Biarkan Audero Memilih Tempatnya

Ilustrasi: Arif Utama.

Ketika menyadari bahwa Emil Audero Mulyadi berdarah Indonesia, kita terburu-buru ingin menaturalisasinya agar bisa bermain untuk Timnas Indonesia. Kita barangkali lupa bahwa sepak bola bukan tentang Timnas Indonesia saja.

Sembilan puluh menit yang diberikan sepak bola sebagai waktu normal adalah kesempatan bagi setiap tim untuk melakukan yang terbaik.

Dalam kurun itu kau dipersilakan untuk mengejar kemenangan, menghindarkan diri dari kekalahan. Jika yang bisa kau lakukan untuk meraih kemenangan adalah mencetak gol, cetaklah gol sebanyak-banyaknya yang kau bisa. Jika yang bisa kau lakukan untuk merengkuh kemenangan adalah mencegah gol, cegahlah gol sekuat-kuat yang kau mampu.

Waktu diberikan agar kau tidak terburu-buru, tetapi tidak juga berlambat-lambat. Segala sesuatunya harus pas, tepat guna, tepat waktu. Masalahnya, manusia adalah makhluk yang terburu-buru. Kita melawan dengan tergesa-gesa, seolah-olah lupa bahwa segala sesuatu memiliki waktu dan tempatnya masing-masing.

Ketika menyadari bahwa Emil Audero Mulyadi berdarah Indonesia, kita terburu-buru ingin menaturalisasinya agar bisa bermain untuk Timnas Indonesia. Kita terlalu cepat berbicara, tetapi terlalu lambat melihat. Kita terlalu gemar mendengar apa-apa yang kita inginkan saja, tetapi menutup telinga terhadap apa yang seharusnya kita dengar. Kita lupa bahwa apa pun levelnya, sepak bola Indonesia tidak sememikat yang diomongkan.

Yang menyenangkan dari mengikuti segala macam pemberitaan Audero adalah ia tak pernah takut dengan sepak bola dan segala ketidakpastiannya. Ia memulai segalanya bersama akademi Juventus. Menimba ilmu sebagai kiper di Juventus adalah privilese. Kapan lagi kau bisa berdekatan dengan kiper legendaris dan sehidup Gianluigi Buffon? 

Di mana pun ia bermain, termasuk di Juventus, Buffon menunjukkan bahwa penjaga gawang bukan sosok ringkih yang terpuruk dalam kesunyian seperti yang dinarasikan para sastrawan. Penjaga gawang adalah sosok yang tangguh, yang menggunakan keberbedaannya sebagai palang pintu terakhir pertahanan. 

Nomor punggung 1 yang banyak digunakan oleh penjaga gawang menegaskan bahwa ialah orang pertama yang harus membayar setiap kesalahan tim. Ketangguhanlah yang membuat seorang penjaga gawang ditunjuk untuk memikul beban itu.

Posisi penjaga gawang terhormat dan krusial. Saking pentingnya, penjaga gawang diperbolehkan bertahan dengan menggunakan tangan. Ketika kawan-kawannya hanya boleh menendang dan menyundul, ia diizinkan untuk menangkap bola. Ia memang berdiri sendirian di ujung lapangan. Namun, kesoliterannya adalah hal yang sangat dibutuhkan tim. Kesoliteran penjaga gawanglah yang membuat tim jadi lebih aman. 

Toh, kita sering mendengar cerita-cerita kebobolan konyol saat penjaga gawang meninggalkan areanya demi bergabung dengan teman-temannya di tengah lapangan. Lihatlah apa yang terjadi pada Manuel Neuer di Piala Dunia 2018. Meski demikian, selama berada di situasi yang tepat manuver itu juga bisa menjadi senjata. Alisson Becker pernah membuktikannya. 

Kiper adalah peran mulia. Dengan membawa pengertian itulah Buffon menjaga gawang dari satu laga ke laga lainnya. Pengertian seperti itu pulalah yang bisa dibawa oleh Audero. Sebagai kiper junior, Audero membutuhkan jam terbang tinggi. Itu pula yang membuatnya berani hengkang ke Sampdoria.

Sebagai penjaga gawang, Audero memainkan lakon shot-stopper. Siapa yang menyangka shot-stopper goalkeeper kembali populer di era modern seperti sekarang? Menurut data Fbref, Audero berhasil menepis 65,9% dari total tembakan dan 33,3% sepakan penalti yang mengarah ke gawangnya pada Serie A 2021/22.

Jumlah itu barangkali tidak terlalu mengesankan. Namun, perlu diingat bahwa jumlah kebobolan gol tak melulu merepresentasikan kehebatan seorang kiper. Ada pengaruh taktik pelatih dan kinerja pemain belakang di dalamnya. Sayangnya, Sampdoria adalah tim yang kewalahan mengorganisasikan pertahanan di Serie A musim ini. Mereka sudah kemasukan 51 gol alias keempat terburuk di antara semua tim.

Meski demikian, dengan organisasi pertahanan yang buruk tersebut, persentase penyelamatan Audero masih di atas 60%. Itu mengisyarakatkan bahwa sebenarnya, Audero adalah penjaga gawang dengan kemampuan menjanjikan.

***

Hingga kini, keinginan untuk menaturalisasi Audero belum menjadi kenyataan walau Shin Tae-yong telah memaparkan keuntungan-keuntungan apa saja jika hal tersebut berhasil diwujudkan. Kecaman, kekecewaan, kemarahan, mulai bermunculan. Yang paling menyebalkan dari ini semua bukan layak atau tidak layaknya Aduero dinaturalisasi, tetapi sudut pandang yang terbiasa menjadikan satu orang sebagai (calon) malaikat penyelamat.

Kita yang beria-ria atas segala potensi menjanjikan dan status Auedoro sebagai pemain liga top Eropa dipenuhi dengan semoga: Semoga ia mau dinaturalisasi, semoga ia dapat melindungi gawang Timnas dari kemasukan gol, semoga ada pemain liga top Eropa yang berlaga untuk Indonesia. 

Tanpa perlu ada yang mengingatkan, Audero juga paham akan hal ini. Dia sadar betul bahwa di dalam setiap peluang menjanjikan yang diterimanya tersimpan tanggung jawab dan tantangan yang sudah pasti tak mudah. Beban itu tak lagi sekadar gol yang harus ia gagalkan, tetapi ekspektasi dari segenap pencinta sepak bola Tanah Air.

Akan tetapi, ekspektasi ibarat pedang bermata dua. Ia bisa menusuk lawan, bisa pula menusuk pemegangnya sendiri. Toh, tak sedikit pesepak bola yang pada akhirnya tenggelam karena dikendalikan oleh ekspketasi masyarakat. Memang ada juga yang dapat membuktikan bahwa ekspketasi itu benar adanya.

Kalaupun Audero batal atau menolak dinaturalisasi, seandainya ia ingin malang-melintang di Italia sana tanpa mengemban atribut pemain Timnas Indonesia, kalaupun ia peduli setan dengan darah Indonesianya, itu bukan berarti Audero tidak berjalan di jalur yang benar.

Jangan buru-buru mencecarnya dengan kalimat; “Ah, asal main di Serie A doang! Tidak nasionalis! Harapan palsu,” bila kita tidak bisa melihatnya berdiri di depan gawang Timnas Indonesia. Siapa tahu hal-hal semacam itu memang dibutuhkan agar ia bisa bertahan, tak sekadar menjadi pemain Serie A berdarah Indonesia di Eropa sana. Lagi pula, sepak bola bukan tentang Timnas Indonesia saja, kan?