De Zerbi, Guardiola, dan Ide Fabian Hürzeler

Foto: FC St. Pauli

Jangan kaget bila melihat beberapa aspek permainan St. Pauli mirip dengan Brighton dan Manchester City.

“Brighton. De Zerbi. Dan tentu saja, Manchester City,” begitu ucap Pelatih St. Pauli, Fabian Hürzeler, saat saya tanya tim mana di Eropa yang ia ikuti perkembangan dan permainannya belakangan.

Brighton dan Roberto de Zerbi memang magnet. Permainan mereka progresif dan atraktif. Brighton dicap sebagai salah satu tim paling pintar, luar dan dalam lapangan, di Eropa saat ini. De Zerbi disebut-sebut sebagai salah satu pelatih paling progresif. Namanya harum, bahkan ia dan timnya juga mendapat pujian dari Pep Guardiola.

Hari-hari belakangan ini, linimasa internet juga disesaki oleh pujian-pujian untuk Brighton dan De Zerbi atas keberhasilan mereka mengalahkan Manchester United. Klip-klip yang menunjukkan bagaimana Brighton mampu lepas dari pressing United, melakukan build-up dengan sabar, untuk kemudian mendapat ruang yang tepat untuk menciptakan peluang dan gol, masih terus dibagikan.

Atas apa yang ditunjukkan De Zerbi lewat Brighton-nya, wajar kemudian jika ada pelatih di luar sana yang menjadikannya sebagai inspirasi. Fabian hanyalah salah satunya. Atas dasar inspirasi itu, saya juga bisa melihat adanya persamaan antara St. Pauli-nya Fabian dengan Brighton-nya De Zerbi. Ada ide-ide yang memiliki benang merah sama.

Yang paling kentara adalah perkara build-up. Sama seperti Brighton, St. Pauli juga acap melakukan build-up dengan model box. Dua bek tengah akan dipasangkan dengan dua gelandang tengah, membentuk persegi. Mereka kemudian akan diapit oleh dua bek sayap yang dalam fase build-up tak akan naik jauh.

Ada beberapa poin mengapa metode ini digunakan. Pertama, untuk mendapatkan situasi unggul jumlah dari lawan. Kedua, untuk membuat pressing lawan menjadi lebih narrow (padat ke tengah), sehingga pemain sayap (bek maupun penyerang) bisa berada dalam situasi kosong untuk menerima bola.

Bagaimana bek tengah tak terburu-buru dalam melepas umpan saat mendapat bola dari kiper juga terlihat sama. Bek tengah akan coba menahan bola di kakinya, memancing lawan melakukan pressing untuk mendapatkan ruang kosong yang akan digunakan sebagai jalur umpan. Bahkan ada momen di mana Fabian juga menggunakan kiper untuk menahan bola di kaki agar dapat memancing pressing lawan.

Guardiola pernah bilang bahwa tim dengan build-up terbaik di dunia saat ini adalah Brighton-nya De Zerbi. Jika ia rutin menonton 2. Bundesliga, saya berani bertaruh bahwa Guardiola juga akan bilang bahwa St. Pauli adalah tim dengan build-up terbaik di kompetisi tersebut.

Soal Guardiola sendiri, idenya di City juga ada yang digunakan Fabian buat St. Pauli. Ini adalah soal penempatan pemain depan. Sama seperti Guardiola, Fabian juga menempatkan penyerang sayapnya di posisi flank terjauh. Melebar di pinggir lapangan, bukan rapat ke tengah. Lantas half-space akan diisi oleh dua gelandang yang akan mengapit satu penyerang tengah.

Tujuannya pertama tentu saja untuk membuat St. Pauli memiliki satu pemain di seluruh koridor lapangan, yang membuat opsi umpan akan selalu ada. Yang kedua adalah untuk menciptakan situasi kosong di salah satu flank ketika awal serangan dimulai di sisi yang lain. Dengan switch atau umpan silang dari sisi kiri, pemain di sisi kanan akan bisa berada dalam posisi yang bebas atau setidaknya tak kalah jumlah dari lawan.

Sama seperti bagaimana Guardiola menggunakan Haaland sebagai tembok, Fabian juga acap memilih penyerang berbadan tinggi-besar untuk mampu menahan bola dan membuka ruang buat gelandang atau penyerang sayap. Pun dengan bagaimana Guardiola menggunakan Jack Grealish, Fabian juga memilih pemain sayap dengan kemampuan dribel apik untuk menjadi magnet pressing buat pemain lawan, sehingga bisa membebaskan rekan-rekannya.

Inspirasi-inspirasi dari De Zerbi dan Guardiola itu bisa dilihat di laga-laga St. Pauli tiap pekan. Termasuk laga akhir pekan lalu, saat St. Pauli menang atas Kiel 5-1 dalam laga lanjutan 2. Bundesliga. Build-up dengan delay dan box mampu memancing pressing Kiel sehingga membikin shape mereka disorganisasi dan mempermudah aliran bola St. Pauli.

Pemosisian pemain depan juga membuat St. Pauli terus-menerus berhasil mendapat ruang kosong saat melakukan switch cepat dari satu sisi ke sisi lain. Ruang kosong yang kemudian menjadi ruang tembak, di mana dari situ gol-gol St. Pauli berasal. Gelandang-gelandang yang bagus dalam memosisikan diri di half-space juga membuat tim selalu punya opsi umpan tambahan.

Fabian memang mengadaptasi ide-ide dari De Zerbi dan Guardiola. Namun, ia tetap memberikan identitas tersendiri kepada St. Pauli-nya. Seperti, misalnya, St. Pauli lebih “defensive-minded” daripada Brighton atau City. Fabian tak akan senaif De Zerbi untuk terus berpaku pada sepak bola progresif terlepas dari siapa pun lawannya. Ada kalanya St. Pauli tak menginjak gas dalam-dalam.

Tanpa bola, St. Pauli akan bertahan dengan shape 5-4-1 (formasi dasar mereka sendiri adalah 3-4-3), karena Fabian ingin pemain-pemainnya menutup ruang-ruang yang bisa dimaksimalkan lawan, juga untuk mendapatkan situasi unggul jumlah di belakang. Keamanan menjadi sesuatu yang penting, yang pada akhirnya juga membuat St. Pauli menjadi tim dengan pertahanan terbaik di 2. Bundesliga sejauh musim ini berjalan.

Dari enam laga 2. Bundesliga sejauh ini, St. Pauli diekspektasikan kebobolan 5.6 kali melalui angka xGA. Angka itu terbaik di liga. Namun, yang lebih baik lagi, angka kebobolan riil mereka hanya tiga. Yang lagi-lagi juga merupakan catatan terbaik di liga. Mengingat 2. Bundesliga acap berpihak kepada mereka yang memiliki pertahanan terbaik, Fabian dan tim berada di jalur yang tepat untuk memilih pendekatan yang tak naif.

Di satu sisi, untuk aspek ofensif, Fabian juga cukup inovatif. Ia bisa beralih dari “penyerang tembok” ke penyerang yang posturnya lebih kecil, tapi punya kecepatan dan liat, untuk menghadapi lawan yang punya pertahanan lebih fisikal, tetapi lambat. Ia bisa membuat gelandangnya jadi target kedua di kotak penalti, juga bisa membuat dua gelandangnya beroperasi lebih ke dalam. Sejauh penglihatan saya, Fabian sosok yang mau menganalisis dan belajar dari laga ke laga.

Mengingat ia masih 30 tahun dan sejauh ini “hanya” melatih di 2. Bundesliga, yang mana skuad yang dimiliki amat terbatas, saya bisa percaya jika mendapat skuad yang lebih “mewah” dalam beberapa tahun ke depan, Fabian akan menjadi sosok pelatih yang taktik atau strateginya dibicarakan banyak orang, seperti De Zerbi.