Ego Mancio

Foto: Instagram @mrmancini10.

Mancini meredam ego demi memberikan yang terbaik untuk tanah kelahiran. Apakah cara tersebut membawanya ke tangga juara?

Ada banyak jalan yang mesti dihadapi untuk duduk di singgasana juara. Bagi Roberto Mancini, ego adalah tantangan terbesar yang harus ia taklukkan.

Saat masih menjadi pemain, pelatih yang biasa dipanggil Mancio tersebut dikenal sebagai penyerang dengan daya ledak tinggi. Ia punya segala macam cara untuk mencetak gol. Saat sudah memegang bola, ia tidak akan menunggu lama untuk bergerak ke gawang lawan.

Mancini punya dua kemampuan yang katanya wajib dimiliki pemain depan, visi dan kreativitas. Dua skill tersebut membuatnya piawai mencari ruang atau melepaskan tembakan. Dua skill itu juga menutupi kemampuan fisiknya yang tidak terlalu proporsional.

Pada akhirnya, kelebihan tersebut membawanya ke tangga juara. Ia membawa Sampdoria untuk kali pertama menjuarai Serie A 1990/91. Selang sembilan musim kemudian, giliran Lazio yang dibawanya menjadi kampiun.

Imaji tentang gaya bermain Mancini tidak berlanjut saat ia menjadi pelatih. Sebagai pelatih, ia memilih untuk tidak selalu mengedepankan gaya main ofensif. Malah ada masanya ia menomorsatukan pertahanan. Mulai dari menggunakan sistem permainan yang mengedepankan pertahanan yang kuat hingga memainkan lebih banyak pemain yang defensive-minded di atas lapangan.

Pada musim pertamanya menangani Lazio, 2002/03, ia menjadikan klub tersebut menjadi tim dengan angka kebobolan terbaik ketiga. Pada musim berikut, Lazio jadi tim urutan keempat soal angka kebobolan meski di klasemen finis di peringkat keenam.

Gaya tersebut berlanjut di Inter. Selama 4 musim melatih Inter, ia mendatangkan 19 pemain yang tugas utamanya berkaitan dengan pertahanan. Impaknya, rasio kebobolan Inter selama empat musim tersebut hanya 0,83 per pertandingan.

Di Manchester City, Mancini mengedepankan gaya serupa. Namun, kali ini racikan strateginya mendapatkan kritikan dari media-media Inggris. Ia dinilai tidak berani tampil menyerang meski punya deretan penyerang kelas dunia.

“Saya memilih mendapatkan boo di akhir pertandingan dan menang 1-0 ketimbang melihat tiga gol bersarang di gawang kami,” kata Mancini. “Ada banyak cara untuk menjadi juara. Saya memilih menjadi juara dengan sedikit kebobolan.”

Keputusan Mancini bermain pragmatis membawanya ke banyak gelar juara. Selama 21 tahun menjadi pelatih, 4 gelar liga berhasil ia persembahkan. Di luar itu, ia punya 9 gelar lain yang tidak kalah bergengsi.

Bermain pragmatis memang berhasil membawa nama Mancini ke deretan pelatih tersohor dan gelar juara. Di sisi lain, sistem ini juga yang meruntuhkan segala usaha yang ia bangun.

Tidak sekali dua kali dinilai tidak cukup berani tampil menyerang saat menghadapi lawan yang skuatnya tidak lebih baik. Salah satunya terjadi saat mereka menelan kekalahan dari Wigan pada Final Piala FA 2013. Dua hari setelah kekalahan tersebut, Mancini dipecat dari jabatannya.

Pemecatan tersebut hanya satu dari kegagalan Mancini menahan egonya. Pasalnya, menurut jurnalis The Athletic, James Horncastle, pemecatan Mancini di Inter pada 2008 dan Galatasaray pada 2014 juga terjadi karena alasan yang sama.

***

Mancini berada di St. Petersburg saat Wakil Komisioner FIGC, Alessandro Costacurta, menghubunginya. Dalam telepon tersebut, Costacurta berkeluh kesah soal pertahanan Italia saat mengalami kekalahan dari Swedia pada play-off Piala Dunia 2018.

“Anda datang di orang yang tepat,” jawab Mancini. Berikutnya adalah sejarah. Mancini tidak hanya memperbaiki bobroknya pertahanan Italia, tapi juga menyempurnakan pola serangan yang amburadul.

Mancini memenuhi janjinya kepada Costacurta. Sejauh ini (termasuk Euro 2020), mereka hanya kebobolan 16 gol atau 0,4 gol per pertandingan. Angka tersebut lebih baik dibandingkan pendahulunya, Gian Piero Ventura, yang mencapai 0,8 gol per pertandingan.

Namun demikian, bukan angka kebobolan saja yang jadi cara Mancini untuk unjuk kebolehan. Secara keseluruhan, ia mengubah banyak hal. Dan inilah, yang seharusnya membuat kita tak perlu kaget apabila melihat mereka melaju di Euro 2020.

Dari sistem permainan, Mancini berupaya membuat pemain terbiasa dengan pola. Sejak ditunjuk, Mancini memilih 4-3-3 sebagai formasi utama. Sejauh ini, formasi tersebut telah digunakan 33 kali.

Untuk mempertajam pola tersebut, Mancini mengikis egonya soal bermain pragmatis. Kini, ia tidak lagi punya rumus baku dalam permainan. “Mancini memberikan kami banyak kebebasan saat memegang bola,” kata Nicolo Barella.

Melihat lima laga yang sudah dilakoni Italia di Euro 2020, Mancini tampak memberikan keleluasaan untuk pemainnya saat melakukan serangan. Tidak ada pemain yang menjadi tumpuan atau layak disebut sebagai kunci serangan.

Kebebasan ditambah kematangan skuat membuat serangan Italia mematikan. Italia telah mencetak 90 gol selama dipegang Mancini. Jika dirata-rata, mereka mencetak 2,4 gol per pertandingan.

Berbicara soal skuad, Mancini juga lebih berani mengambil risiko. Selama memegang tim, ia berani memanggil nama-nama debutan. Jika ditotal, ada 64 pemain yang pernah menjalani laga internasional di bawah Mancini. Satu di antaranya adalah penyerang Sassuolo, Giacomo Raspadori, yang melakoni debut Juni 2021 lalu.

Mancini lagi-lagi mendapatkan manfaat dari prinsip tersebut. Kini, Italia tampak tidak kesulitan saat ada pemain yang absen karena ada pengganti yang punya kualitas setara. Contohnya, kepergian Stefano Sensi dapat diisi oleh Matteo Pessina. Pessina berhasil menjadi penentu kemenangan Italia atas Wales pada laga ketiga fase grup lalu.

Rasanya tidak mengejutkan melihat Italia berkembang amat pesat di bawah Mancini. Italia tidak hanya terlihat sebagai tim yang mampu bertahan dengan baik, tapi juga mendominasi hingga menciptakan serangan yang mematikan.

Yang dibutuhkan Mancini sekarang adalah menjaga penampilan Italia. Sebab, jika sudah demikian, ia bisa mewujudkan cita-citanya: Bersantai di halaman rumah dan memberikan tanda tangan dengan predikat pelatih juara Eropa.