga bek. Tugas mereka, toh, bukan hanya bertahan, tetapi juga memprakarsai peluang sehingga serangan tim jadi lebih kaya. Sudah dituntut untuk menjadi sumber gol, Aubemayang masih pula dijadikan tumpuan utama serangan. Beban makin berat karena ia tidak mendapat pasokan umpan yang cukup.

Kedatangan Aubameyang ke Chelsea diikuti dengan prediksi bahwa ia akan berkoordinasi dengan baik bersama Mount dan Sterling. Sebaliknya, Aubameyang diperkirakan tidak akan nyetel dengan pemain seperti Loftus-Cheek, Kai Havertz, dan Armando Broja.

Hubungan antara Sterling dan Aubameyang cukup menarik untuk dinikmati. Di Arsenal, Aubameyang mampu beroperasi di sisi kiri serangan dan bahkan suka beralih ke area tersebut ketika bermain sebagai penyerang tengah yang merupakan area operasi Sterling.

Perpaduan dalam pertukaran posisi itu akan menjadi kunci bagi Aubameyang saat bertandem dengan Sterling. Jika berhasil, rotasi dalam serangan Chelsea bisa sangat mematikan lawan. Meski demikian, permainan ini juga bisa berefek buruk karena bukan tidak mungkin Aubameyang dan Sterling saling mendahului demi mengambil posisi yang sama.

Aubameyang yang sekarang barangkali tidak bisa disamaratakan dengan Havertz, Sterling, maupun Mount yang begitu gigih dalam penguasaan bola. Akan tetapi, Aubameyang menunjukkan perkembangan menggembirakan saat membantu pertahanan. Di masa-masa terakhirnya bersama Arsenal, ia bisa diandalkan untuk mengatur intensitas pertahanan tim. Performa demikian berlanjut di Barcelona. Ia menorehkan rata-rata 10,3 tekanan di sepertiga akhir per 90 menit. Torehan tersebut adalah yang terbaik di La Liga sebelum ia hijrah ke Chelsea.

Tentu saja ada banyak yang mengukur kesuksesan Aubameyang dari jumlah gol yang diciptakannya untuk Chelsea. Akan tetapi, tugas Potter sebenarnya bukan untuk memastikan Aubameyang selalu mencetak gol untuk Chelsea, tetapi membuatnya dapat menyatu dengan tim sehingga Chelsea tidak kekurangan produktivitas dalam mencetak gol.