Film yang Buruk, tapi Kau Menontonnya Sampai Habis
Dalam beragam situasi berengsek, kita acap cuma bisa berusaha, diam, dan menanti. Sampai akhirnya takdir datang membebaskan.
Seharusnya di setiap perbatasan Jakarta dipasang palang-palang atau rambu-rambu peringatan: Sebelum kota ini menarikmu terlalu jauh, sebaiknya kau putar balik saja.
Saya tentu saja paham bahwa sebaik-baiknya peringatan, ia terkadang hadir cuma untuk diabaikan begitu saja. Untuk orang-orang ndableg, barangkali larangan justru menjadi godaan; datang dan lihat sendiri, siapa tahu ia tak seburuk yang orang-orang katakan.
Yang ada akhirnya adalah pertaruhan. Kau menggulirkan dadumu sembari berharap peringatan itu tidak jadi kenyataan. Sebelum kau sadar, Jakarta sudah menelanmu pelan-pelan dan kau menganggap apa-apa saja yang terjadi di sekelilingmu sudah biasa.
Ada banyak alasan yang membuat saya membenci Jakarta. Jika kau menghabiskan hampir seluruh hidupmu di kota ini, kau tentu paham betapa semena-menanya ia beserta banyak manusia di dalamnya. Ia tidak cuma angkuh, tetapi juga masa bodoh.
Saya tidak menyukai Jakarta ketika ia sedang cerah, tidak pula ketika mendung dan hujan memayunginya. Ketika cerah, ia tidak melulu menawarkan warna biru melainkan cokelat kusam menjurus butek. Dan jangan biarkan saya memulai bercerita bagaimana Jakarta ketika hujan.
Beberapa pekan lalu, ketika hujan tidak berhenti mengguyur sepanjang hari, salah seorang teman saya mengeluh bagaimana moda transportasi kota ini lumpuh karena banyak hal. Jalan-jalan penting banjir, ojek online pun emoh mengambil tumpangan. Lagi pula, siapa pula yang mau naik motor di tengah hujan deras?
Sembari menyesap kopinya, ia membayangkan betapa menyenangkannya Jakarta apabila moda transportasi massanya bisa menyusup sampai ke pelosok. Saya memahami sentimennya karena saya juga mengharapkan hal yang sama. Namun, di situlah kami hari itu: Terjebak di sebuah kedai kopi di tengah hujan sembari jarinya melihat-lihat kemungkinan ada ojek online menerima pesanannya.
Di dalam hati, barangkali kami sama-sama mengutuk; ia tidak kunjung bisa pulang karena tidak ada ojek yang kunjung mau mengangkut, sementara saya bisa pergi ke tempat parkir, mengendarai mobil saya, hanya untuk kemudian terjebak macet di tengah jalan.
Fragmen kecil yang saya alami dengan teman saya itu membuat saya menyadari sesuatu: Jakarta membuat kita semua menjadi mafhum. Sesuatu yang semestinya tidak ideal menjadi diidealkan karena dianggap “memang sudah seperti itu di sini”. Kota ini telah membuat saya, orang yang gampang betul terganggu oleh sesuatu yang tidak menyenangkan, menjadi seorang pengeluh yang buruk.
Ketika akhirnya hujan mulai berhenti dan saya menyalakan mobil—beranjak dari kedai kopi tersebut setelah berpamitan dengan teman saya—saya teringat satu hal lagi yang membuat saya trauma dengan kota ini.
Tidak jauh dari kedai tersebut ada putaran balik. Semestinya, jika saya memutar balik, perjalanan saya pulang ke rumah bakal lebih singkat. Namun, saya memilih jalur yang lebih jauh untuk pulang ke rumah karena saya trauma dengan putaran balik.
Beberapa bulan silam, dalam perjalanan pulang larut malam menuju rumah, saya memutar balik pada sebuah jalanan sepi. Ketika saya memutar balik, satu atau dua motor berhenti untuk memberikan jalan. Sampai kemudian, seorang pengendara mabuk melaju kencang dan menghajar sisi kiri mobil saya dengan kecepatan tinggi. Sisi kiri mobil saya hancur, si pengendara terkapar.
Saya lahir dan besar di Jakarta. Namun, bagi saya ia adalah rumah yang tidak akan pernah saya rindukan. Jakarta adalah kumpulan kalimat-kalimat yang tidak selesai, tempat mimpi-mimpi bisa mati dengan sendirinya. Jakarta telah membuat saya lebih khusyuk mendoakan kucing-kucing dan anjing-anjing jalanan ketimbang manusianya.
Buat saya, ia adalah film yang buruk dan saya memutuskan untuk menontonnya sampai selesai.
Kami, saya dan mungkin banyak orang lain, bisa saja memiliki pilihan. Persoalannya, ketika pilihan itu belum tersedia, boleh jadi kami cuma bisa menerima keadaan lalu menjalaninya sembari menggerutu.
Saya banyak memikirkan ini semua semenjak membaca sebuah kolom yang Alan Shearer tulis untuk The Athletic. Dalam kolom tersebut, Shearer secara tegas menyebut bahwa tindakan Cristiano Ronaldo yang tidak mau masuk sebagai pemain pengganti dan memutuskan untuk pulang duluan adalah sesuatu yang tidak bisa diterima. Namun, Shearer mencoba berempati dengan membayangkan seperti apa rasanya menjadi salah satu pemain terbaik yang pernah ada dan mesti menerima kenyataan bahwa kemampuannya perlahan-lahan lenyap.
Saya tidak menyukai Ronaldo karena berbagai macam alasan. Buat saya, Manchester United semestinya sudah beranjak meninggalkan dia—dan segala tetek bengek nostalgia yang mengelilinginya—sejak lama. Namun, tulisan Shearer menyentil saya.
Dalam usia yang nyaris 38 tahun, kata Shearer, mau tidak mau, tidak peduli sebaik apa pun seorang pemain menjaga kondisi tubuhnya, ia pasti akan mengalami penurunan pada satu dan dua hal. Ronaldo memang masih bisa menjadi pencetak gol yang ulung, tetapi tidak dalam aspek lain.
Shearer menyebutkan bagaimana tim-tim di level teratas nyaris seluruhnya memiliki karakteristik yang sama: Bermain dengan intens dan menerapkan pressing ketat. Dalam usia yang sudah hampir 38 tahun, Shearer menyebut tuntutan tersebut terlalu banyak untuk Ronaldo. Bukan salah Ronaldo, katanya, tetapi waktu memang musuh yang teramat menyebalkan. Tidak ada seorang pun yang bisa melawan waktu.
Duduk di bangku cadangan sembari mengutuki diri bahwa ia tidak bisa memberikan impak barangkali sama dengan menonton film yang buruk, tetapi pop corn-mu sudah habis. Ronaldo kemudian memilih untuk meninggalkan realitas itu dan membuat realitasnya sendiri; ia beranjak pergi dari tempat duduk dan pulang lebih awal.
Ronaldo dan United adalah pernikahan yang hambar dan semestinya tidak pernah terjadi. Satu sama lain saling bertahan sembari menanti takdir menyelak dan membebaskan keduanya dari kungkungan itu.
Selama itu belum terjadi, Ronaldo dan United, seperti halnya kita yang masih terperangkap dalam beragam situasi berengsek, hanya bisa diam, berusaha, dan menanti.