Evolusi Penjaga Kesucian Gawang

Aksi Manuel Neuer. Foto: @manuelneuer

Regulasi dan perkembangan taktik membuat peran penjaga gawang terus meluas.

Penjaga gawang menjadi instrumen vital dalam sepak bola modern. Tugas mereka sama beratnya dengan penyerang maupun lini pertahanan. Sebab, peran mereka dalam menjaga kesucian gawang lebih kompleks. Tak lagi sekadar terbang dan menangkis tembakan, tetapi juga mendistribusikan bola dan aktif meredam serangan.

Meski berada jauh dari perayaan dan penyerangan, panggung juga laik diberikan kepada penjaga gawang. Mereka menjadi pemain yang paling akrab dengan ancaman. Sebagai palang pintu terakhir, penjaga gawang dapat jadi penentu kekalahan dan kemenangan.

Satu penyelamatan bisa berbuah tiga poin dan trofi. Sebaliknya, satu kesalahan akan berubah jadi petaka yang siap melenyapkan kemenangan bahkan gelar juara. Sebegitu beratnya beban penjaga gawang sampai-sampai Gianluigi Buffon berkata: "Jangan mau jadi penjaga gawang."

Sebelum sepak bola berevolusi, tugas utama penjaga gawang adalah menjaga jaring gawang agar tidak bergetar atau kita mengenal dengan istilah shot stopper. Bukan perkara mudah menunaikan misi abadi penjaga gawang tersebut. Penjaga gawang harus jago menangkap maupun meninju bola.

Namun, kata Asmir Begovic, meninju atau menangkap bola adalah tugas yang sangat kompleks. Penjaga gawang memang harus jago melompat, tapi memposisikan diri sebelum bola meluncur deras pun amat krusial. Itu belum ditambah waktu yang tepat untuk melompat. Telat nol koma sekian detik saja, gawang bisa ternodai.

Saat memotong umpan silang, misalnya, penjaga gawang mesti mengukur kecepatan dan memprediksi arah bola. Jangan sampai maju dan melompat tinggi, tapi gagal menjangkau bola.

Kendati dapat menggunakan tangan dan mengungguli keterjangkauan akan bola ketika berduel, penjaga gawang dihadapkan pada dua pilihan penting: Menangkap atau meninju bola. Jika meninju, ke arah mana bola semestinya diarahkan dan seterusnya dan seterusnya.

Maka, meski kiper jarang tersorot kamera dan terlibat dalam mencetak gol, kemampuan teknis mereka tidak boleh diremehkan. Selain kudu atletis, penjaga gawang harus juga punya reflek, kekuatan tangan, dan gesit.

"Sepasang tangan yang baik memungkinkan kiper melakukan sesuatu dengan benar... Jika kiper menepis bola, ia harus memastikan bola ke area yang tepat dan jarak yang aman, sehingga tidak ada pertanyaan setelah melakukan itu," kata Begovic dilansir Bleacher Report.

Kepada The Athletic, Kasper Schmeichel menuturkan bahwa penjaga gawang akan frustrasi ketika mendengar omongan-omongan buruk orang-orang yang tidak tahu betapa rumitnya teknis mengadang tembakan lawan.

"Saat orang-orang yang bukan pakar penjaga gawang berbicara 'Kamu harus menangkap, bukan meninju. Penjaga gawang harus melakukan ini dan itu.' Itu benar-benar omong kosong," kata Schmeichel.

Tuntutan menjadi penjaga gawang membesar manakala aturan back-pass diperkenalkan pada Olimpiade Musim Panas 1992. Aturan tersebut membuat penjaga gawang tidak boleh menangkap bola hasil umpan rekan setim meski berada di kotak penalti.

Oh, iya, sebelum aturan itu lahir, penjaga gawang boleh memegang bola hasil umpan rekan setim. Hasilnya, laga jadi monoton. Banyak klub yang membuang-buang waktu hanya dengan mengumpan bola ke kiper untuk mengamankan kemenangan maupun skor.

Sejak aturan itu terbit, penjaga gawang dipaksa mengasah kemampuan lain di luar menepis tembakan. Hal terdasar tentu atribut mengumpan. Selanjutnya, penjaga gawang dituntut bisa menguasai bola dengan satu-dua sentuhan. Ketenangan menjadi sangat krusial.

Merujuk laporan 90min, penjaga gawang awalnya kesulitan beradaptasi dengan aturan tersebut. Ada yang menyentuh back-pass dengan tangan dan berujung free kick di dalam kotak penalti. Ada juga kiper yang gagal menerima umpan dan bola pun menggelinding ke dalam gawang.

Selain aturan back-pass, perkembangan taktik memperluas peran penjaga gawang. Total Football ala Johan Cruyff, misalnya, melibatkan penjaga gawang dalam merancang serangan. Sebagai pemain paling belakang, kiper harus menjauh dari gawang dan menjadi opsi umpan buat rekan-rekannya.

Hal itu dilakukan untuk meredam pressing lawan yang melibatkan banyak pemain. Jika kiper tidak keluar dari sarangnya, opsi umpan pemain belakang akan minim. Dan umpan-umpan panjang tanpa perhitungan dilepaskan. Potensi lawan merebut penguasaan bola pun semakin besar.

Jika tim bermain dengan pressing tinggi, penjaga gawang mendapat peran sebagai pemain bertahan terakhir. Itu karena penyerang akan menekan bek lawan sedalam mungkin. Pemain tengah dan belakang bergerak maju. Imbasnya, ruang besar di lini pertahanan tercipta. Penjaga gawang pun diminta jago membaca arah bola untuk meredam serangan lawan via tekel, intersep, maupun sapuan.

Karena perkembangan taktik pula, kita semakin akrab dengan sweeper-keeper. Itu merujuk pada peran-peran baru penjaga gawang. Yang mana peran tersebut mendorong penjaga gawang bergerak ke depan untuk mendekat dengan pemain belakang.

Popularitas sweeper-keeper menanjak dalam satu dekade terakhir karena Pep Guardiola. Guardiola yang menekankan ball possession mendorong kiper berperan aktif membangun serangan dari belakang.

Di Barcelona, misalnya, Guardiola menyulap Victor Valdes menjadi sweeper-keeper mumpuni. Di Bayern Muenchen, Guardiola punya Manuel Neuer. Sedangkan di Manchester City, ada Ederson Moraes yang siap memenuhi ekspektasi Guardiola akan kehadiran sweeper-keeper.

Dari tiga nama tersebut, Neuer tentu yang paling mendapat sorotan. Pemain berkebangsaan Jerman itu terampil mendistribusikan bola. Ia juga seringkali bergerak ke depan melakukan tekel, intersep, atau sapuan, yang indah.

Ketenangan Neuer saat menguasai bola membuat semua orang mengacungkan empat jempol dan menyanjungnya. Neuer pun disebut-sebut sebagai penjelmaan kiper modern. Peran kiper yang begitu kompleks dapat ia tuntaskan dengan sebaik-baiknya, sehebat-hebatnya.

Seperti koin, sweeper-keeper memiliki dua sisi yang berlawanan. Oke, sweeper-keeper membuat serangan tim semakin agresif, tetapi tidak jarang mereka membuat tim kebobolan dengan mudah.

Laga Jerman vs Korea Selatan di Piala Dunia 2018 adalah salah satu contohnya. Memasuki masa injury time, Jerman tertinggal satu gol. Untuk mengejar ketertinggalan itu, Jerman bermain sangat agresif.

Neuer pun diinstruksikan maju sampai tengah lapangan untuk membongkar rapatnya pertahanan Korea Selatan. Saat menguasai di sepertiga akhir, Neuer kehilangan bola. Korea Selatan pun hanya butuh dua sentuhan untuk mencetak gol.

Neuer memang penjelmaan kiper modern. Namun, pionir sweeper-keeper sendiri adalah Gyula Grosics dan Lev Yashin. Pemain yang disebut terakhir merupakan satu-satunya penjaga gawang yang meraih Ballon d'Or.

Soal kemampuan menahan tembakan lawan, Lev Yashin jagonya. Tapi, ia juga tidak jarang meninggalkan gawang untuk mengadang serangan lawan dengan kakinya. Hanya saja, ketika itu, sweeper-keeper belum setenar, sepenting, maupun se-'wah' saat ini.

***

Eksistensi sweeper-keeper yang terus meroket membuat penjaga gawang tidak lagi kesunyian. Ia akan terlibat dalam perayaan dan penyerangan. Kontribusinya besar untuk tim-tim yang memperagakan permainan ball possession. Satu tekel kiper di luar kotak penalti pun akan disambut dengan tepuk tangan.

Karena itu juga, penjaga gawang mulai masuk dalam sistem permainan. Format 4-4-2, 4-3-3, dan seterusnya dan seterusnya, sudah semestinya menjadi 1-4-4-2, 1-4-3-3 dan seterusnya dan seterusnya.

“Dulu, dalam permainan, kamu memainkan 4-4-2. Penjaga gawang tidak pernah disebutkan. Tetapi sekarang orang mengatakan kamu bermain 1-4-4-2,” kata Schmeichel. “Itu karena sekarang mereka dapat melihat manfaat menyerang dengan 11 orang, bukan 10.”