Barcelona: Dari Friksi ke Friksi, dari Gejolak ke Gejolak

Foto: Net Workers dari Pixabay.

Ribuan pendukung Barcelona melongo, membekap kepala, merutuk, mengutuk, menarik napas panjang, dan mempertanyakan mengapa friksi enggan menyingkir dan gejolak tak mau enyah dari rumah mereka, Camp Nou dan Catalunya.

Sulit menemukan peraduan hangat dan semerbak di Catalunya, termasuk di dalam ruang ganti Barcelona.

Catalunya berdiri anggun di tepi Laut Mediterania. Letaknya membuat orang-orang mengambil kesimpulan bahwa negeri ini adalah tanah yang romantis. Namun, romantisme tidak bicara tentang yang indah-indah melulu. Romeo dan Juliet, Tony dan Maria dalam West Side Story, Cleopatra dan Antony--semuanya mati tak bersisa.

Begitu pula dengan mereka yang hidup di Catalunya. Catalunya adalah tentang gejolak dan tragedi. Entah bagaimana caranya, gen itu merembes masuk ke dalam kulit dan bercokol dalam darah Barcelona. Joan Gamper--pendiri Barcelona--tewas bunuh diri. Presidennya, Josep Sunyol, ditembak tentara fasis.

Klub besar, pioner sepak bola indah, tempat tujuan jagoan-jagoan asing. Barcelona adalah klub yang mengelu-elukan diri sebagai klub kosmopolitan. Tempat ini adalah titik temu antara perjumpaan pribumi yang meninggalkan negeri dan orang asing yang datang menjejak.

Itulah sebabnya Barcelona terbiasa berlaga dengan para pemain asing. Bahkan orang asing bernama Johan Cruyff-lah yang membangun Barcelona sebagai tim impian. Lewat corat-coret taktiknya, Barcelona menjadi definisi seperti apa sepak bola indah itu.

****

Ronald Koeman marah besar di ruang ganti. Kekalahan Barcelona dari Cadiz pada 6 Desember 2020 adalah penyebabnya. Telunjuknya diarahkan satu-satu ke wajah pemain. Menurut Koeman kekalahan itu bukan karena kesalahan wasit, bukan pula karena permainan kotor lawan atau ketidakberdayaan taktiknya. Para pemain Barcelona adalah biang kerok kekalahan 1-2 itu. Tipis, tetapi memalukan.

Kemarahan Koeman dapat dipahami. Ia telah memberikan lampu hijau kepada para pemain muda seperti Ansu Fati dan Pedri untuk mentas. Ia pun sudah menyusun program pemulihan untuk para pemain yang cedera seperti Ousmane Dembele dan Philippe Coutinho.

Apa lacur, Barcelona tampil semenjana. Mereka seperti anak bawang yang terus-menerus kehilangan konsentrasi sepanjang pertandingan. Koeman berang, ia lantas meminta manajemen mendatangkan pemain pada Januari 2021.

Akan tetapi, mendatangkan pemain sekarang bukan perkara mudah untuk Barcelona. Pandemi menghantam keuangan mereka. Klub merilis laporan keuangan yang menunjukkan kerugian untuk periode yang ditutup pada Juni 2020.

Presiden Interim Barcelona, Carles Tusquets, bahkan melempar kode bahwa mereka tidak akan mendatangkan pemain pada bursa transfer Januari 2021. Itu artinya, Barcelona harus berbenah dengan apa yang ada di tangan mereka sekarang.

Tidak ada satu orang pun yang perlu kaget seandainya marah-marah Koeman dan kebuntuan dalam upaya mencari solusi berujung pada friksi ruang ganti. Barcelona adalah klub tempat friksi bersarang, bahkan sejak masa kepelatihan The Special One mereka, Helenio Herrera. Begitulah, jauh sebelum Jose Mourinho menyebut dirinya sendiri sebagai The Special One, orang-orang Camp Nou telah memanggil Herrera dengan sebutan demikian.

Ketimbang spesial, rasanya Herrera lebih pantas disebut ajaib. Dia hebat, ayah kandung catenaccio, otaknya cerdas mengatur taktik. Pesonanya luar biasa pula. Barangkali di era sekarang ia seperti Thom Yorke yang tarikan napas panjangnya diperhitungkan sebagai karya seni oleh para pemujanya.

Masalahnya, pesona itu juga membuat Herrera sebagai sosok yang dibenci. Ia adalah orang yang bisa dengan lempeng melakukan segala macam hal yang membikin orang geleng-geleng kepala kepada siapa pun yang berpotensi mengacaukan pesonanya.

Ambil contoh apa yang terjadi pada Laszlo Kubala. Bintang asal Hungaria ini sudah berumur 31 tahun ketika Herrera menjejak ke Barcelona pada 1958. Herrera pada dasarnya disebut-sebut tidak menyukai Kubala. 

Foto: Michelle Maria dari Pixabay.

Menurut Herrera, permainan Kubala sering merepotkan diri sendiri dan timnya. Herrera menilai Kubala senang bermain sirkus saat berlaga. Menggocek bola terlalu lama sehingga mematahkan momentum, padahal ketika itu Herrera menerapkan sistem permainan cepat dan agresif.

Model permainan tadi membikin Herrera menilai Kubala lebih paham cara menjadi pesepak bola sensasional ketimbang efektif. Sederhananya, Herrera tak suka dengan tingkah Kubala yang ingin menjadi primadona lewat sepak bolanya. Bagi Herrera, primadona di Barcelona hanya satu: Dia sendiri.

Dalam bukunya yang berjudul Inverting the Pyramid: The History of Football Tactics, Jonathan Wilson menulis bahwa Kubala punya gaya hidup yang ugal-ugalan seperti rockstar. Ia gemar minum-minum alkohol sampai skala yang membuat orang menempelkan label alkoholik di jidatnya, menggilai pesta, dan doyan absen latihan.

Kondisi itu cukup ironis karena Herrera datang dengan menenteng misi membentuk Barcelona sebagai tim terhebat yang tentu saja sanggup menjungkalkan Madrid. Berangkat dari situ, ia tidak cuma mengubah permainan, tetapi juga skema latihan. Saking hardcore-nya latihan tersebut, sejumlah pemain sampai muntah-muntah di beberapa sesi awal.

Klub bukannya tidak tahu kelakuan Kubala, mereka cuma pura-pura tidak tahu. Mau bagaimana lagi, Kubala memang pemain hebat. Dalam semusim saja ia bisa mempersembahkan lima gelar juara untuk Barcelona.

Meski demikian, Herrera tak suka. Kubala bahkan kehilangan tempat saat Barcelona melawan Madrid di semifinal Liga Champions 1959/60. Akibatnya, Barcelona kalah 2-6 secara agregat.

Herrera mengupayakan banyak cara agar ditendang. Apes, yang meninggalkan Camp Nou malah Herrera. Para direksi klub tidak menyukai apa yang dibicarakan Herrera kepada mereka soal Kubala. Apa boleh buat, Herrera mesti angkat kaki.

Sid Lowe dalam bukunya yang berjudul Fear and Loathing in La Liga menulis bahwa suporter Barcelona dulu terbagi dalam dua kubu: Penggila Kubala dan pemuja Luis Suarez Miramontes.

Perpecahan itu membikin pemain Madrid, Hector Rial, heran. Ia takjub saat melihat kedua kubu suporter justru ribut-ribut saat Barcelona sedang berlaga melawan Madrid. Barcelona ternyata memang berkawan erat dengan friksi. Tidak hanya di jajaran direksi, bukan cuma di ruang ganti, tetapi juga di tribune suporter. Klub edan.

Johan Cruyff legenda terbesar mereka saja sampai ditendang karena persoalan politis. Barcelona boleh mendirikan patung raksasa untuk mengenang dan menghormati Cruyff. Mereka sah-sah saja merilis pernyataan puitis dan menusuk di hari kematian Cruyff. Namun, intrik-intrik bau busuk itulah yang mengusir Cruyff dari Camp Nou.

Pada 1996, Cruyff dipecat dengan tidak transparan. Di depannya para petinggi klub mendeklarasikan kepercayaan kepadanya, di belakang malah mengikat kerja sama dengan Bobby Robson yang apesnya tak tahu-menahu urusan dapur Barcelona.

Gaduh politik di era Cruyff berlanjut ke era Robson dan Louis van Gaal. Cruyff menyebut Barcelona penuh dengan gerombolan politikus yang saling menancapkan kuku kekuasaan.

Gejolak tersebut berpengaruh pada tim. Ketimbang mengurus skuad, Robson dan Van Gaal lebih banyak berkutat dengan politik klub. Solusi yang akhirnya dilakukan Robson dilanjutkan oleh Van Gaal. Mereka mengutus sang penerjemah sekaligus asisten pelatih, Jose Mourinho.

Keberadaan Mourinho cukup membantu. Ia tidak sekadar menjadi kawan bicara bagi para pemain, tetapi juga pemimpin tim. Ia bekerja dengan para penggawa dengan ego selangit dan menjadi pelindung ketika hantaman politis mulai menyerang tim. Ketika para pelatih dipusingkan dengan persoalan non-sepak bola, Mourinho memastikan para pemain Barcelona tidak kehilangan pelatih.

****

Lalu datanglah Pep Guardiola. Ronaldinho kehilangan senyumnya dan Deco mati gaya. Di konferensi pers pertamanya, Guardiola menyebut bahwa ia sudah mempersilakan Ronaldinho dan Deco untuk pergi.

Sebagian orang menganggap Guardiola semena-mena. Namun, pada dasarnya keputusan itu bukan murni dari Guardiola. Mantan Direktur Teknik Barcelona, Lluis Lainz, memaparkan bahwa sebenarnya keputusan menendang Ronaldinho dan Deco berasal dari Txiki Begiristain.

Mengutip tulisan Sam Lee di The Athletic, konferensi pers itu hanya muara dari friksi antara Ronaldinho dan Thierry Henry yang sudah meradang berbulan-bulan. Begiristain tak mau mengambil risiko. Apa-apa yang dipandangnya merusak tim harus dikeluarkan secepatnya.

Friksi tersebut melibatkan dua orang. Namun, dari hitung-hitungan taktik Henry-lah yang pas untuk tinggal di Barcelona selama Guardiola menjabat sebagai pelatih. Lagi pula, klub sedang mempersiapkan Messi sebagai pemimpin tim.

Sebenarnya Samuel Eto’o juga tidak masuk dalam rencana Guardiola. Namun, ia masih sanggup bertahan hingga akhirnya swap deal antara Eto’o dan Zlatan Ibrahimovic. Kedatangan bintang Swedia ini melahirkan friksi baru di ruang ganti. 

Kita semua tahu bahwa Zlatan adalah pemberontak kelas kakap. Ia emoh manggut-manggut, bahkan di hadapan seorang genius sekalipun. Ia muak dengan aturan tim yang mengharuskan para pemain mengendarai Audi sebagai bagian dari kerja sama sponsor, padahal ia ingin menggila dengan Porsche.

Katanya, Guardiola sampai enggan menoleh kepada Ibra. Dalam buku I Am Zlatan, ia menyebut bahwa Guardiola acap menghindar darinya. “Jika saya memasuki sebuah ruangan dan dia ada di situ, dia langsung keluar.”

Zlatan pada dasarnya kesal karena Messi harus menjadi pusat permainan Barca. Ia menganggap Guardiola selalu menuruti apa yang diminta Messi. Ketika Messi emoh jadi pemain sayap dan ingin bermain di tengah, Guardiola merespons dengan mengubah skema dasar 4-3-3 menjadi 4-5-1. Meski Zlatan tetap jadi penyerang tengah, tugasnya berganti menjadi pembuka jalan bagi Messi yang mengambil posisi tepat di belakangnya.

Ini bukan sepak bola Zlatan. Ia menyampaikan keberatannya kepada Guardiola. Keduanya sempat berdiskusi, tetapi Zlatan menilai Guardiola tetap bersikap dingin padanya. 

Menurutnya tak ada yang berubah setelah diskusi itu. Bahkan penampilannya yang meledak-ledak di Liga Champions melawan Arsenal sia-sia. Setelah mencetak dua gol di Emirates, Zlatan malah ditarik. Henry masuk supaya---katanya, sih--Messi bisa lebih bersinar.

Alih-alih berpendar, Messi justru dikartu merah dan Arsenal menyamakan kedudukan. Friksi Zlatan dan Guardiola berlanjut, hingga akhirnya ia memutuskan untuk mengiyakan tawaran untuk dipinjamkan ke AC Milan.

Kabarnya Guardiola keukeh membentuk Barcelona sebagai tim yang menggunakan onderdil asli La Masia. Akademi itu ibarat laboratorium yang menjadi kiblat pendidikan dan pengembangan talenta muda. Xavi, Sergio Busquets, Lionel Messi, dan Andres Iniesta bukan dilahirkan dari La Masia, mereka diciptakan oleh La Masia.

Jika kegigihan itu didasari dengan kepercayaan bahwa sepak bola Barcelona harus dibangun murni dengan ide asli Barcelona, bakal menjadi rancu. La Masia adalah sistem yang diimpor dari Amsterdam. La Masia adalah pengejawantahan ide Cruyff yang dimulai dan diperamnya sejak di Ajax.

***

Guardiola angkat kaki, friksi Barcelona masih menetap. Pada 2015, misalnya. Luis Enrique yang kala itu menjabat sebagai pelatih bertengkar dengan Messi. Menurut bek Barcelona, Jeremy Mathieu, Messi tiba-tiba marah dalam sebuah sesi latihan usai libur musim dingin. Messi tak terima karena Enrique yang di sesi itu menjadi wasit tak memberikan pelanggaran.

Ribut-ribut itu tidak selesai sampai di argumen. Katanya, Neymar sampai harus melerai keduanya agar tidak terlibat adu jotos. Jika pemain sebengal Neymar turun tangan untuk mendamaikan kedua kubu, rasanya ada yang benar-benar tidak beres.

Sebagian orang menganggap friksi Enrique dan Messi itu sebagai perkara biasa. Toh, tak ada yang kelewat aneh jika suatu waktu kamu berargumen karena tidak sepaham dengan bosmu di kantor.

Masalahnya, friksi di Barcelona tidak selesai-selesai, bahkan berkembang menjadi gejolak. Mulai dari gaduh transfer Neymar, ribut-ribut yang menyeret nama Eric Abidal, Ernesto Valverde, dan (lagi-lagi) Messi, isu para petinggi untuk menyingkirkan Messi, kepergian Luis Suarez, mundurnya Josep Bartomeu dan para petingginya, hingga pengakuan Messi bahwa ia tidak lagi bahagia--semuanya terjadi di Barcelona.

Ribuan pendukung Barcelona melongo, membekap kepala, merutuk, mengutuk, menarik napas panjang, dan mempertanyakan mengapa friksi enggan menyingkir dan gejolak tak mau enyah dari rumah mereka, Camp Nou dan Catalunya.