Besar karena Dortmund, lalu Pergi untuk Meruntuhkan Dortmund
Ada dua bab dalam hidup Matthias Sammer yang dipersembahkan khusus untuk Borussia Dortmund. Pertama, bab untuk mengingat bahwa ia besar karena Dortmund. Kedua, bab tentang bagaimana ia meruntuhkan Dortmund.
Jika mesti berdarah-darah atau bahkan mati demi Borussia Dortmund, Matthias Sammer tak segan melakukannya.
Di tempat itulah, menurut pengakuannya sendiri, segala sesuatu yang bisa seseorang raih sebagai pesepak bola bisa dia gapai. Tempat itu pula yang membuatnya merasa dicintai sekaligus berkembang menjadi pemain dan pribadi yang lebih baik ketimbang sebelumnya.
“Ada dua fase penting dalam hidup saya. Pertama, ketika saya masih di Dynamo Dresden hingga umur 22 tahun. Kedua adalah bersama Borussia Dortmund, tempat saya membuktikan diri lagi setelah pindah dari Inter Milan,” tutur Sammer dalam sebuah wawancara.
Dortmund adalah salah satu anggota pendiri Bundesliga, tetapi hingga akhir 80-an, tak ada hal yang benar-benar bisa mereka banggakan dari sana. Sejak kompetisi sepak bola tertinggi Jerman itu bergulir pada 1963–64, tak sekalipun Dortmund menjadi juara.
Satu-satunya hal yang bikin mereka agak lega adalah karena Schalke 04, seteru yang juga berasal dari Ruhr, punya nasib serupa.
Dortmund memang tak ubahnya tim kelas menengah pada masa itu. Capaian terbaik mereka cuma dua gelar DFB-Pokal. Kedua trofi itu tentu tak cukup untuk mengubah citra medioker Dortmund. Apalagi, mereka pernah terdegradasi pada 1972 dan baru kembali empat tahun berselang.
Bahwa kemudian nasib Dortmund berbalik sejak pertengahan 1990-an, penyebabnya karena revolusi yang dibawa Presiden baru Dortmund, Gerd Niebaum, serta kedatangan pelatih karismatik bernama Ottmar Hitzfeld. Setidaknya, itulah pandangan Sammer.
Namun, sebetulnya ada satu nama lain yang juga tak kalah krusial. Siapa lagi kalau bukan Sammer itu sendiri.
Sammer lahir di Dresden pada 1967 dan ini seperti sebuah takdir. Sebelum luluh lantak akibat bom dahsyat pada Perang Dunia II, Dresden adalah salah satu benteng pertahanan Jerman. Kota itu juga dikenal sebagai tempat berdirinya banyak bangunan dengan arsitektur memesona.
Di atas rumput lapangan, semua yang ada di Dresden tergambar jelas dalam diri Sammer. Ia kokoh, tetapi juga punya kemampuan teknis yang menawan. Aspek seperti itu membawanya mendapat peran penting sekaligus harum di sepak bola Jerman: Libero.
Walau demikian, Sammer tak memulai segala sesuatunya dari sana.
Ketika ayahnya yang bernama Klaus memberinya debut bersama Dynamo Dresden pada 1985, Sammer adalah seorang penyerang. Pada Oberliga musim itu, ia bahkan kuasa mencetak delapan gol. Angka yang cukup untuk membuktikan bahwa dia memang punya potensi di sana.
Namun, sang ayah menggesernya ke pos penyerang kiri sebelum akhirnya menjadi gelandang tengah. Perubahan itu mereduksi jumlah golnya, tetapi Sammer mampu menunjukkan potensinya yang lain: Bertahan, mengatur tempo, sekaligus merancang serangan.
Perubahan itu juga yang mengantarkan Sammer menuju tim-tim yang lebih besar. Pada 1990, dia bergabung dengan Stuttgart dan bahkan sempat mempersembahkan gelar Bundesliga. Dua musim berselang, Sammer terbang ke Italia untuk bermain di Inter.
Italia adalah kiblat sepak bola kala itu. Para bintang luar negeri datang meramaikan dan Jerman bukan pengecualian. Sebelum Sammer, nama-nama seperti Karl-Heinz Rummenigge, Lothar Matthaeus, dan Juergen Klinsmann lebih dulu mendarat. Ketiganya bermain untuk Inter.
Bahwa mereka mampu memberi banyak hal selama di Giuseppe Meazza, jadi alasan mengapa Inter mendatangkan Sammer. Padanya Inter berharap hal serupa. Walau begitu, karier Sammer di Italia malah berakhir dengan cepat tanpa siapa pun menduga.
Beberapa media melaporkan, Sammer tak cocok dengan kehidupan Italia. Ini berbanding terbalik dengan yang dia tunjukkan di atas lapangan. Selama berlaga, performanya cukup oke dengan 4 gol dari 11 pertandingan. Nama Sammer juga mulai mendapat tempat di hati para fans.
Namun, apa mau dikata, dia tak kerasan. Maka, ketika Dortmund memanggilnya pulang ke Jerman pada 1993, tak ada opsi lain bagi Sammer kecuali menerimanya.
Hitzfeld sudah melatih Dortmund pada musim itu. Dalam diri Sammer, dia melihat salah satu pesepak bola paling cerdas yang pernah dilatih. Kata Hitzfeld, kecerdasan itu membawa Sammer mampu beradaptasi dengan cepat dalam segala kondisi di atas lapangan.
Pada beberapa laga awal Bundesliga, Hitzfeld pernah memainkan Sammer di semua posisi lini tengah dalam skema 3–5–2 andalannya. Lewat peran itu Sammer sudah mencetak 10 gol kendati kompetisi baru mencapai musim dingin.
Orang-orang terkesima dengan catatan tersebut. Ketika paruh kedua berjalan, rasa kagum itu kian menjadi. Muasalnya, Hitzfeld memberi peran baru sebagai libero dan Sammer mampu memerankannya dengan baik, persis ketika sang ayah mengubah posisinya bertahun-tahun lalu.
Dia bisa menjadi sweeper dengan menghalau semua serangan lawan, sekaligus merancang serangan dari belakang. Bahkan tak sekali-dua kali Sammer maju ke depan untuk mencetak gol. Hitzfield lantas menyebut Sammer “…bisa memimpin Dortmund berjaya pada tahun-tahun mendatang.”
Prediksi itu terbukti. Dimulai sejak 1994–95, Sammer membawa Dortmund menjuarai Bundesliga dua kali beruntun. Dia juga mempersembahkan gelar Liga Champions pertama buat Dortmund pada 1997. Catatannya kian lengkap dengan raihan Ballon d’Or setahun sebelumnya.
Lantas, publik Jerman memuji Sammer setinggi langit. Apalagi, selain karena raihan Piala Eropa 1996, sudah cukup lama Jerman tak memiliki libero mumpuni sepeninggal Franz Beckenbauer. Namun, bagi Sammer, yang seharusnya jadi sorotan adalah sosok di balik perubahan posisinya.
“Kami punya konduktor dalam diri Ottmar Hitzfeld. Dia punya naluri dan keseimbangan yang hebat untuk memimpin tim ini,” ungkap Sammer.
Satu nama lain yang menurut Sammer tak kalah penting adalah Gerd Niebaum, Presiden Dortmund kala itu. Pertama-tama, kata Sammer, Niebaum-lah yang membawa Dortmund meraih banyak hal selama awal hingga akhir 1990-an.
Semua bermula dari rasa khawatir karena terlalu sering berkutat di persaingan degradasi. Suatu hari, Niebaum mengumpulkan para petinggi dan staf klub di ruang rapat. Ketika rapat berakhir, mereka sepakat untuk mengubah klub menjadi penantang utama Bayern Muenchen.
Karena sadar mereka tak punya nama dan kekuatan finansial seperti Bayern, Niebaum mengambil beberapa kesepakatan dan kebijakan yang berorientasi bisnis. Dua di antaranya menggandeng perusahaan asuransi sebagai sponsor dan menunjuk manajer bisnis bernama Michael Meier — yang juga sosok penting dalam pandangan Sammer.
Kebijakan itu membawa Dortmund lebih stabil secara finansial. Kulminasinya, mereka bisa lebih royal mengeluarkan uang untuk mendatangkan pemain bintang. Salah satunya Stephane Chapuisat. Sammer, di sisi lain, juga bagian dari proyek Niebaum.
“Di Dortmund dulu, bagaimana pun kondisinya, yang terpenting adalah harus mengalahkan Schalke. Itulah kenapa Dortmund membutuhkan orang-orang dengan visi, dengan tujuan yang jelas dan tinggi seperti Niebaum, Meier, dan Hitzfeld,” ujar Sammer.
Kedua, Niebaum juga sangat penting bagi Sammer secara individu. Sammer menganggap Niebaum sebagai sosok suportif yang berpengaruh terhadap cara pandangnya saat ini. Niebaum juga yang selalu mendukung penuh ketika dia mengalami masa sulit akibat cedera pada 1997–98.
Cedera itu sayangnya mengakhiri karier Sammer pada usia ke-32. Namun, Niebaum masih berdiri di sampingnya. Dia bahkan menunjuk Sammer sebagai pelatih Dortmund ketika Udo Lattek pensiun pada 2002. Dari situ, Sammer mampu mempersembahkan satu gelar Bundesliga buat Dortmund.
Memasuki 2004, Dortmund dalam situasi sulit karena kondisi finansial. Mereka sampai mendapat bantuan dari tim lain, termasuk Bayern Muenchen. Yang kemudian jadi sasaran cemooh? Niebaum. Di kemudian hari, namanya seolah begitu tabu di telinga para petinggi dan fans Dortmund.
Sammer menilai ini perlakuan yang sangat tak adil. Menurut dia, orang-orang seperti lupa pada semua hal yang pernah Niebaum berikan di masa lalu. Lantas, sementara yang lain mengolok-olok, Sammer malah ingin membangun patung untuk Niebaum.
“Sangat tidak adil Gerd Niebaum dipermalukan semata-mata karena kesulitan ekonomi di kemudian hari,” ujar Sammer.
Tak lama setelah Dortmund mengalami masalah finansial, Sammer mengundurkan diri. Dia sempat melatih Stuttgart selama beberapa musim sebelum akhirnya lebih banyak bergelut dengan setelan rapi di belakang meja sebagai direktur teknik DFB.
Pada 2012, Sammer kembali ke level klub, tetapi bukan bersama Dortmund. Kali ini, dia bekerja untuk Bayern sebagai direktur teknik.
Dortmund tengah dalam masa jayanya kala itu. Selama dua musim beruntun mereka memenangi Bundesliga. Bayern, sementara itu, mengalami periode buruk. Inilah tugas Sammer: Membantu Bayern kembali berjaya yang artinya mengakhiri dominasi Dortmund.
Hari ini kita tahu bahwa misi tersebut berjalan sukses. Sammer bahkan tak cuma membawa Bayern kembali berjaya (termasuk memenangi treble winner 2013). Dia juga jadi sosok penting di balik perekrutan Mario Goetze dan Robert Lewandowski dari Dortmund.
Hilangnya dua pemain itu lantas disebut CEO Dortmund, Hans-Joachim Watzke, sebagai alasan utama di balik memburuknya performa timnya. Namun, menurut Sammer, Dortmund terpuruk karena tidak punya tekad kuat dan kurang bekerja keras.
Juergen Klopp, yang waktu itu masih melatih Dortmund, lantas berkata, “Saya pikir Bayern tidak akan kehilangan satu poin pun tanpa Matthias Sammer.”
Sammer terus mengkritik Dortmund setelah respons Klopp tersebut. Tak ada yang tahu alasan persisnya. Namun, melihat betapa berapi-apinya Sammer, boleh jadi muasalnya karena apa yang terjadi pada Niebaum.
Lantas, apakah Sammer membenci Dortmund?
“Saya bisa bilang bahwa Borussia Dortmund adalah pilar terpenting kedua dalam hidup setelah keluarga,” ungkap Sammer.