Cast No Shadow

Richard Ashcroft pada sebuah konser. Foto: Wikimedia Commons.

Noel Gallagher adalah salah satu penggubah lagu terbaik dan pengumbar omong kosong paling besar yang pernah ada. Namun, lewat 'Cast No Shadow', ia berbicara dengan elok mengenai nasib yang cukup sial.

Noel Gallagher adalah salah satu penggubah lagu terbaik dan pengumbar omong kosong paling besar yang pernah ada. Bisa-bisanya dia bilang menulis (lirik) itu gampang. Yang perlu kamu lakukan, kata dia, adalah menemukan bait pertamanya dulu, sisanya pasti akan mengikuti.

Mereka yang bergelut dengan dunia kepenulisan tentu paham bahwa selain mencari judul, menuliskan kalimat pembuka tidak semudah Filippo Inzaghi mencocor bola di kotak penalti. Acap kali yang terjadi adalah kebalikan dari apa yang dikatakan Noel: Kamu menulis bagian-bagian lain dulu, baru kalimat-kalimat pertama belakangan.

Noel sendiri mengakui bahwa sebetulnya dia tidak piawai-piawai amat dalam urusan menulis lirik. Kepada Q tahun 1996, pria yang pernah menya(m)bung hidup sebagai teknisi gitar itu berkata bahwa ada orang-orang yang bikin dia minder. Yang pertama adalah Bob Dylan, lalu Brett Anderson, dan terakhir Morrissey.

Terlepas dari apakah dia tidak bisa menulis lirik sebaik Dylan, Anderson, dan Morrissey atau tidak, Noel tetaplah seorang pencerita ulung. Setidaknya dia punya berbagai macam cerita untuk digubahkan ke dalam lirik. Mulai dari cerita tentang percakapan dan curhat semalam suntuk dengan seorang gadis asing dalam ‘Talk Tonight’ sampai soal penyelamat imajiner dalam ‘Wonderwall’.

Noel terbilang peka dalam melakukan observasi pada keadaan di sekelilingnya dan menerjemahkannya ke dalam bait-bait. Kemampuan yang sama juga dimiliki oleh Thom Yorke dan Alex Turner meski pada akhirnya mereka punya cara masing-masing untuk menerjemahkannya ke dalam lirik. Jika Yorke terbiasa menulis dalam kalimat atau frasa-frasa pendek, Turner menulis seperti habis melahap kamus pada saat sarapan.

Pada Mei 1995, Noel menggubah ‘Cast No Shadow’. Ia sendiri yang menulis liriknya, lalu memproduserinya bersama Owen Morris. Hasilnya adalah lagu berdurasi nyaris lima menit dan bercerita soal seseorang yang hidup dalam kesempitan. Apa-apa saja yang terjadi di sekelilingnya terasa salah sehingga untuk sekadar tersenyum saja rasanya sulit betul.

“Aku merasa dia lahir di tempat yang salah. Dia selalu berusaha untuk mengatakan sesuatu dengan benar, tapi kata-kata yang keluar dari mulutnya tak seperti yang ia maksudkan,” kata Noel kepada Select.

Noel membuka lagu tersebut dengan kalimat yang cukup filosofis: “Here’s a thought for every man, who tries to understand what is in his hands.”

Lantas, bait-bait berikutnya menceritakan bagaimana orang yang ia maksudkan dalam lagu tersebut berusaha mengontrol keadaan di sekelilingnya, tetapi gagal total. Orang itu lantas memudar atau mengerdil sehingga ketika dia berhadapan dengan matahari, tubuhnya tidak menciptakan bayangan.

Sekalipun ‘Cast No Shadow’ bercerita soal individu tertentu, sesungguhnya ia berbicara soal hidup untuk banyak orang. Tak semua orang memiliki kebebasan untuk mengontrol apa-apa saja yang terjadi di sekelilingnya. Ketika segala sesuatu berubah menjadi kacau balau yang bisa dilakukan pada akhirnya hanya bisa berpasrah dan menerima.

‘Cast No Shadow’ lantas menyeruak ke permukaan sekalipun ia bukan single jagoan dari magnum opus Oasis—band Noel—, ‘(What’s The Story) Morning Glory?’. Semuanya gara-gara Noel terang-terangan menulis bahwa ia mendedikasikan lagu tersebut untuk Richard Ashcroft pada sleeve album.

To the genius of Richard Ashcroft,” begitu tulisnya. Semenjak saat itu hingga bertahun-tahun setelahnya, entah berapa kali Noel menggunakan kata “genius” untuk mendeskripsikan Ashcroft dalam berbagai wawancara.

Ashcroft dan band-nya, The Verve, menanggung nasib yang berkebalikan dengan Noel dan Oasis. Sementara Oasis tumbuh sebagai penanda zaman, banyak yang menilai bahwa The Verve urung memenuhi potensi terbaiknya. Jika Oasis adalah mereka yang hidup dengan dipenuhi berkah dan bakat, The Verve adalah kita kebanyakan.

Noel adalah orang Manchester, tumbuh dari keluarga kelas pekerja dan masa mudanya dihabiskan dengan hidup sembarangan. Ashcroft adalah orang Wigan dan selayaknya kebanyakan orang Wigan, hidup menunduk, nrimo, dan menerima nasib sebagai orang-orang biasa. Yang satu adalah penggemar fanatik Manchester City, yang lainnya menggilai Manchester United.

Saking gandrungnya dengan City, Noel pernah bertindak nekat. Pada sebuah acara keluyuran malam yang diikuti dengan minum-minum sampai mabuk, ia pernah menggoda seseorang bernama Paolo Maldini. Maldini di sini, tentu saja, adalah Maldini yang kita kenal semua—bek legendaris AC Milan dan Italia itu.

Noel tidak menceritakan kapan dan di mana ia bertemu Maldini. Ia tidak juga membeberkan apakah Maldini ikut mabuk bersamanya atau tidak. Yang ia bongkar adalah bagaimana pada malam itu, ia mengajak Maldini bergabung dengan City dan mengiming-iminginya gaji selangit.

Noel memang tidak punya kuasa menentukan siapa yang digaji atau dibeli oleh City. Namun, untuk Maldini, ia rela membantu City dengan merogoh duit dari koceknya sendiri.

“Saya bilang ke dia, kalau dia mau main buat City, saya bakal bayar dia 150 ribu poundsterling sepekan dari kantong saya sendiri,” kata Noel.

Noel mengumbar pengakuan ini kepada Daily Mail pada 2006 seraya membubuhkan pengakuan lainnya: Ia cuma bercanda ketika itu. Kalau ucapannya jadi asal-asalan, pastilah alkohol ikut bermain di dalamnya.

Sedemikian mewahnya Oasis dulu sampai-sampai Noel bisa nongkrong bareng selebriti, atlet, dan politikus seolah-olah mereka setara. Adik Noel, Liam Gallagher, malah pernah sesumbar. Dulu, katanya, ketika Oasis sedang berada di puncak, dia bisa membayar tiga orang hanya untuk membuatkannya segelas teh. Satu orang menyajikan gelasnya, satu orang membubuhkan gula, dan yang satunya tinggal mengaduk. Namun, karena Liam kadang sama ngawurnya dengan Noel, kita tidak tahu apakah ini sungguhan terjadi atau bacot belaka.

Sementara Oasis bergelimang sanjungan dan kemewahan, The Verve memilih untuk hidup dalam bayang-bayang. Tidak banyak lagu mereka yang naik sampai ke puncak tangga lagu Inggris—cuma satu, malah, yakni ‘The Drugs Don’t Work’. Maka, ketika lagu itu mencapai urutan pertama, Noel ikut-ikutan merayakannya. Baginya waktu itu, tak ada yang lebih menyenangkan daripada membaca berita bahwa The Verve akhirnya mendapatkan pengakuan yang layak.

Ashcroft pada akhirnya menjalani nasib yang berbeda dengan Noel sebagai seorang penggubah lagu. Sementara Noel cukup sering mengisahkan keriaan dan kebebasan, lagu-lagu tulisan Ashcroft kebanyakan bersifat retrospektif, entah ketika ia menulis untuk The Verve ataupun untuk karya solonya sendiri.

Ia pernah berkisah soal pengalaman tak menyenangkan di New York ketika salah seorang barista memanggil dan menulis namanya pada segelas kopi dengan “Judas”. Pada lain kesempatan, ia menulis bagaimana sulitnya beranjak dari tempat yang sudah kadung membuatnya nyaman meskipun tempat itu tidak menyediakan kenyamanan.

Namun, yang paling dikenang adalah ketika ia menulis ‘Bitter Sweet Symphony’. Lewat lagu itu, Ashcroft menelanjangi hidup manusia; ia berkisah soal orang yang memiliki banyak rupa, jungkir-balik karena duit, hingga mereka yang berlutut dan berdoa ketika ada maunya saja.

Selebihnya, kita nyaris tidak mengingat Oasis dan The Verve, atau Noel dan Ashcroft, pada tatanan yang sama. Yang satunya adalah superstar dan hidup dengan ingar-bingar, yang lainnya memilih untuk menunduk dan menikmati segala sesuatunya dari kesunyian.

Sekarang, bisakah Anda membayangkan Oasis/Noel sebagai City, sedangkan United sebagai The Verve/Ashcroft?

Jika Oasis/Noel pernah merasakan hidup yang begitu medioker sebelum akhirnya bergelimang kemewahan, mungkinkah United menentang untuk berakhir pada jalan yang ditapaki The Verve ataupun Ashcroft pada ‘Cast No Shadow’—genius, tapi perlahan-lahan memudar?