Balkan dan Ribut-ribut Selebrasi Arnautovic

Foto: Twitter @Football__Tweet.

Balkan tidak selalu bicara tentang keindahan yang magis. Tanah itu juga berkisah tentang pertumpahan darah.

Serupa dengan namanya yang berarti madu dan darah, Balkan adalah tapal batas antara keindahan dan brutalitas.

Dari atas panggung hijau yang ditegakkan untuk merayakan hidup setelah babak-belur dihajar pandemi, serangan kotor datang menggila meski Coca Cola dan Heineken bergantian menyajikan kegembiraan, TikTok membawa gairah khas anak muda, dan Qatar Airways menawarkan kenyamanan sampai ke awan.

Itu adalah pertandingan pertama setelah 30 tahun. Sejak menjadi negara merdeka, Makedonia Utara tak pernah menjejak ke pentas Eropa. Terakhir kali mereka memukau adalah di Kualifikasi Piala Eropa 2004 pada Oktober 2002. Saat itu mereka bermain imbang 2-2 melawan Inggris, bahkan sempat unggul dua kali.

Namun, tak ada cerita yang berkisah tentang bayi yang melenggang ke pentas Eropa. Makedonia Utara cuma bisa menyaksikan negara-negara Balkan lain tampil mengagumkan di jagat sepak bola. Setelah Yunani juara Piala Eropa 2004, Kroasia menutup Piala Dunia 2018 sebagai runner up.

Itu juga menjadi hari terhormat bagi ia yang begitu dicintai. Untuk orang-orang Makedonia Utara, Goran Pandev adalah harapan yang beranak cucu, bintang yang mereka pegang erat sejak kanak.

Ini merupakan tahun ke-20 Pandev membela Makedonia Utara. Tidak ada yang sehebat dan semasyhur dia. Ada dua pemain yang harus dikejar lawan setiap kali berhadapan dengan Makedonia Utara, mereka adalah Pandev dan bayangan Pandev. Seperti itulah kekaguman orang-orang Makedonia Utara terhadap sang jagoan.

Duel itu seharusnya juga menjadi hari yang tidak terlupakan bagi Ezgjan Alioski. Ia hidup bersama orang-orang Inggris yang menyebut negara mereka sebagai rumah sepak bola. Pada akhirnya tiba juga hari ketika ia tidak harus menjadi penonton.

Hari yang tidak terlupakan itu malihrupa menjadi salah satu yang terburuk. Sudah tertinggal 1-3 pada menit 89 yang artinya hampir tak ada harapan, pukulan terkotor menghantam tepat di tengah wajah. Serangan itu datang dari mulut pemain Austria, Marko Arnautovic, yang mengumpat "I'll f*** your Albanian mom!" saat merayakan gol.

Arnautovic memang tak menyebut kepada siapa umpatan itu ditujukan. Namun, siapa saja yang turun arena di pertandingan itu tahu bahwa orang tua Alioski adalah orang Albania.

Bahkan David Alaba muak dengan ulah kawannya sendiri. Ia langsung menutup mulut Arnautovic, menyuruhnya untuk diam. Dengan gesture itu Alaba seperti ingin berkata, "Kalaupun kau kelewat bernafsu untuk membela negeri dan moyangmu, lakukan dengan cara terhormat."

Rasialisme adalah isu panas. Di Kualifikasi Piala Eropa 2020, bek Timnas Inggris, Danny Rose, dicecar ejekan rasialis saat berlaga melawan Montenegro. Suporter Bulgaria pun memberikan perlakuan serupa bagi anak-anak asuh Gareth Southgate. 

Nama Ondřej Kúdela mesti dicoret dari daftar pemain Timnas Republik Ceko karena dihukum 10 pertandingan UEFA sejak April 2021. Itu adalah buah dari tindak rasialisnya kepada Glen Kamara ketika Slavia Praha melawan Rangers FC di babak 16 besar Liga Europa 2020/21. UEFA mendakwa dan menjatuhkan hukuman. Masalahnya, entah sudah berapa banyak yang menanggung hukuman, kelakuan sampah itu tak kunjung pergi dari lapangan hijau.

Manusia dan sepak bola kembali berjarak ketika pandemi menghantam. Laga-laga ditunda, bahkan dihentikan. Dunia mendadak sunyi, tak ada sorak-sorai dan perayaan kemenangan. Tidak ada sedu-sedan kekalahan, yang terdengar adalah ratap tangis di hadapan kehilangan orang tersayang. Maka ketika Piala Eropa 2020 diputuskan untuk digelar pada 2021, jarak antara manusia dan sepak bola kembali dirapatkan. 

'Building the Bridge', para petinggi UEFA menggunakan simbol jembatan untuk menghubungkan kembali dunia dengan permainan yang katanya indah ini. Seharusnya ini menjadi waktu yang tepat untuk membuat mereka yang bertengkar berdamai kembali. Tak masalah jika tak bisa menyatu, tetapi setidaknya berjabat tangan. 

Uniphoria, itu nama bola resmi yang digunakan di Piala Eropa 2020. Nama itu adalah gabungan dari kata union dan euphoria. Bila diartikan, ia akan menjadi kegembiraan yang mempersatukan. Apa lacur, mulut kurang ajar mengingatkan orang-orang bahwa ada yang belum selesai di Balkan sana.

Alioski, seorang Muslim, lahir di Makedonia Utara. Ia anak dari orang Albania dan sejak kecil pindah ke Swiss bersama keluarganya. Swiss adalah rumah kedua bagi orang-orang Albania. Konon, etnis kedua terbesar di negeri itu adalah Albania. Arnautovic yang merumput di Shanghai itu berayah Serbia dan beribu Austria. 

***

Jika ada yang membuat Albania dan Serbia saling terikat, itu adalah konflik yang beranak cucu. Perseteruan itu pada akhirnya bermuara pada Perang Kosovo. Awalnya, Kosovo adalah wilayah otonom Serbia. Sementara, Serbia merupakan salah satu negara federasi yang masuk dalam Yugoslavia. 

Serbia ketika itu didominasi oleh etnis Serbia, sedangkan mayoritas penduduk Kosovo adalah etnis Albania. Perbedaan etnis ini tidak menjadi halangan bagi Serbia untuk mengakui Kosovo akan selalu menjadi bagian dari Serbia. Pengakuan ini dilatarbelakangi oleh fakta tentang orang-orang Serbia yang sudah ratusan tahun tinggal di Kosovo sebelum Turki Utsmani menguasai pada 1389.

Lambat-laun sikap itu membuat orang-orang Albania tak puas sampai muncul pemberontakan bersenjata oleh Tentara Pembebasan Kosovo (KLA) pada 1995. Konflik yang tak kunjung mereda melahirkan Perang Kosovo yang berlangsung pada 1998 hingga 1999. 

Perang tersebut melibatkan militer Yugoslavia dan militer Albania Kosovo yang berusaha memerdekakan Kosovo dari Yugoslavia. Dalam periode ini Serbia dituduh melakukan genosida atau pembasmian etnis Albania. Salah satu yang paling terkenal kelam adalah Pembantaian Meja. 

Itu adalah eksekusi massal terhadap 377 warga sipil Kosovo Albania yang dilakukan oleh militer Serbia dan Yugoslavi sebagai tindakan pembalasan atas pembunuhan enam orang polisi Serbia oleh KLA. 

Eksekusi mati terjadi pada 27 April 1999 di Desa Meja saat Perang Kosovo. Awalnya, para korban diculik dari konvoi pengungsi di sebuah pos pemeriksaan di Meja. Keluarga mereka diperbolehkan untuk melanjutkan perjalanan ke Albania. Pria dan anak laki-laki dipisahkan dan mereka dieksekusi di tepi jalan. Pembantaian tersebut dianggap sebagai pembantaian terbesar selama Perang Kosovo.

Merasa punya tanggung jawab agar tak terjadi lagi genosida Bosnia, NATO mengambil tindakan lewat operasi militer pada 24 Maret sampai 10 Juni 1999. Serangan udara dalam operasi itu melumpuhkan Serbia dan seantero Yugoslavia. 

Intervensi militer NATO memang menghentikan pembantaian terhadap orang-orang Albania. Serangan itu memaksa pemimpin Yugoslavia, Slobodan Milosevic, menghentikan aksi dan melakukan perundingan. Yugoslavia kemudian pecah menjadi Serbia, Montenegro, dan Kosovo. 

Akan tetapi, selain memakan korban 1.000 orang militer Yugoslavia, operasi militer tersebut menelan korban 528 penduduk sipil. Perang Kosovo lantas dinyatakan berakhir ketika pada 2008 Kosovo menyatakan diri sebagai negara merdeka.

Pada 2009, Pengadilan Kejahatan Internasional di Den Haag menjatuhkan vonis kepada Dragoljub Ojdanic (Mantan Kepala Staf Angkatan Bersenjata dan Menteri Pertahanan Yugoslavia), Nikola Sainovic (Mantan wakil perdana menteri Yugoslavia), Nebojsa Pavkovic dan Vladimir Lazarevic (Mantan Jenderal Serbia), dan Sreten Lukic (Mantan kepala dinas keamanan masyarakat Serbia) untuk kasus kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Kosovo. 

Sainovic dihukum penjara 22 tahun, Pavkovic 22 tahun penjara, Lazarevic 15 tahun penjara, dan Lukic dipenjara 22 tahun. Mengutip BBC, Jaksa Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Yugoslavia (ICTY) menuduh seluruh terdakwa berpartisipasi dalam dugaan aksi teror dan kekerasan terhadap warga Kosovo keturunan Albania dan warga non-Serbia lain di Kosovo pada 1999.

Pada 2015, lahirlah Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Kosovo. Pengadilan ini dibentuk untuk menangani kasus-kasus terkait Perang Kemerdekaan Kosovo, termasuk tuduhan serangan KLA terhadap warga sipil selama dan setelah perang.

Pada November 2020, mantan Presiden Kosovo, Hashim Thaci, dibawa ke pusat penahanan Pengadilan Khusus Kosovo di Den Haag, Belanda, atas kasus kejahatan perang. Bersama tiga mantan pemimpin KLA, Thaci dituduh mengawasi fasilitas penahanan ilegal tempat musuh gerakan tersebut ditahan dalam kondisi yang tidak manusiawi, disiksa, dan dibunuh. Selama periode itu, Thaci bertindak sebagai Komandan KLA.

"Dakwaan itu membawa harapan bagi ratusan korban Perang Kosovo yang telah menunggu lebih dari dua dekade untuk mengetahui kebenaran tentang kejahatan mengerikan yang dilakukan kepada mereka dan orang-orang yang mereka cintai. Tuntutan itu membuktikan bahwa kedudukan pejabat senior tidak pernah berada di atas hukum," papar Peneliti Kasus Balkan untuk Amnesty International, Jelena Sesar.

"Bukti kejahatan perang yang dilakukan oleh kepemimpinan KLA, termasuk kampanye penganiayaan yang berkelanjutan terhadap Serbia, Roma, dan lawan politik di antara orang-orang Albania Kosovo, cukup menarik. Beberapa tuduhan meliputi keterlibatan dalam penangkapan sewenang-wenang, penghilangan paksa, penyiksaan dan penganiayaan terhadap tahanan dan pembunuhan lawan."

Orang-orang Kosovo menentang penangkapan ini. Bagi mereka, Thaci dan ketiga pemimpin tersebut adalah pahlawan yang membebaskan etnis Albania dari pembantaian Serbia. 

Perang Kosovo memang telah berakhir. Namun, ketegangannya tak kunjung mereda. Pada 2017, muncul kisruh karena persoalan layanan kereta api dengan jalur dari Serbia ke Kosovo. Masalahnya, ada tulisan "Kosovo Adalah Serbia" pada badan kereta milik pemerintah Serbia tersebut. 

Pemerintah Kosovo lantas menghentikan kereta tersebut di perbatasan Serbia-Kosovo. Menurut mereka, kereta seperti ini hanya akan mengganggu kedaulatan Kosovo. Sebagian etnis Serbia yang masih menempati wilayah utara Kosovo tak terima dan melakukan aksi.

Untuk meredam konflik seperti ini, Presiden Kosovo dan Presiden Serbia mempertimbangkan pertukaran wilayah pada 2018. Meski pertukaran wilayah bukan hal asing di Balkan, strategi itu dianggap hanya akan memperkeruh masalah. Salah satu faktor yang diperkirakan dapat memancing konflik baru adalah kependudukan etnis di Serbia dan Kosovo tidak sesederhana etnis A ada di wilayah A dan etnis B ada di wilayah B.

***

Yang kian memusingkan, konflik dan kemarahan tersebut merangsek ke ranah lain, termasuk sepak bola. Ribut-ribut Arnautovic dan Alioski itu bukan satu-satunya. Berhitung mundur hingga Piala Dunia 2018, Xherdan Shaqiri merayakan gol ke gawang Serbia dengan membentuk gesture seperti burung elang dengan tangannya. 

Burung elang adalah simbol negara Albania. Serupa Alioski, Shaqiri merupakan orang Albania yang menjadi imigran di Swiss. Pun dengan insiden di tengah laga Serbia vs Albania pada Kualifikasi Piala Eropa 2016.

Meski demikian tak ada satu alasan politis atau latar belakang sejarah pun yang rasanya cukup kuat untuk membenarkan apa yang dilakukan Arnautovic. Berhitung mundur sampai 2009, Arnatuovic juga pernah melakukan tindak rasialis kepada Ibrahim Kargbo. 

"Pemain fantastis, tetapi bertingkah seperti bocah." Jika Jose Mourinho yang pada dasarnya jago memicu ribut-ribut itu saja berkata demikian, siapa yang bisa membantah?