Bosman yang Membuat Pesepak Bola Dapat Memilih Nasibnya Sendiri

Foto: FIFPRO

Dari gugatan hukum ke kesanggupan mengubah tatanan sepak bola, itulah Jean-Marc Bosman.

Jean-Marc Bosman, pemain asal Belgia yang ingin pindah klub setelah kontraknya bersama RFC Liege habis pada 1990, terbentur tembok tinggi nan kokoh. Tembok tersebut menutup pintunya untuk berlaga bersama klub Prancis, Dunkerque. Alasannya, klub Prancis tersebut tak punya sumber dana yang memadai. 

Liege sebenarnya menawarkan dua pilihan kepada Bosman. Yang pertama, Bosman boleh pergi menuju Dunkerque, asalkan klub itu mau menebusnya dengan harga 250 ribu poundsterling atau empat kali lebih besar dari harga awal Bosman ketika Liege membelinya.

Yang kedua, Liege menawarkan Bosman perpanjangan kontrak, tetapi jumlahnya empat kali lebih kecil dari kontrak lamanya. Itu artinya, Bosman akan menerima penurunan gaji hingga mencapai 75 persen.

Kondisi finansial Dukerque membuat pilihan pertama tak bisa diambil. Bosman pun enggan mengambil pilihan kedua. Pada akhirnya, tak ada keputusan yang bisa diambil. Nasib Bosman terkatung-katung dan Liege mengganjarnya dengan hukuman pengurangan gaji 70 persen dan menahan sertifikat transfer sang pemain. Aturan di Liga Belgia saat itu, klub berhak menghukum pemain apabila kedua pihak tak dapat menyepakati kontrak baru.

Bosman enggan meringkuk di hadapan ketidakberdayaan. Delapan hari setelah hukuman tersebut ditetapkan, ia memulai perlawanan hukum Liege dan Federasi Belgia karena toh, merekalah yang mencegahnya berpindah klub.

Setahun kemudian, ia menyeret UEFA ke kasus tersebut sebagai pihak yang mengatur sistem transfer. Dukungan dari Asosiasi Pemain Belanda dan Asosiasi Pemain Belgia datang kepadanya. Lima tahun setelah awal perjuangan tersebut, tepatnya pada 15 Desember 1995, Pengadilan Eropa memenangkan gugatan Bosman. 

Dari situ, Bosman mengubah tatanan sepak bola profesional. Pemain yang telah habis kontrak sekarang bebas untuk menandatangani ikatan kerja dengan klub mana pun. Keseimbangan kekuatan menjadi bergeser dari klub ke pemain.

Dasar putusan pengadilan tersebut adalah kebebasan manusia untuk mengejar aktivitas ekonomi. Keengganan klub untuk melepas pemain setelah kontraknya habis sama dengan mencederai kebebasan tersebut.

“Para pemain pada abad ke-21 kini punya hak untuk berpindah tempat seperti pekerja mana pun dan tak diperlakukan seperti kuda, ayam, atau sapi,” ujar Bosman, dikutip dari FIFPro.

Lewat putusan yang sama, Pengadilan Eropa melarang setiap klub membatasi pemain Uni Eropa. FIFA pada akhirnya menghapus regulasi batasan pemain asing yang boleh bermain dalam satu pertandingan di liga dalam negara-negara Eropa, seperti yang diberlakukan UEFA. Sebelumnya, UEFA menetapkan peraturan "3+2" untuk pemain asing yang turun arena di kompetisi Eropa: Hanya tiga pemain luar Uni-Eropa dan dua pemain asimilasi, yaitu pemain asing yang sudah bermain di liga bersangkutan melalui jalur pemain muda.

Aturan Bosman pada akhirnya membuat Ajax Amsterdam terguncang. Cerita itu dimulai karena Ajax bergantung kepada pemain-pemain akademi mereka, mulai dari Edgar Davids, Edwin van Der Sar, Clarence Seedorf, Marc Overmars, hingga Patrick Kluivert.

Sembilan dari 11 personel Ajax yang tampil pada laga final Liga Champions 1995 adalah pemain Belanda. Mengapa Liga Champions 1995 mendapat sorotan? Ketika Ajax merengkuh medali juara Liga Champions 1995, mereka tak terkalahkan di semua kompetisi. Periode emas itu dinikmati Ajax selama 1,5 tahun. 

Dengan 9 dari 11 pemain yang turun arena di final Liga Champions 1995 berasal dari akademi Ajax, artinya, Louis van Gaal yang kala itu menjadi pelatih tak mendapat suntikan dana fantastis. Gunakan apa yang ada atau angkat kaki. Sebenarnya Ajax berusaha untuk mendatangkan Ronaldo da Lima saat itu dari Cruzeiro. Apes, Ronaldo justru mendarat ke PSV Eindhoven yang mendapat sokongan dana dari Phillips untuk melakukan mega transfer.

Meski tak bergelimang kekayaan, Ajax tetap sanggup menggila, bahkan hingga menjejak ke partai puncak Liga Champions. Kluivert, yang saat itu masih 18 tahun, menjadi penentu kemenangan Ajax di final Liga Champions 1995. Siapa pun yang menyaksikan laga itu rasanya sulit melupakan kepiawaiannya meruntuhkan lini pertahanan Milan yang dijaga ketat oleh para maestro, seperti Franco Baresi, Alessandro Costacurta, Paolo Maldini, dan Christian Panucci.

Dengan kekuatan-kekuatan itulah Ajax berada di ambang kejayaan. Akan tetapi, Aturan Bosman justru mengubah segalanya karena membuat para pemain yang kontraknya habis berhak untuk memilih nasibnya sendiri. Nama besar pertama yang menggunakan aturan Bosman adalah Edgar Davids. Ajax gigit jari karena Davids menolak proposal perpanjangan kontrak yang mereka tawarkan. Davids akhirnya hijrah ke AC Milan pada 1996.

Davids bukan satu-satunya pemain Ajax yang bergerak cepat memanfaatkan keleluasaan tersebut. Bek kanan Michael Reiziger menyusul. Kluivert dan Winston Bogarde melakukan hal sama setahun setelahnya. Empat pemain terbaik Ajax pindah ke AC Milan dalam kurun waktu hanya dua tahun, sementara klub tak mendapat kompensasi sedikit pun.

“Kami berada dalam periode sulit karena Ajax adalah klub besar yang terletak di negara (sepak bola -red) kecil. Kami terimpit masalah ekonomi karena level kedua di Inggris, Divisi Championship, mendapatkan uang lebih banyak dari hak siar televisi ketimbang liga tertinggi di Belanda," ujar eks kapten Ajax, Frank Arnesen.

Bosman menyambut gembira putusan tersebut. Katanya, regulasi ini tak hanya menghadiahi pemain dengan keuntungan materi, tetapi juga sokongan moral. "Yang saya lakukan bukan hanya untuk saya, tetapi juga untuk banyak orang. Saya bangga pada diri sendiri karena saya pikir orang-orang masih akan berbicara mengenai peraturan ini di masa depan. Mungkin saya hanya ingin mereka berpikir untuk berterima kasih pada saya," jelas Bosman.

Walau demikian, Aturan Bosman tidak menjadi kesukaan semua pihak. Adalah klub-klub kecil yang merasa aturan ini justru menjadi penghalang. Dengan kesulitan finansial, seperti tidak sanggup membayar gaji tinggi, klub-klub kecil bisa saja berhadapan dengan kesulitan untuk menahan para pemain berbakatnya. Maka tak heran ada banyak sekali kasus klub kecil yang menjual pemain berbakatnya dengan harga rendah atau melepasnya secara percuma.