Dunia Setelah Sepak Bola

Ilustrasi: Arif Utama

Lantas, dari ruang-ruang sempit favela, jeruji penjara, dan bangku-bangku sekolah yang terguling, para pesepak bola melakukan hal yang sama, menciptakan ranah untuk segala macam kemungkinan baru.

Takhta kemenangan Beth Harmon ada di puncak dunia yang dikuasai oleh para lelaki genius: Catur.

Dalam novel The Queen’s Gambit karangan Walter Tevis yang belakangan digubah menjadi film serial Netflix, catur bukan olahraga dan permainan buat buat perempuan. Bukannya tak boleh perempuan untuk berlaga di sana. Namun, sebelum kedatangan Harmon, tak ada perempuan yang kelewat gila untuk memeram ambisi berdiri di puncak gunung prestasi catur.

Harmon berkenalan dengan catur berkat tukang bersih-bersih panti asuhan yang ditinggalinya. Itu pun diam-diam dan mengendap-endap, di rubanah panti. Namun, dari ruangan pengap dan gelap itu, Harmon menemukan jalan keluar dari neraka yang ditinggalinya sejak tragedi yang menewaskan sang ibu.

Saat bermain catur, Harmon bisa mengendalikan bidak-bidaknya untuk merengkuh kemenangan. Setelah kematian merampas satu-satunya yang ia punyai, catur datang dan memberinya sesuatu untuk dimiliki.

****

Tempat parkir hotel kecil yang arahnya menghadap tembok adalah stadion pertama bagi Luka Modric. Perang antara Kroasia dan Serbia pecah saat ia berusia enam tahun. Kakeknya mati dihantam perang, Modric dan keluarga yang tersisa mengungsi ke hotel tadi.

Meski hotel tetap lebih baik daripada kamp pengungsian, perang tetaplah perang. Modric kecil tak mengerti mengapa orang dewasa saling menikam dan menyerang.

Di antara desing peluru dan dentuman bom, Modric menendang-nendang bolanya ke tembok itu. Suaranya meredam teriakan dan tangisan orang-orang yang anggota keluarganya mati ditembus peluru.

Tempat parkir menghadap tembok yang luasnya sudah pasti tak seberapa itu adalah dunia yang membuat Modric terasing dan terlindungi. Di dunia itulah Modric menempuh perjalanannya, mulai dari Dinamo Zagreb, Tottenham Hotspur, Real Madrid, hingga akhirnya final Piala Dunia bersama Timnas Kroasia.

Bagi para pelakonnya, sepak bola adalah dunia lain yang asyik. Olahraga ini bukan antidot untuk segala jentaka. Akan tetapi, sepak bola bisa menjadi pereda nyeri, mengalihkan ingatan buruk untuk beberapa saat, hingga memberikanmu tempat perlindungan.

Modric memang tidak menjadi juara dunia. Ingatan akan perang dan trauma masa kecil juga tidak hilang hingga sekarang. Barangkali yang terpenting, ia tidak lagi mau menyeret pengalaman itu ke hidupnya yang sekarang meski tidak ingin melupakannya.

Modric tidak menjadi satu-satunya orang yang mendapatkan dunia baru berkat sepak bola. Ingat-ingat lagi cerita Zinedine Zidane, si bocah imigran Aljazair. Terlepas dari perlakuan rasial yang pernah diterimanya saat membela Timnas Prancis, Zidane yang sekarang dikenal adalah pelatih yang memimpin Real Madrid menjuarai Liga Champions tiga musim beruntun.

Apa yang didapat Modric dan Zidane lewat sepak bola lebih dari sekadar sense of escape, istilah yang pernah digunakan Thom Yorke untuk menjelaskan apa yang terpenting dari musik. Sepak bola milik Modric dan Zidane bukan sepak bola seperti kebanyakan suporter atau orang-orang galangan kapal yang disebut Sir Alex Ferguson dalam autobiografinya. 

Orang-orang--kelas pekerja--tersebut adalah mereka yang mendapatkan kelegaan dengan menonton sepak bola setelah diimpit kerja keras selama lima hari berturut-turut. Mereka yang terbiasa babak belur dihantam kehidupan yang tak mudah, bisa merasakan apa artinya kemenangan lewat kemenangan tim kesayangan.

Modric, Zidane, dan siapa pun yang bergelut senda dengan sepak bola secara langsung berbeda. Sepak bola bukan membuat para pelakunya melarikan diri dari realitas, tetapi membawa mereka pada realitas baru.

Sepak bola yang membantu manusia mendapatkan kelahiran kedua juga terefleksikan lewat kisah Garrincha dan Diego Maradona. Tanpa sepak bola, rasanya mustahil Garrincha bertahan hidup. Semasa muda, Garrincha adalah buruh pemalas dan bandel.

Tak heran jika bos pabrik tempat ia bekerja mendepaknya. Namun, Garrincha punya sepak bola. Permainan itu menyelamatkannya dari keterpurukan. Si bos besar membutuhkan pemain untuk tim pabriknya. Garrincha ditarik kembali jadi karyawan pabrik. Selamatlah ia dari jerat pengangguran.

Dunia sebelum sepak bola hanya memperhitungkan Garrincha sebagai anak muda tukang foya-foya  dengan kaki kanan lebih panjang 6 cm daripada kaki kiri, bentuk kaki kiri melengkung ke luar, dan bentuk kaki kanan melengkung ke dalam. Namun, sepak bola memberikan Garrincha identitas baru: Juara Piala Dunia 1958 dan 1962.

Sepak bola pula yang memberikannya kepastian hari tua yang tidak buruk-buruk amat. Terjerembap dalam hedonisme membuatnya tak berpikir panjang di masa muda. Akibatnya, ya, hartanya habis saat sudah gantung sepatu. Itu belum ditambah dengan badannya yang rontok akibat kebiasaan menenggak alkohol. Meski begitu, Federasi Sepak Bola Brasil tetap bersedia menanggung hidup si legenda. 

Maradona tidak berasal dari planet antah berantah. Ia datang dari kawasan miskin Rossario, Argentina. Kemiskinan itu pula yang membuat Maradona terbiasa bertahan hidup di jalanan. Akan tetapi, sepak bola membawa Maradona ke realitas yang baru. Jika saat remaja yang dilawannya adalah tebasan para preman, di atas lapangan bola yang menjadi seterunya adalah jegalan lawan.

Susah-payah bertahan hidup di jalanan tanpa uang berubah menjadi perhitungan taktik dengan sentuhan imajinasi yang membuat kegigihan Peter Shielton terbengong-bengong dihajar dua gol sekaligus. Yang satu gol kurang ajar, yang satu lagi kemustahilan yang mewujud menjadi kenyataan.

Di atas lapangan sepak bola, Maradona tak dikejar-kejar penagih utang. Ia diburu wartawan, digendong rekan-rekan setimnya saat membawa Napoli meraih dua juara Serie A, serta masing-masing satu Coppa Italia, Piala UEFA, dan Piala Super Italia. Dengan sepak bola, Maradona memberikan realitas baru kepada orang-orang Italia Selatan, bahwa mereka tak melulu takluk di hadapan Italia Utara.

Dengan bola di atas kakinya, Maradona memberontak terhadap kenormalan lama yang dikenalnya: Kemiskinan dan kehidupan jalanan. Dengan sepak bola, Maradona menerobos masuk ke kehidupan baru yang memuliakan namanya dan menuhankan gocekannya.

***

The Queen’s Gambit seperti penggambaran kehidupan Tevis, penulisnya. Tevis muda terbiasa mengonsumsi phenobarbital, obat anti-kejang yang dalam beberapa kasus diresepkan psikiater sebagai penenang untuk pemakaian jangka pendek.

Ayah Tevis adalah alkoholik, ibunya tak paham akan kondisi tersebut. Tevis muda--seperti Beth Harmon--dikirim untuk bersekolah Lexington. Di sana ia jadi sasaran perundungan dan susah bersosialisasi. Sudah begitu, sejak kecil ia ringkih dan didiagnosis penyakit jantung reumatik dan Sydenham’s chorea.

Tevis bukan penulis avant-garde. Dalam wawancara lamanya pada 1959, Tevis bertutur bahwa sebenarnya ia sering kepayahan saat menulis. Meski demikian, Tevis menyelamatkan batinnya dengan menulis. Sebelum bertarung melawan kanker paru-paru yang merenggut nyawanya, Tevis berjuang melawan gangguan mental yang mendorongnya melakukan dua percobaan bunuh diri.

Dengan menulis, Tevis mendapatkan apa yang tidak pernah dimilikinya. Walau ditentang ayahnya, Tevis berkeras menjadi penulis dan dosen sastra.

Tevis yang tak diurus oleh orang tuanya mendapatkan pengakuan dari mahasiswanya. Tak peduli banyak atau sedikit tulisannya, anak-anak didiknya menyebut tulisan Tevis sebagai karya yang layak diperhitungkan.

Tubuh dan psike Tevis babak belur. Barangkali rasanya seperti kekacauan dan ancaman hebat saat ia berada dalam jurang yang gelap.

Satu-satunya cara untuk meraih ketentraman adalah menulis. Tevis mengarang, menciptakan dunia baru yang bisa ditinggali dan menyembunyikannya dari segala kekacauan batin. Dengan upayanya itu ia menciptakan Beth Harmon yang merebut palu nasib dan berkuasa atas vonis untuk hidupnya sendiri. 

Lantas, dari ruang-ruang sempit favela, jeruji penjara, dan bangku-bangku sekolah yang terguling, para pesepak bola melakukan hal yang sama, menciptakan ranah untuk segala macam kemungkinan baru.