Di Antara Pepe dan Shakhtar Donetsk

Foto: @HSVEnglish

Ini adalah laporan saya dari laga perdana The Flanker di Liga Champions, Shakhtar Donetsk vs Porto.

Saya tak ingat jelas apa yang saya lakukan pada bulan November 2006. Yang jelas, masa-masa itu adalah masa-masa awal saya menginjak bangku SMP. Tentu saya sudah rutin menonton bola, tapi rasanya pada tanggal 11 saya tak menonton laga HSV vs Porto. Karena hampir mustahil laga seperti itu ditayangkan di televisi, sementara Liverpool, AC Milan, Real Madrid, dan Manchester United main di saat yang sama.

Di laga HSV vs Porto itu, bek 23 tahun asal Portugal bernama panjang Kepler Laveran de Lima Ferreira main sebagai starter. Tentu saja buat Porto. Bersama nama-nama macam Jose Bosingwa, Raul Meireles, Helder Postiga, dan Ricardo Quaresma, pria dengan nama punggung Pepe itu membawa Porto meraih kemenangan 3-1 di Volksparkstadion.

Kemenangan itu membantu Porto lolos ke babak 16 besar, kendati kemudian mereka tersingkir pada fase tersebut setelah keok dari Chelsea. Bagi Pepe sendiri, Liga Champions musim itu adalah pertanda meroketnya karier. Sebab, di musim panas 2007, ia diboyong Madrid dengan harga 30 juta euro.

Setelah itu, sisanya adalah sejarah. Nama Pepe melejit di Madrid. Ia muncul sebagai salah satu bek paling ikonik dalam satu setengah dekade terakhir. Ia terkenal garang, tak kenal lelah, dan solid. Duetnya bersama Sergio Ramos di Real Madrid begitu terlihat menakutkan, pasangan bek tengah yang memiliki aura spesial.

Embed from Getty Images

***

17 tahun berselang, saya sudah bukan bocah SMP, umur lebih dekat ke kepala tiga ketimbang dua. HSV sudah bukan tim papan atas Bundesliga, mereka tengah bergelut di divisi dua. 2006 itu adalah kali terakhir HSV berlaga di Liga Champions. Thomas Doll, pelatih HSV saat itu, telah pergi dari Jerman, menggantungkan nasib di Ibu Kota Indonesia. Namun, Pepe masih sama. Ia masih membela Porto, masih berlaga di Liga Champions, kembali bermain di Volksparkstadion.

Iya, tentu saja lawannya bukan HSV. Tengah pekan lalu Pepe memimpin Porto untuk berlaga menghadapi Shakhtar Donetsk di laga pembuka fase grup Liga Champions musim ini. Laga yang menandakan bahwa, sepanjang kariernya, Pepe telah bermain di 20 musim Liga Champions berbeda. Laga yang juga kembali ia menangkan dengan skor 3-1.

Buat pria yang sudah berusia 40 tahun, Pepe masih tampil solid. Di saat banyak pesepak bola dari generasinya sudah gantung sepatu atau mungkin bermain di Timur Tengah, Pepe masih berlaga di kompetisi terbaik dunia. Ia masih tampil tak pandang bulu, siap menerjang siapa pun lawan. Ia masih melepas umpan-umpan yang menjadi penanda dibangunnya serangan tim, masih meneriaki rekan-rekan untuk disiplin posisi dan fokus pada lawan.

***

Saya tak pernah menyangka akan berjodoh dengan Shakhtar Donetsk. Mereka menjadi klub pertama yang kandangnya saya datangi untuk meliput laga Liga Champions. Mereka menerima saya dengan baik, sebagaimana lebih dari empat puluh ribu orang yang menduduki tribune Volksparkstadion menerima mereka dengan hangat pula. Iya, ini memang laga spesial.

Di saat sebagian besar tim bisa berlaga di kandang asli mereka untuk Liga Champions musim ini, Shakhtar tidak. Kondisi negara mereka masih belum memungkinkan untuk bisa menggelar laga Liga Champions. Karena itu Shakhtar harus menjadi musafir, dan mereka memilih Hamburg sebagai kandang sementara. Sesuatu yang, menurut pelatih mereka Patrick van Leeuwen, merupakan pilihan tepat berkat dukungan masif dari para penonton di stadion.

Atmosfer di laga itu memang menyenangkan. Suporter berteriak “Shakhtar” bersamaan, bertepuk tangan, juga melakukan “mexican wave” dengan kompak. Memang tak semua merupakan suporter Shakhtar, tapi mereka yang datang untuk sekadar menonton pun juga tahu bahwa itu adalah malam yang indah. Kebetulan, cuaca Hamburg pun tengah tak begitu buruk.

Jalannya laga pun menarik. Empat gol sudah tercipta dalam kurun waktu 30 menit. Kedua tim saling jual beli serangan. Porto paham bahwa mereka memiliki keunggulan fisik dan kecepatan, jadi serangan dipindahkan dari tengah untuk kemudian fokus ke sayap. Shakhtar juga mencoba sayap sebagai outlet, dengan umpan silang menjadi senjata utama.

Ini memang tak bisa menjadi alasan, tapi tuan rumah dalam laga tersebut memang tak punya keuntungan dalam aspek fisik. Pertama, pada Sabtu pekan sebelumnya mereka baru saja menyelesaikan laga liga domestik. Dari situ, mereka harus menjalani perjalanan 10 jam menuju ke Hamburg, lewat darat dan udara, dengan tiga jam di antaranya dihabiskan untuk melewati perbatasan. Van Leeuwen mengaku proses pengecekan paspor juga amat melelahkan.

Porto, dengan perjalanan via udara, bahkan bisa sampai lebih cepat di Hamburg. Namun, Shakhtar sudah memilih dan mereka tak bisa menjadikan ini alasan. Sebab, situasi yang ada memang membuat mereka harus berkorban. Sudah sejak 2014 mereka tak bisa berlaga di Donetsk, dan menjadi tim musafir kemudian. Musim lalu, mereka memilih Warsawa di Polandia sebagai kandang, dan kini Hamburg, yang kebetulan juga kedatangan sekitar 80 ribu pengungsi dari Ukraina–pasca invasi Rusia.

Shakhtar sendiri di laga, juga melakukan perlawanan meski terlihat kewalahan. Saya menikmati bagaimana mereka terus mencoba membongkar pertahanan Porto lewat shape 4-1-4-1. Bagaimana beberapa pemain mencoba unjuk kebolehan olah bola untuk melewati pemain lawan, yang mana juga menghibur para penonton. Namun, Porto memang lebih dewasa.

Selain Pepe, malam itu nama-nama macam Mehdi Tameri, Galeno, Ivan Jaime, dan Joao Mario juga tampil apik. Khusus Galeno, ia mencuri perhatian saya malam itu. Sebagai pemain sayap, ia cepat, punya olah bola bagus, dan punya pengambilan keputusan tepat. Ia adalah pengganti Luis Diaz di Porto dan saya tak akan heran jika dalam beberapa musim lagi ada klub top yang mau memboyongnya sebagaimana yang terjadi dengan Diaz.

***

Liga Champions adalah kompetisi spesial. Banyak pemain yang berjuang untuk bisa berlaga di kompetisi ini, banyak klub yang berjuang untuk bisa bermain di ajang ini. Karenanya, pemain seperti Pepe yang bisa bermain di 20 musim berbeda amatlah spesial. Pun dengan klub seperti Shakhtar yang rela berkorban agar bisa bermain dan menunjukkan kemampuan kepada seluruh dunia, bahwa mereka tak bisa dipandang sebelah mata di Eropa.

Juga tentu saja buat saya dan The Flanker, yang pada musim ini berhasil menduduki tribune media Liga Champions, ‘kan?