Di Puncak

Foto: FC St. Pauli

Satu tahun lalu, St. Pauli berkubang di papan tengah-bawah 2. Bundesliga. Saat ini, mereka memimpin klasemen dengan pertahanan terbaik di liga.

Sabtu malam adalah waktu yang indah buat sepak bola, tapi tidak dengan hujan deras dan cuaca dingin musim gugur Hamburg.

Saya bangun jam sembilan kurang hari itu, lantas melakukan perjalanan dengan kereta selama dua jam. Saya kemudian memutuskan tiba di Millerntor setengah jam sebelum sepak mula (biasanya saya datang satu jam lebih awal) dan mengganti bir dengan minuman buah sebagai bekal perjalanan.

Di tribune, saya menenggak dua gelas kopi (sesuatu yang tak pernah saya lakukan sebelumnya), dan selama 45 menit pertama saya merasa tak enak badan. Firasat saya, St. Pauli gagal menang malam itu. Lawan bermain baik, mampu menahan gempuran tuan rumah. Namun, tentu saja saya salah.

Pada babak kedua, St. Pauli mencetak empat gol dan mereka mengakhiri laga dengan kemenangan 5-1. Saya melihat gestur pemain berubah pada babak kedua. Johannes Eggestein, penyerang tengah, terlihat lebih tajam dan pintar dari biasanya. Olah bola Eric Smith, pemain

 tim, terlihat amat manis. Jackson Irvine memarahi dirinya sendiri saat menerima kartu kuning, melecut semangat saya.

Beberapa menit setelah laga tiba, saya duduk di ruang konferensi pers, mendengar pelatih lawan memuji St. Pauli. Mengakui kalau klub ini jauh lebih baik daripada tim mereka. Itu berarti, sudah dua pelatih yang menyatakan hal sama di konferensi pers.

Pertama ada Pal Dardai, pelatih Hertha Berlin, dan kedua adalah Christian Fiel, juru taktik FC Nürnberg. Keduanya adalah pelatih yang dikalahkan St. Pauli dalam dua pekan terakhir. Dardai dan Hertha keok 1-2 pekan lalu, sedangkan Fiel dan Nürnberg-nya adalah tim yang dihajar St. Pauli 5-1 akhir pekan kemarin. Keduanya sama-sama mengakui bahwa, secara permainan, timnya tak mampu menandingi St. Pauli.

Buat St. Pauli, kemenangan telak atas Nürnberg pada Sabtu lalu menandakan kemenangan keempat beruntun mereka. Sebelum Nürnberg dan Hertha, Irvine cs. berhasil menumbangkan Kiel dan Schalke secara berurutan. Hasil ini membuat St. Pauli kukuh di puncak klasemen 2. Bundesliga.

Sembilan laga telah berjalan dan St. Pauli belum terkalahkan juga. Mereka mengoleksi 19 poin dan unggul dua poin dari HSV, tetangga sekota yang menghuni posisi dua. St. Pauli juga masih, seperti yang saya tulis di artikel-artikel sebelumnya, berstatus sebagai tim dengan pertahanan terbaik liga. Mereka hanya kebobolan enam gol dan itu membuat selisih gol mereka menjadi 12–juga yang terbaik.

Tak heran banyak pujian mengarah kepada mereka. St. Pauli saat ini disebut-sebut sebagai tim dengan taktik terbaik di liga. Well, itu tidak berlebihan. Klasemen dan pandangan mata dari laga ke laga menunjukkan demikian.

St. Pauli selalu mampu mendominasi lawan-lawannya. Pertahanan mereka amat sulit ditembus dan lini depan mereka yang amat cair membuat lawan susah menebak arah serangan. Ketika buntu, St. Pauli juga sudah tau caranya mencetak gol via situasi bola mati. Pemain pengganti juga mulai memberikan impak positif. Dan yang menarik, tim ini ditangani oleh pelatih termuda di liga. Fabian Hürzeler masih 30 tahun.

Jika mencari tahu apa alasan di balik keberhasilan St. Pauli bisa menjadi tim dengan taktik terbaik di liga, kita bisa memahaminya dari hulu ke hilir. Pertama, dari awal tim pelatih dan Direktur Teknik sudah merumuskan terlebih dulu tim mau bermain seperti apa. Artinya, ide sudah dimiliki dari awal. Kedua, strategi pelatih jelas, tapi tetap adaptif dengan setiap lawan yang dihadapi.

Ketiga, pemilihan pemain (dalam hal ini transfer) tepat sasaran. Profil yang dicari adalah profil yang memang sesuai dengan kebutuhan tim, yang fit dengan gaya main sesuai yang telah direncanakan pelatih. Keempat, pemain diberikan fleksibilitas untuk berpikir dan bertindak—sesuai dengan kebutuhan tim—di lapangan. Dan pemain menjalankannya dengan baik.

Irvine selaku kapten berbicara kepada saya dan beberapa rekan wartawan seusai laga perihal fondasi St. Pauli untuk bisa sampai di tahap ini. “Keberanian, kedisiplinan, kebebasan, dan tentu saja kualitas,” kata Irvine membuka penjelasannya.

“Juga ada kepercayaan diri, persiapan kami, bagaimana kami berlatih dengan intens setiap harinya, bekerja bersama—staf dan pemain dari bawah sampai atas. Kami sama-sama saling menuntut yang terbaik satu sama lain. Itu (keberhasilan kami) adalah gabungan dari semuanya,” tambahnya.

Mungkin apa yang diutarakan Irvine terdengar klise, tapi bacalah fakta ini: Sepanjang 2023, St. Pauli baru kalah dua kali. Itu semua terjadi musim lalu. Padahal, sebelumnya, St. Pauli begitu payah. Sebagai catatan, satu tahun lalu mereka masih berkubang di papan tengah. Pada Desember, mereka ada di papan bawah 2. Bundesliga.

Lantas, ada olok-olok yang menyebut bahwa St. Pauli hanya bisa bagus dalam satu kalender saja. Artinya, itu ada di tahun yang sama. Jika 2023 bagus, mereka akan konsisten bagus dari Januari sampai Desember. Jika buruk, tentu saja sebaliknya, dan biasanya siklus berubah setiap tahun.

Jika olok-olok itu benar, St. Pauli mungkin akan menghadapi tahun buruk pada 2024 nanti. Namun, melihat situasi yang ada sekarang dan bagaimana mereka berhasil menunjukkan ada jarak, dari segi permainan dan kematangan, dengan 17 tim lain, kecil peluang untuk melihat kutukan itu terwujud.

Sebab, sembilan laga awal ini sudah menunjukkan beberapa hal. Pertama, ketika pemain andalan seperti Irvine cedera, St. Pauli tetap bisa tampil sama baiknya. Kedua, pemain inti dan cadangan sudah mulai bisa diandalkan untuk mencetak gol. 18 gol yang sudah dicetak sejauh ini lahir dari sembilan pemain berbeda. Tak ada ketergantungan.

Pertahanan, lagi-lagi saya harus menulis ini, juga masih amat sulit dibongkar lawan (kecuali St. Pauli konsisten menciptakan kesalahan dalam build-up seperti dua laga terakhir). Kompaksi 5-4-1 milik Fabian belum ada celahnya. Di Sabtu malam dengan hujan deras dan angin kencangnya pun, tim ini masih bisa menang. Lantas, tak ada alasan untuk terpeleset lagi. Kecuali, semesta benar-benar menginginkannya.