Ilusi Max Allegri

Pemain-pemain Juventus merayakan gol Moise Kean ke gawang Roma. (Twitter/@juventusfc_en)

Setelah terseok-seok di awal musim, Juventus kembali ke trek yang benar dengan kesuksesan meraih 6 kemenangan beruntun di Serie A dan Liga Champions. Di balik itu kebangkitan itu, ada ilusi yang diciptakan oleh sang pelatih, Max Allegri.

Juventus memang gagal mempertahankan gelar Serie A musim lalu, tetapi tak ada yang menyangka mereka bakal begitu menderita pada awal musim ini. Satu hasil imbang dan dua kekalahan dalam dua laga perdana membuat Si Nyonya Tua teronggok di papan bawah klasemen.

Dalam tiga pertandingan tersebut, Juventus bukan cuma meraih hasil buruk. Permainan mereka pun betul-betul mengkhawatirkan. Lini depan mereka tak kreatif, lini tengah mereka tak kohesif, dan lini belakang mereka tak solid. Seolah-olah, tim yang bermain dalam balutan kostum hitam-putih itu bukan Juventus, melainkan Cesena, Siena, atau Ascoli.

Di tengah situasi sulit tersebut, pandit-pandit karbitan media sosial berusaha mencari penjelasan dan, karena keterbatasan pengetahuan, mereka cuma bisa mengatakan bahwa itu semua terjadi karena Cristiano Ronaldo pergi, padahal kepergian Ronaldo hanyalah satu dari sekian banyak masalah Juventus.

Kita bisa menghabiskan waktu seharian berbicara soal masalah Juventus, tetapi sederhananya begini: Sejak Paul Pogba pergi pada 2016, Juventus belum lagi memiliki lini tengah kelas dunia. Lini belakang dan depan mungkin boleh diadu, tetapi tidak dengan lini tengah. Buruknya kualitas lini tengah Juventus itu pun jadi alasan di balik kegagalan Maurizio Sarri dan Andrea Pirlo sebagai pelatih.

Ya, Sarri memang masih bisa mengantarkan Juventus meraih Scudetto. Akan tetapi, gelar tersebut tidak diraih dengan cara yang semestinya. Juventus sama sekali tidak mampu mengeksekusi ide bermain Sarri. Mereka sangat bergantung pada kualitas individual (terutama Ronaldo) untuk menjadi juara. Di bawah Pirlo, situasinya kurang lebih sama, tetapi bedanya Juventus gagal juara.

Yang luput dari perhatian banyak orang adalah sebenarnya situasi demikian tidak cuma terjadi pada era Sarri dan Pirlo, tetapi sejak masa kepelatihan Max Allegri yang pertama. Pasca-kekalahan di final Liga Champions 2017, Juventus sudah terlihat lelah dan butuh penyegaran.

Sebenarnya, manajemen Juventus sudah berupaya menyegarkan skuad setiap tahun. Akan tetapi, banyak rekrutmen yang gagal membuahkan hasil. Alhasil, Juventus pun masih sangat bertumpu pada nama-nama lawas, mulai dari Gianluigi Buffon, Leonardo Bonucci, Giorgio Chiellini, serta Paulo Dybala.

Meski demikian, Allegri masih mampu membawa Juventus berjaya, setidaknya di Serie A. Lewat pendekatan pragmatisnya, Allegri sanggup menutupi segala kekurangan yang ada. Allegri mampu menciptakan ilusi seakan-akan Juventus baik-baik saja, padahal kenyataannya tidak begitu.

Allegri sendiri sudah tampak kepayahan pada musim terakhir di era kepelatihan pertamanya. Penampilan Juventus yang mengundang decak kagum bisa dihitung dengan jari. Juventus pun banyak bergantung pada Ronaldo pada musim itu dan dalam dua musim berikutnya di bawah Sarri serta Pirlo.

Ketika Ronaldo pergi, Juventus tak lagi memiliki pemain bintang yang mampu menentukan hasil akhir pertandingan. Maka, apabila kita berkaca pada situasi tiga musim sebelumnya, menyebut ketiadaan Ronaldo sebagai biang kesulitan Juventus di awal musim ini sebetulnya tidak salah.

Max Allegri memimpin sesi latihan Juventus. (Twitter/@juventusfc_en)

Namun, masalah utamanya adalah bagaimana Juventus bisa sampai pada situasi seperti itu. Bagaimana Juventus bisa sampai harus bergantung pada satu pemain saja untuk memenangi pertandingan? Bagaimana Juventus gagal membangun ulang skuadnya, terutama setelah Pogba ditarik pulang Manchester United?

Keputusan manajemen Juventus menunjuk Sarri dan Pirlo adalah sebuah upaya untuk mengubah identitas tim. Harapannya, Juventus bisa memiliki sistem permainan yang memungkinan mereka untuk bermain bagus tanpa pemain bintang. Akan tetapi, kalau sampai Sarri berkata skuad Juventus "tidak bisa dilatih", itu berarti kualitas tim, terutama di lini tengah, memang keterlaluan jeleknya.

Setelah dua musim bereksperimen, Juventus akhirnya menyadari bahwa mereka takkan bisa berubah dengan sumberdaya yang ada sekarang. Apalagi, pandemi virus corona membuat pemasukan mereka menurun drastis. Juventus perlu solusi cepat untuk kembali menjadi juara dan mendapatkan uang banyak. Maka, Allegri sang ilusionis pun ditunjuk kembali.

Allegri diharapkan mampu mengulangi apa yang dia lakukan dulu. Yakni, menutupi borok di skuad Juventus lewat pendekatan pragmatisnya. Namun, dalam tiga pertandingan pertama musim 2021/22, Allegri gagal total. Tak satu kemenangan pun diraih La Vecchia Signora dalam kurun waktu tersebut.

Juventus baru bisa meraih kemenangan kala bertandang ke markas Malmoe di ajang Liga Champions pada 15 September. Kemenangan itu menjadi titik balik Juventus. Memang, setelah itu mereka sempat ditahan imbang Milan 1-1. Akan tetapi, dalam enam partai selanjutnya, Juventus selalu berhasil menang, masing-masing atas Spezia (3-2), Sampdoria (3-2), Chelsea (1-0), Torino (1-0), Roma (1-0), dan Zenit (1-0). Itu belum termasuk kemenangan 2-1 atas Alessandria di laga persahabatan.

Dari sini, terlihat bahwa Juventus sudah kembali ke trek yang benar. Mereka berhasil meraih hasil positif meski tidak bermain impresif. Selain itu, perlahan-lahan, pertahanan mereka pun kembali solid, terbukti dengan keberhasilan menorehkan tiga catatan nirbobol dan tiga partai termutakhir.

Jika pertandingan melawan Malmoe menjadi titik balik bagi Juventus untuk meraih kemenangan, pertandingan kontra Chelsea merupakan momentum kembalinya Juventus khas Allegri. Yakni, Juventus yang menyadari betul apa kelebihan serta kekurangan mereka.

Allegri sadar bahwa Juventus tak punya kemampuan mendominasi pertandingan lewat umpan-umpan pendek. Di sisi lain, Allegri juga sadar bahwa tim asuhannya memiliki pemain-pemain yang piawai memanfaatkan transisi seperti Federico Chiesa, Federico Bernardeschi, Juan Cuadrado, dan Moise Kean. Dengan begitu, pendekatan Juventus pun berubah.

Target utama Juventus sekarang adalah tidak kebobolan. Dari sana, mereka membangun fondasi untuk mencuri serangan-serangan balik. Ketika lini belakang sudah berhasil diamankan, mereka baru boleh memikirkan apa yang mesti dilakukan untuk memanfaatkan lubang di pertahanan lawan. Gol Chiesa ke gawang Chelsea dan gol Kean ke gawang Roma adalah bukti terbaiknya.

Dengan cara seperti inilah Allegri dulu mampu menyembunyikan wajah buruk Juventus dan sekarang dia mengulanginya lagi. Tentu saja Juventus tidak bisa terus-menerus menggunakan cara ini. Suatu hari nanti, Juventus harus betul-betul bisa bermain selayaknya tim besar kebanyakan, terutama jika mereka ingin menjuarai Liga Champions. Namun, untuk sekarang, apa yang dilakukan Allegri sudah benar dan sepertinya ini bakal terus dia lakukan setidaknya sampai akhir musim ini.