Domenico Tedesco dan Tranformasi RB Leipzig

Foto: RB Leipzig.

Datangnya Domenico Tedesco membawa banyak sekali perubahan untuk RB Leipzig, termasuk perubahan yang membuat Leipzig menjadi sangat tidak Leipzig.

Cerita kedatangan Domenico Tedesco ditandai dengan komentar-komentar miring. Bagi para pendukung Schalke, menunjuknya sebagai juru taktik adalah keputusan yang benar-benar patut dipertanyakan. Tentu amat beralasan karena, pertama, Schalke sedang dalam periode kelam.

Bundesliga 2016–17 mereka akhiri dengan memalukan. Schalke finis di urutan kesepuluh dengan torehan poin 43. Angka itu jauh lebih dekat dengan zona degradasi ketimbang zona Liga Champions. Melihat Borussia Dortmund yang juga jauh di atas mereka, para fans jelas makin berang.

Kedua, mereka bertanya-tanya mengapa harus Tedesco? Ia cuma pelatih kemarin sore yang usianya bahkan baru 32 tahun. Bukan hal mengejutkan pula jika tak sedikit yang menganggap ini sekadar ikut tren mengingat apa yang terjadi pada Hoffenheim dan Julian Nagelsmann musim sebelumnya.

Namun, perlu dicatat bahwa hadirnya Tedesco adalah andil seorang Christian Heidel.

Di jagat sepak bola Jerman, Heidel punya reputasi mentereng. Saat masih menjadi direktur teknik Mainz, langkah-langkah strategis dan nyelenehnya kerap berbuah manis. Mencuatnya nama-nama seperti Juergen Klopp dan Thomas Tuchel, misal, tak lepas dari buah pikirannya.

Kedatangan Heidel di Schalke sendiri juga diharapkan menghasilkan hal serupa. Secara khusus, ia ditugaskan menyelamatkan tim yang tengah terpuruk. Sayang seribu sayang, langkah pertamanya berujung petaka karena Markus Weinzierl, yang ia tunjuk sebagai pelatih pada 2016–17, gagal total.

Usai kegagalan itulah ide liar Heidel muncul: Meminta Tedesco menjadi pelatih. Di masa depan, kita tahu bahwa ide liar tersebut berubah menjadi ide brilian.

Foto: Bundesliga.com

Heidel berangkat pada torehan magis Tedesco di Erzgebirge Aue pada 2016–17. Tadinya terpuruk di dasar klasemen Bundesliga 2, Tedesco mampu membawa klub asal Saxony itu finis di urutan ke-14. Erzgebirge Aue kala itu berhasil mendapatkan 20 poin dari 11 pertandingan bersama Tedesco.

Alasan lainnya adalah kecerdasan dan cara pandang Tedesco tentang sepak bola. Yang menarik, Tedesco sebetulnya tak punya background sepak bola sama sekali. Ia memang sempat bergabung dengan akademi ASV Aichwald keetika bocah, tetapi jalan ini tak pernah benar-benar ia tekuni.

Sosok yang lahir dan memang memiliki darah Italia itu justru lebih fokus mengenyam pendidikan formal. Ia bahkan memiliki dua gelar akademis sekaligus: Sarjana di jurusan teknik industri dan magister di jurusan manajemen inovasi.

Meski begitu, ia tak benar-benar menjauh dari sepak bola. Saat masih bekerja di Mercedes, Tedesco pernah nekat mengirim surat agar diizinkan menyaksikan latihan tim U-9 Stuttgart. Siapa sangka, kunjungan itu justru menjadi permulaan dari kiprahnya di dunia kepelatihan.

Usai pertemuan itu, sejumlah kesempatan berharga berdatangan: Menjadi asisten pelatih tim U-9 dan U-17 Stuttgart hingga melatih tim junior Hoffenheim. Semua kesibukan itu ia lakoni sembari menjalani kursus pelatih di akademi taktik paling mentereng di Jerman: Die Akademie.

Pendidikannya berakhir pada 2013 dengan status lulusan terbaik, mengungguli nama-nama populer, termasuk Julian Nagelsmann yang kini membesut Bayern Muenchen.

Sejak masih menjalani kursus, Tedesco punya gambaran jelas tentang sepak bola yang dia inginkan. Sepak bolanya adalah sepak bola yang efektif. Tedesco peduli setan dengan yang namanya permainan cantik. Ia juga bukan pelatih yang ingin timnya melulu melakukan pressing ketat.

Yang terpenting baginya adalah meraih kemenangan, bagaimanapun caranya, apa pun pendekatannya. Jika memang situasi mengharuskan timnya bertahan total, Tedesco akan menerapkannya. Masuk akal jika Schalke musim 2017–18 menjadi salah satu tim dengan pertahanan terbaik di Bundesliga.

“Penguasaan bola bukanlah patokan. Soalnya, bisa saja yang terjadi malah dua bek yang saling mengumpan di sisi lapangan sendiri hingga laga usai. Yang selalu saya rencanakan adalah memenangi pertandingan, bukan menguasai bola hingga 80 persen,” ucap Tedesco suatu kali.

Itulah kenapa, melihat Tedesco berada di tepi lapangan guna menyusun taktik RB Leipzig musim ini terasa begitu aneh.

Sebagai salah satu klub RedBull, Leipzig memiliki identitas yang sangat tidak Tedesco. Sepak bola mereka adalah sepak bola ofensif yang proaktif dan vertikal. Para pelatih yang ditunjuk sendiri kebanyakan bertipe serupa, mulai dari Ralph Hasenhuttl hingga Jesse Marsch.

Namun, hingga saat ini hasilnya malah mengesankan, setidaknya jauh lebih baik ketimbang Marsch, seorang pelatih yang sebetulnya sangat RedBull. Dari tujuh laga yang sudah dijalani bersama Tedesco, Leipzig berhasil meraih lima kemenangan, sekali imbang, dan cuma sekali kalah.

Aspek utama yang Tedesco ubah adalah pendekatan Leipzig saat tak menguasai bola. Kini, sudah jarang terlihat Christopher Nkunku maupun Andre Silva yang bergerak aktif mem-pressing kiper lawan. Perlahan, Leipzig berubah menjadi tim yang cenderung pragmatis dan pasif.

Mula-mula mereka bakal menunggu di kedalaman. Pressing intens baru akan dilakukan ketika bola mendekati pertahanan. Ketika ini terjadi, tiga bek tengah yang dibantu dua gelandang dalam skema 3–4–1–2 Tedesco bakal aktif menekan guna memaksa lawan kehilangan bola.

Setelah penguasaan berpindah, shape lawan bakal bermasalah, dan pada saat inilah bola akan langsung dilepaskan menuju pertahanan lawan secepat mungkin. Kemampuan mengoper bek dan gelandang Leipzig serta, terutama, kecepatan pemain depan mereka membuat skema Tedesco berjalan mulus.

Aspek terakhir itu juga yang membedakan masa-masanya di Schalke dengan Leipzig.

Di Schalke, mereka kerap kesulitan lepas dari tekanan karena keterbatasan skuat, yang pada akhirnya cukup memengaruhi produktivitas gol. Kita tahu Leipzig tak demikian. Itulah kenapa, mereka bisa cukup produktif kendati cenderung bermain pasif. 

Meski demikian, masih terlalu dini menilai Tedesco. Masih banyak aspek yang mesti dia benahi, terutama ketika menghadapi tim-tim dengan pendekatan bermain yang mirip. Skor imbang 1–1 dengan Augsburg dan kekalahan 0–2 dari Arminia Bielefeld jadi buktinya. Terlepas dari itu, perubahan positif itu memang ada, meski dengan cara yang sangat tidak Leipzig.