Hikayat Adu Penalti: Beckham, Saka, hingga Roberto Baggio

Ilustrasi: Arif Utama

Adu penalti lebih dari sekadar keberuntungan. Adu penalti adalah adu psikologis antara penendang dan kiper.

Adu penalti bukan sekadar adu hoki. Perang mental, ketenangan, pengalaman, dan skill berpadu dalam duel yang sering disebut tos-tosan itu.

Penendang memiliki tekanan yang begitu besar. Mereka akan menjadi kambing hitam apabila tendangan itu gagal. Sebaliknya, kiper akan dielu-elukan bak pahlawan andai bisa menggagalkan tendangan 12 pas tersebut.

Eks kiper Valencia, Diego Alves, mengatakan adu penalti adalah adu psikologis penendang dan kiper. Oleh sebab itu, banyak kiper dan pemain yang melakukan psywar dengan berbagai macam bentuknya dalam adu penalti.

Emiliano Damian Martinez, misalnya, melakukan psywar yang menjatuhkan mental lawan saat Argentina bersua Kolombia di semifinal Copa America. Khusus saat berhadapan dengan Yerry Mina, Martinez masih ngoceh saat bola sudah mau disepak. Hasilnya? Martinez bisa menggagalkan penalti tersebut.

Kiper Spanyol, Unai Simon, di Piala Eropa 2020 juga melakukan hal yang sama. Melawan Swiss di perempat final, Simon melakukan psywar dan berhasil.

Saat Fabian Schar akan menendang, Simon tak berdiri di tengah. Ia berdiri agak sedikit ke kanan dan membuat ruang sebelah kiri terbuka lebar.

Schar malah mengarahkan bola ke tempat Simon berdiri. Alhasil, kiper Athletic Bilbao itu bisa menepis sepakan pemain Swiss tersebut. Begitu juga dengan sepakan Manuel Akanji yang bisa dimentahkan oleh Simon.

Spanyol lalu menjejak semifinal Piala Eropa 2020 usai Simon tampil gemilang.

****

Roberto Baggio menjelma menjadi pahlawan dan pesakitan di Piala Dunia 1994. Di perempat final dan semifinal, pemain dengan ciri khas rambut kuncir kudanya menjadi pahlawan Italia.

Golnya di menit 88 ke gawang Spanyol membawa Italia menang 2-1 dan melaju ke semifinal. Aksi Baggio berlanjut di semifinal. Brace dilakukannya dan membawa Italia ke final usai menang dengan skor 2-1.

Sayangnya, Baggio tak bisa tiga kali menjadi pahlawan. Di partai puncak, ia justru menjadi pesakitan. Laga Italia vs Brasil harus sampai pada adu tendangan penalti. Kedua tim bermain imbang tanpa gol hingga babak tambahan.

Roberto Baggio ditunjuk sebagai penendang kelima Italia. Pemilihan Baggio sebagai penendang memang sudah dipikirkan masak-masak oleh Arrigo Sacchi. Terlebih, Baggio memang seorang eksekutor andal bersama klubnya. 

Bola ditaruh dengan mantapnya oleh Baggio. Dia mengambil langkah hingga luar kotak penalti. Tendangan Baggio memang bisa menipu Claudio Taffarel. Akan tetapi, bola malah melambung di atas gawang. Italia kalah dari Brasil dan kegagalan Baggio itu membekas hingga saat ini.

"Penalti itu terus membekas. Tidak ada yang bisa saya lakukan. Saya masih belum bisa menerima apa yang terjadi di hari itu. Hal positifnya, kegagalan itu membantu saya untuk terus rendah hati," ucap Baggio dilansir Firstpost.

***

Inggris memang tidak berjodoh dengan adu penalti. Lebih banyak sakitnya ketimbang senangnya. Memang, di bawah Gareth Southgate Inggris bisa menang adu penalti sebanyak dua kali.

Saat itu, The Three Lions menang adu penalti atas Kolombia di Piala Dunia 2018 dan Swiss pada perebutan tempat ketiga UEFA Nations League.

Dua keberuntungan itu tak hadir di laga final Piala Eropa 2020. Inggris kembali tak berdaya di hadapan permainan bernama adu penalti.

Sebelum adu tos-tosan dimulai, Southgate berkeliling menghampiri pemainnya. Ia menanyakan kesiapan para pemain untuk mengambil tanggung jawab ini.

Susunan penendang penalti yang ditunjuk Southgate membuat publik mengernyitkan dahi. Apalagi, Bukayo Saka yang masih berusia 19 tahun didaulat sebagai penendang kelima The Three Lions.

Saka memang sudah menjadi tulang punggung di Arsenal. Pemain asli akademi Arsenal itu kerap menjadi penyelamat The Gunners saat menemui kebuntuan untuk menciptakan gol.

Beban di klub sangat berbeda dengan di Timnas. Saka tak sanggup. Kaki-kakinya berat sehingga sepakannya tak keras.

Selain tak kencang, bola tendangan Saka juga tak mengarah ke sudut gawang. Bola justru lebih ke tengah sehingga memudahkan Donnarumma untuk menggagalkannya.

Dua puluh lima tahun lalu, Southgate punya pengalaman yang serupa dengan Saka. Ia ditunjuk sebagai algojo penalti saat Inggris bersua Jerman di semifinal Piala Eropa 1996.

Saat itu kedudukan di babak adu penalti 5-5 dan Southgate menjadi penendang kelima atau yang pertama di sudden death. Banyak yang percaya Southgate akan bisa menyelesaikan tugasnya dengan baik.

Southgate juga menunjukkan kemahirannya mengeksekusi penalti dalam latihan. Sayangnya, menendang penalti di latihan dan laga sesungguhnya berbeda sangat jauh.

Tendangan penalti Southgate terlalu lemah dan bisa ditepis kiper Jerman. Setelahnya, penendang Jerman, Andreas Moller mengeksekusi bola dengan baik. Jerman menang dengan skor 6-5 dan melaju ke final.

Kegagalan penalti membuat Southgate down. Orang tuanya selalu menanyakan kenapa sepakannya gagal. Saking kalutnya, Southgate mengasingkan diri setelahnya.

Kabar menyebut Southgate mengungsi ke Bali. Dia merasa terpukul dan ingin menjauh dari ingar-bingar sepak bola.

"Suatu hari saya berada di sebuah kuil yang terisolasi dengan danau dan gunung berapi di dekatnya. Itu ajaib tapi sayangnya saya ditemukan oleh seorang biarawan," ucap Southgate dilansir The Guardian.

***

Sebenarnya, Saka dan Southgate tak perlu berlarut-larut dalam kesedihan. Toh, banyak pemain Inggris lain yang pernah gagal dalam mengeksekusi penalti. Eks kapten Inggris, David Beckham, menjadi salah satu contohnya.

Beckham yang biasa mencetak gol melalui tendangan bebas dari luar kotak penalti gagal saat situasi sepakannya lebih dekat lagi. Tanpa kawalan, tinggal berhadapan dengan kiper, Beckham masih bisa gagal.

Peristiwa itu terjadi di Piala Eropa 2004. Melawan Portugal di babak perempat final, Beckham yang menjadi algojo pertama Inggris gagal menyelesaikan tugasnya. Kondisi itu cukup ironis mengingat Inggris berhasil menyamakan kedudukan di babak tambahan lewat gol Frank Lampard. 

Tendangan Beckham melambung jauh ke atas gawang yang dikawal Ricardo Pereira. Dalam duel itu, Rui Costa yang mencetak gol buat Portugal di babak tambahan pun gagal menunaikan tugas ke gawang Inggris. 

Akan tetapi, Beckham tidak menjadi satu-satunya penggawa Inggris yang gagal mencetak gol kala itu. Masih ada Darius Vassell yang juga tak sanggup membobol gawang Portugal. Akibatnya, Inggris menutup duel dengan kekalahan 5-6 di babak adu penalti.

Sekali lagi, adu penalti bukan cuma perkara jago dan tidak jago. Namun, mental, ketenangan, dan kerendahan hati juga memiliki peran yang menentukan.