Berlian dalam Kubangan

Wayne Rooney melakukan pekerjaan luar biasa di Derby County. (Instagram/@dcfcofficial)

Jangan tengok posisi dan jumlah poin Derby County di klasemen untuk menilai seorang Wayne Rooney. Tengoklah berapa poin yang mestinya bisa diperoleh Derby tanpa adanya penalti poin. Rooney di Derby bak berlian dalam kubangan lumpur.

Ada satu hal yang begitu dibenci oleh Wayne Rooney dan itu pertama kali dia tunjukkan dalam sebuah pertandingan Premier League tahun 2005.

Musim 2004/05, Rooney menjalani musim pertamanya bersama Manchester United. Pada musim panas 2004, selepas gelaran Piala Eropa, Rooney diboyong Sir Alex Ferguson dari Everton dengan nilai transfer £20 juta. Nilai itu membuat Rooney jadi remaja termahal di sepak bola waktu itu.

Ya, Rooney masih remaja ketika pindah ke Manchester United. Akan tetapi, dia sudah cukup sarat pengalaman. Bahkan, di Euro 2004, Rooney telah menjadi andalan Timnas Inggris. Rooney memiliki itu karena dia memang telah mencuat ke permukaan di usia yang sangat muda, 16 tahun.

Sensasi adalah citra yang melekat kuat pada Rooney muda. Dia membuka rekening gol di Premier League dengan cara sensasional; lewat sebuah tembakan jarak jauh yang bersarang di pojok kanan atas gawang Arsenal. Di Manchester United pun dia memperkenalkan diri dengan cara yang sensasional.

Penampilan perdana Rooney, melawan Fenerbahce di Liga Champions, dihiasnya dengan hat-trick. Ketiga gol tersebut pun mencerminkan segala kemampuan Rooney. Kecepatan, kekuatan, akurasi tembakan, bahkan kemampuan eksekusi bola mati. Hanya dari pertandingan pertama, para pendukung Manchester United sudah bisa memprediksi bahwa Rooney akan jadi pemain besar dan penting buat mereka.

Masih di musim yang sama, dalam pertemuan di Old Trafford dengan Newcastle United, Rooney kembali menghadirkan sensasi. Dia mencetak sebuah gol voli dari luar kotak penalti yang sampai sekarang klipnya masih acap diedarkan para pecandu nostalgia di media sosial.

Proses gol itu amat, sangat cepat. Bola lambung dikirim dari belakang oleh seorang bek Man United. Bola kemudian disapu dengan sundulan oleh seorang pemain belakang Newcastle. Bola sapuan itu mengarah ke dekat area setengah lingkaran kotak penalti. Namun, sebelum bola menyentuh tanah, Rooney yang sebelumnya berlari dari lini tengah langsung menyepaknya. BAM! Koyaklah jala gawang Newcastle yang dikawal Shay Given.

Nyaris dua puluh tahun berselang, Rooney buka suara ihwal gol tersebut. Dalam wawancara dengan Alan Shearer—kapten Newcastle pada laga itu—untuk The Athletic, Rooney bertutur mengenai gol ajaib tersebut. Kata Rooney, itu adalah ekspresi kekesalan terhadap ketidakadilan yang ditunjukkan wasit sepanjang pertandingan.

"Aku marah sekali. Kau bisa lihat kemarahan itu di wajahku. Lalu aku melihat Kleberson melakukan pemanasan di pinggir lapangan, bersiap-siap masuk menggantikanku. Melihat itu aku semakin kesal saja karena tahu bakal diganti," kenang Rooney dalam wawancara tersebut.

Di masa-masa awal kariernya, Rooney memang dikenal sebagai sosok yang mudah marah. Dia pernah dikartu merah karena bertepuk tangan secara sarkastis di depan wasit Kim Milton Nielsen dalam laga Liga Champions 2004/05 melawan Villarreal. Pada 2006, Rooney juga harus mengakhiri Piala Dunia dengan kartu merah dalam laga kontra Portugal.

Empat momen di atas adalah hal-hal yang mendefinisikan sosok Rooney pada masa mudanya; pemain yang punya talenta dan energi luar biasa tetapi acap kebingungan mencari medium penyaluran. Syukurnya, Rooney pelan-pelan mampu mengubah semua itu. Malah, dia akhirnya dinobatkan menjadi kapten Timnas Inggris, Manchester United, lalu Everton ketika dia kembali ke sana.

Dengan kata lain, Rooney sebetulnya memiliki jiwa kepemimpinan. Dia tahu persis cara menarik respek dari rekan-rekan setim maupun lawan. Dia juga tak segan berkorban untuk kepentingan rekan-rekannya dan ini tidak cuma ditunjukkan dengan tekel atau kemauan berlari. Rooney juga rela bermain tidak di posisi aslinya selama bertahun-tahun demi tim yang dia bela.

Ya, sehebat itulah sosok Rooney. Sayang, dia bermain di era yang sama dengan Ronaldinho, Kaka, Lionel Messi, dan Cristiano Ronaldo. Rooney yang cukup rentan cedera dan terlalu rela berkorban itu pun jadi sedikit tenggelam pamornya. Namun, bagi mereka yang senantiasa mengikuti dirinya dari satu laga ke laga lain, Rooney adalah salah satu pesepak bola terhebat di eranya.

Kini, karier sebagai pemain sudah tak lagi dia geluti. Usianya sudah 36 tahun dan, meskipun pemain-pemain seangkatannya masih ada yang bermain (termasuk Ronaldo), Rooney telah menggeluti karier baru sebagai pelatih. Pada Januari 2020, Rooney telah memulai karier kepelatihan sebagai player-coach di Derby County. Setahun kemudian, dia ditunjuk sebagai pelatih tetap dan memutuskan gantung sepatu.

Ketika pertama kali ditunjuk sebagai pelatih, Rooney tidak sendirian. Dia mengemban peran bersama Given,  Liam Rosenior (eks bek Fulham), serta Justin Walker. Sampai sekarang, Given, Rosenior, dan Walker pun masih membantu Rooney di Derby.

Keempat sosok itu ditunjuk manajemen Derby untuk menyelamatkan klub yang meraih rentetan hasil buruk di bawah asuhan manajer Belanda, Philip Cocu. Ternyata, keempat sosok minim pengalaman itu mampu menjawab tantangan yang ada. Mereka sukses menyelamatkan Derby dari degradasi dan, secara khusus, Rooney bahkan sempat digosipkan bakal jadi pelatih Celtic pada musim 2021/22 berkat keberhasilan tersebut.

Sayangnya, meski telah menyelamatkan The Rams pada musim 2020/21, Rooney cs. menghadapi sebuah misi mustahil di musim ini. Derby dinyatakan bangkrut, harus masuk administrasi, dan mendapatkan pengurangan 21 poin sejak awal musim. Selain itu, Derby juga tidak boleh membeli pemain dan cuma punya 9 pemain senior pada awal musim. Akibatnya, Derby sampai pekan ke-25 Championship masih terjebak di dasar klasemen (posisi 24). Padahal, tanpa pengurangan poin, Derby seharusnya bisa berada di urutan ke-14.

Permasalahan Derby ini sendiri dimulai pada 2014, ketika seorang pengusaha lokal bernama Mel Morris membeli 22% saham klub. Sejak itu Morris perlahan-lahan mencaplok saham-saham yang ada di Derby hingga akhirnya, setahun kemudian, dia menjadi pemilik tunggal.

Sebagai warga lokal, Morris punya kedekatan sentimental dengan Derby County. Dia pernah menyaksikan Derby menjuarai Divisi Satu Liga Inggris bersama Brian Clough. Dia pernah melihat Derby County melaju jauh di European Cup. Maka, tujuan Morris ketika mengambil alih kepemilikan Derby adalah mengembalikan klub ini ke Premier League. Sebagai catatan, terakhir kali Derby berlaga di Premier League adalah pada musim 2007/08, ketika mereka mengakhiri musim sebagai kontestan terburuk dalam sejarah.

Morris, singkatnya, ingin mengembalikan muruah Derby. Namun, sepak bola tidaklah sesederhana niat suci. Terlalu banyak variabel yang mesti dipertimbangkan untuk meraih kesuksesan, termasuk faktor keberuntungan. Boleh dibilang, faktor keberuntunganlah yang pada akhirnya menghancurkan Derby County era Morris.

Pada 2014, Derby berhasil mencapai final playoff promosi ke Premier League tetapi harus mengakui keunggulan Queens Park Rangers. Inilah yang kemudian memacu Morris untuk menjadi pemilik tunggal klub. Dia ingin dikenang sebagai patron yang mengembalikan Derby County ke khitahnya di Premier League.

Morris pun jorjoran di bursa transfer. Nama-nama yang lumayan tenar didatangkan ke Pride Park, mulai dari Tom Ince, Andreas Weimann, Matej Vydra, bahkan Ashley Cole. Namun, Derby tak kunjung mampu menembus langit-langit kaca itu.

Pada musim 2018/19, di bawah asuhan Frank Lampard, Derby sebetulnya mampu kembali berlaga di final playoff promosi Premier League. Akan tetapi, mereka kalah 1-2 dari Aston Villa. Kekalahan inilah yang akhirnya menjadi titik balik peruntungan Morris di Derby.

Untuk membangun skuad kompetitif, Morris rela merugi. Menurut catatan BBC, Derby mengalami kerugian £14,7 juta di 2016 dan £7,9 juta di 2017. Pada 2018, mereka sebetulnya mengalami kerugian lebih besar lagi. Mestinya, dengan catatan kerugian tahun 2018 itu, Derby sudah melanggar aturan finansial English Football League yang hanya membolehkan sebuah klub merugi sampai £39 juta dalam tiga tahun. 

Akan tetapi, Derby lolos dari sanksi karena Morris membeli Pride Park dengan nilai £80 juta. Pembelian tersebut membuat Derby mendapatkan keuntungan, meskipun yang membeli kandang mereka adalah pemilik mereka sendiri.

Namun, upaya ini justru jadi senjata makan tuan. Sebab, menyusul reviu yang dilakukan EFL pada Januari 2020, penjualan stadion itu justru menjadi sebab Derby dikenai sanksi pelanggaran aturan finansial. Sampai akhirnya, pada 2021, Derby dinyatakan bangkrut dan harus masuk administrasi.

Masih menurut catatan BBC, Morris sendiri mengalami kerugian pribadi sampai £200 juta selama menjadi pemilik Derby. Itulah mengapa, sejak 2019, Morris sebetulnya sudah ingin melego klub kesayangannya ini. Sejumlah pihak sudah menjalin kontak. Ada yang dari Amerika, ada yang dari Swiss, ada pula yang dari Uni Emirat Arab. Namun, semua proses takeover itu gagal.

Karena tak kunjung punya pemilik baru, Derby pun masuk administrasi. Artinya, klub ini sekarang berada di bawah kendali pemerintah Inggris, meskipun sehari-harinya Derby dijalankan oleh sebuah firma bernama Quantuma. Selama dikendalikan Quantuma, Derby sebetulnya juga tidak kekurangan peminat. Terakhir, pada akhir Desember 2021, pebisnis Amerika Chris Kirchner mengabarkan bahwa pihaknya batal mengakuisisi Derby karena kata sepakat tidak tercapai.

Kini, Derby pun masih jadi incaran sejumlah pebisnis, salah satunya eks pemilik Newcastle United, Mike Ashley. Menurut laporan terbaru media-media Inggris, Ashley telah menyiapkan dana £50 juta untuk mengambil alih kepemilikan Derby. Untuk itu, Ashley mesti bersaing dengan pebisnis lain bernama Andy Appleby. Appleby sendiri pernah menjadi pemilik klub tetapi kali ini dia merencanakan takeover lewat sebuah konsorsium.

Sederhananya, Derby County sedang kacau balau. Bahkan, dalam suatu kesempatan, Rooney mesti meminjam telepon dokter tim (dan berpura-pura jadi dokter tim) hanya untuk berbicara dengan Morris. Akan tetapi, seperti yang tercermin dalam penampilan di lapangan, Rooney sebetulnya sudah menjalankan tugas sebagai pelatih dengan sangat baik. Dia bahkan mampu mengorbitkan sejumlah nama: Max Bird, Jason Knight, Tom Lawrence, dan Graeme Shinnie.

Secara matematis, Derby masih mungkin lolos dari degradasi. Mereka kini "cuma" tertinggal 11 angka dari Reading yang duduk satu strip di atas zona merah. Namun, harus diakui, ini adalah misi sulit. Kemungkinan terbesar bagi Derby adalah finis tidak sebagai juru kunci meski tetap bakal terdegradasi.

Jika itu terjadi, Rooney adalah orang terakhir yang bisa disalahkan. Sebagai manajer pemula, suami Colleen itu sudah melakukan hal terbaik. Sesekali, dia memang terlihat terlalu legawa dalam menerima kekalahan. Akan tetapi, sikap itu sebetulnya merupakan cara Rooney menetralkan suasana. Dia mesti membuat para pemainnya fokus dengan kinerja di lapangan alih-alih drama di luaran.

Kalaupun Derby County nanti mesti terlempar dari Championship, hal serupa rasanya takkan menimpa Rooney. Dengan apa yang sudah dia tunjukkan selama hampir dua tahun, kapasitas Rooney sebagai seorang manajer sudah terlihat. Saat ini, Rooney bagaikan berlian dalam kubangan lumpur dan dia pantas naik ke level yang lebih tinggi lagi.