How It's Going: Dominic Calvert-Lewin

Foto: Instagram @domcalvertlewin

How it started: Remaja belasan tahun yang dipinjamkan ke klub-klub non-liga. How it's going: Penggawa Timnas Inggris dan pencetak gol terbanyak sementara Premier League.

Dominic Calvert-Lewin adalah contoh bahwa sepak bola adalah cerita tentang manusia, bukan soal dewa-dewi yang mengetuk-ngetukkan tongkat mereka ke kepala seorang bocah.

Ketika pertama kali melihatnya dulu, Calvert-Lewin hanyalah pemuda Akademi Sheffield United yang memiliki pertumbuhan tidak ideal. Kakinya bertumbuh lebih cepat ketimbang badannya.

Ia demam panggung ketika harus berhadapan dengan orang-orang yang tidak dikenalnya. Beberapa jam jelang sepak mula adalah waktu yang paling menyiksa. Perutnya mulas tak menentu, penanda gugup dan cemas sedang saling berpagut.

Pada usia 17 tahun, Calvert-Lewin memberanikan diri untuk menerima pinangan Stalybridge Celtic, itu pun sebagai pemain pinjaman. Bekalnya tak banyak, benar-benar khas anak muda naif: Tubuh atletis, seperangkat skill menjanjikan, dan rasa penasaran untuk berlaga di level dewasa.

Tentu saja sepak bola level akademi dan dewasa berbeda, apa pun klub yang dibela saat itu. Calvert-Lewin yang masih ingusan harus berebut tempat dengan para pemain tetap yang pengalamannya sudah teruji.

Pada laga debutnya bersama Stalybridge, Calvert-Lewin tidak hanya harus berurusan dengan pemain Hyde United, tetapi juga cuaca yang kelewat dingin dan cedera pelipis yang membuatnya kepayahan melihat. Sebenarnya cedera Calvert-Lewin waktu itu tak parah-parah amat. Namun, luka di pelipis itu membuatnya hanya bisa melihat dengan satu mata.

Masalahnya, kalau Calvert-Lewin setuju untuk digantikan, ia bakal tambah kesulitan untuk mendapat tempat di tim. Pada akhirnya Calvert-Lewin memilih untuk tetap bermain. Ajaib, ia mencetak dua gol sekaligus di laga yang berakhir dengan kemenangan 7-1 untuk Stalybridge itu.

“Cedera itu membuat saya bermain hanya dengan satu mata di sisa laga. Ya, mau bagaimana lagi? Biarpun begitu, saya masih ingat betul saya benar-benar menikmati pertandingan hari itu. Waktu itu saya paham: Oh... Begini, toh, rasanya bertanding habis-habisan untuk suportermu,” tutur Calvert-Lewin.

Laga itu berakhir menyenangkan. Calvert-Lewin dielu-elukan karena pada akhirnya bisa membukukan enam gol dalam lima pertandingan. Akan tetapi, sepak bola memang masalah daya tahan terhadap pengulangan. Cerita lapangan hijau berputar pada satu sesi latihan lagi, satu pertandingan lagi, satu gol lagi, satu musim lagi. Dan bagi Calvert-Lewin, satu peminjaman lagi.

Lalu, di sinilah kita sekarang, enam tahun setelah laga debut itu.

Calvert-Lewin bukan lagi bocah kemarin sore yang mati-matian menahan mulas beberapa jam sebelum pertandingan. Ia bukan lagi pemain yang harus mengabaikan cedera untuk mendapat tempat utama di tim.

Bersama Everton, ia kini dielu-elukan sebagai salah satu striker paling menjanjikan di Premier League. Calvert-Lewin memegang gelar juara Piala Dunia U-20 bersama Timnas U-20 Inggris. Jumat (9/10/2020), Calvert-Lewin membukukan gol pada laga debutnya bersama Timnas Inggris asuhan Gareth Southgate. Pertandingan itu tuntas dengan kemenangan 3-0 Inggris atas Wales.

Untuk mendapatkan itu semua, Calvert-Lewin tak boleh punya aura congkak. Pemain 23 tahun ini tak boleh muluk-muluk. Ia tidak bermain untuk klub semewah Manchester City. Ia tidak berlaga untuk klub setenar Liverpool atau klub sehistoris Manchester United.

Ia bertanding untuk Everton, tetangga Liverpool. Namun, Everton bukan tetangga yang populer. Dibandingkan dengan Derbi Merseyside, kini orang-orang lebih menantikan laga Liverpool melawan duo Manchester.

Untuk sampai di fase sekarang, Calvert-Lewin tak bisa sembarang mendongak. Ia hanya mengarahkan kepalanya kepada orang-orang seperti Duncan Ferguson dan Carlo Ancelotti.

Sepak bola adalah sarangnya perbandingan. Jika kokoh dalam bertahan, orang-orang akan membawamu pada zaman keemasan Paolo Maldini. Kalau cerdik dalam mengendalikan permainan, para komentator akan membuatmu merasa kau harus menjadi seperti Andrea Pirlo atau Zinedine Zidane. Kalau berhasil menggagalkan sepakan penalti, orang-orang ingin kau segarang Oliver Kahn.

Jika bermain sebagai penyerang Everton, orang-orang ingin kau menjadi seperti Romelu Lukaku. Penyerang asal Belgia ini bukan pemain modal fisik melulu. Meski dibebani tugas sebagai target man, Lukaku juga tak kagok saat harus turun ke lini kedua atau menyisir sayap. Itulah sebabnya, pada 2016/17 yang merupakan musim terakhirnya di Everton, Lukaku bisa mengemas rerata 1,27 kans per laga dalam total 37 pertandingan.

Kepergian Lukaku berdekatan dengan kedatangan Calvert-Lewin. Tak mengherankan jika akhirnya ia diharapkan dapat menjadi Lukaku yang lain. Masalahnya, Calvert-Lewin bukan Lukaku. Kesempatan untuk pemain 20 tahun yang baru pertama kali mentas di Premier League sepertinya pun tak bisa datang dalam sekejap.

Ferguson yang mengambil alih dalam masa transisi kepelatihan Marco Silva dan Ancelotti tak mau setengah-setengah. Ia memberi kepercayaan penuh kepada Calvert-Lewin untuk tampil melawan Chelsea. Perhitungan tersebut tak buntung. Calvert-Lewin mencetak dua gol dan Everton menang 3-1.

Calvert-Lewin beruntung. Ancelotti bukan tipe pelatih yang berambisi mengubah tatanan taktik sepak bola. Selama masuk akal, ia adalah pelatih yang tahu bagaimana caranya mewujudkan keinginan para petinggi klub dan melibatkan seluruh pemain dalam rencana tersebut.

Jika Ancelotti berkata bahwa Calvert-Lewin bakal mendapat tempat di timnya, sebaiknya percaya saja. Toh, Ancelotti pernah mewujudkan champagne football impian Silvio Berlusconi dengan memainkan Andrea Pirlo, Rui Costa, Clarence Seedorf, dan Ricardo Kaka secara bersamaan.

Di Real Madrid dulu, ia mencari cara agar Diego Lopez dan Iker Casillas bisa bermain bergantian serta membuktikan bahwa Cristiano Ronaldo, Gareth Bale, dan Karim Benzema bisa bertanding dalam satu tim yang sama. Bersama Bayern Muenchen, Ancelotti sesekali mengubah formasinya menjadi 4-2-3-1 demi mengakomodasi Thomas Mueller, Arjen Robben, dan Franck Ribery sekaligus.

Maka ketika Ancelotti memiliki tiga penyerang tangguh--termasuk yang teranyar, James Rodriguez--Calvert-Lewin tak perlu kepalang panik. Ancelotti memahami ciri Calvert-Lewin sebagai penyerang.

Calvert-Lewin tak perlu memaksakan diri untuk terlibat banyak dalam permainan. Ia hanya butuh fokus mencari posisi dan waktu yang tepat untuk mencetak gol dari sentuhan pertama. Lagi pula, Ancelotti sudah memiliki Richarlison yang eksplosif di kiri dan James yang kreatif di kanan.

Karena Calvert-Lewin merupakan pemain yang cepat dan lincah, dia bisa berlari ke ruang kosong antara garis pertahanan lawan. Dia bermain dengan membelakangi gawang dan berbalik ketika bola terobosan datang ke arahnya. Calvert-Lewin juga bisa mengatur kecepatannya dengan sangat baik sehingga dapat melesat ke depan gawang untuk mencetak gol.

Meski bukan tipe pemain dengan mobilitas tinggi, Calvert-Lewin tetap produktif. Dalam empat pertandingan pembuka Premier League 2020/21, tiga dari enam golnya untuk Everton berasal dari kotak 6 yard.

Shot zonesShGKPAxGxAxG/ShxA/KP
1Out of box20000.0900.040
2Penalty area73101.070.110.150.11
3Six-yard box63003.2600.540
156104.410.110.290.11

Keistimewaan Calvert-Lewin lainnya adalah ketangguhannya dalam duel udara. Tiga dari enam golnya di liga juga berasal dari sundulan. Torehan itu untuk sementara menjadi yang tertinggi di Premier League 2020/21.

Kemampuan membobol gawang lawan dengan sundulan tidak hanya bicara tentang postur yang menjulang, tetapi juga teknik. Analisis Patrick Boyland di The Athletic menyebut bahwa Calvert-Lewin jarang menyundul dalam posisi diam. Ia selalu bergerak menuju arah sundulannya.

Hukum fisika bekerja di sini. Pergerakan tersebut menghasilkan momentum: Massa tubuh dikalikan kecepatan. Momentum itulah yang pada akhirnya menambah kecepatan sundulan Calvert-Lewin.

Selain itu, menurut ahli biomekanik yang menjadi narasumber Boyland dalam tulisan tadi, Calvert-Lewin sering menempatkan bola saat hendak menyundul tepat di tengah dahinya. Bagian itu merupakan bagian paling datar sehingga ketika menghentakkan sundulan, ia tidak membutuhkan banyak gerakan yang justru mengurangi akurasi.

Shot typesShGKPAxGxAxG/ShxA/KP
1Right foot93003.2500.360
2Head63001.1600.190
3Left foot00100.000.1100.11
156104.410.110.290.11

Ancelotti pada suatu kali menyebut bahwa Calvert-Lewin memiliki elemen yang dimiliki Filippo Inzaghi. Kalau Ancelotti bicara demikian, rasanya dia tak sedang beromong besar. Toh, Inzaghi adalah mantan anak didiknya di AC Milan.

Elemen tersebut membuat Calvert-Lewin jadi penyerang yang klinis. Mengutip statistik Premier League, keenam gol yang membuatnya jadi top skorer sementara itu lahir dari 15 tembakan. Jumlah itu lebih baik daripada Harry Kane yang membukukan 3 gol lewat 19 tembakan atau 5 gol Mohamed Salah melalui 19 tembakan. Lewat catatan ini sepertinya Calvert-Lewin membuktikan bahwa ungkapan less is more bukan omong kosong.

Musim masih panjang, tak ada yang tahu pasti apakah perjalanan Calvert-Lewin bakal sementereng ini hingga akhir. Namun, kegemilangan Calvert-Lewin tetap menjadi cerita tersendiri. Bahwa untuk mendapat ruang di pentas semasyhur Premier League, kau tak perlu menjadi bocah ajaib. Yang kau butuhkan hanyalah tempat dan orang-orang yang tepat.