In Limbo

Foto: Twitter @ManUtd.

Manchester United seperti berada dalam posisi maju kena, mundur kena. Ada sejumlah persoalan, baik dari sisi taktik maupun teknik, yang perlu mereka benahi, tetapi mereka hanya memiliki sedikit waktu.

Manchester United dan kekecewaan acap berjalan beriringan, bahkan pada masa jaya mereka sekalipun. Namun, yang membedakan dengan sekarang, kekecewaan datang terlampau sering.

Kekalahan 0-1 dari Wolverhampton Wanderers, yang mana merupakan pertandingan pertama United pada tahun 2022, membuka banyak tabir. Semestinya pula kekalahan tersebut tidak terlalu mengejutkan karena, ya, United memang sudah terlampau sering berkawan karib dengan kekecewaan belakangan ini.

Namun, ini bukan karena mereka medioker dalam beberapa musim terakhir saja, melainkan juga melihat tren dalam beberapa pertandingan ke belakang. Akun taktik yang biasa membahas United, Utd Arena, menjelaskannya dengan amat singkat dan padat: “Kita bisa saja kalah melawan Norwich. Kita semestinya kalah melawan Newcastle. Kita, pada akhirnya, kalah melawan Wolves.”

Melihat penjelasan singkat Utd Arena, kita bisa memahami bahwa kekalahan pertama United di tangan sang pelatih interim, Ralf Rangnick, hanya tinggal menunggu waktu saja. Performa United semenjak menang tipis 1-0 atas Norwich City—lewat penalti Cristiano Ronaldo—memang memperlihatkan tren yang mengkhawatirkan.

Untuk memahaminya secara singkat, kita bisa melihat angka xG United pada ketiga pertandingan tersebut. xG alias expected goals adalah statistik yang digunakan untuk mengukur kualitas peluang sebuah tim atau seorang pemain. Semakin kecil angka sebuah xG (semestinya) semakin kecil sebuah kans untuk menjadi gol.

Pada laga melawan Norwich, misalnya, angka xG United, menurut catatan Understat, adalah 2,10. Namun, mereka hanya menciptakan 1 gol dan itu pun hanya lewat sepakan penalti. Ini menunjukkan bahwa United memiliki masalah dalam menyelesaikan peluang untuk menjadi gol.

Itu baru satu problem. Pertandingan melawan Norwich tersebut memperlihatkan bagaimana intensitas pressing pemain-pemain United menurun pada tengah pertandingan. Selain itu, kerapatan antarpemain, yang biasanya menjadi salah satu ciri permainan Rangnick, merenggang.

Maka, tidak mengherankan apabila David de Gea harus berjibaku setengah mati pada laga tersebut. WhoScored memberinya nilai 8,3 karena berulang kali mengamankan gawang United dari kebobolan. Kamu tentu tahu narasinya: Tiap kali De Gea tampil brilian, United pasti sedang tidak baik-baik saja—dan begitu juga sebaliknya.

Pada tiga pertandingan berikutnya, catatan xG United memburuk. Pada pertandingan melawan Newcastle United, mereka hanya meraih 1,76. Lalu, pada laga menghadapi Burnley, ketika mereka mencetak 3 gol, hanya 1,81. Teranyar, pada laga melawan Wolves, hanya 0,77.

xG United dalam tiga laga terakhir. Sumber: Understat.

Ketiga laga tersebut menunjukkan bahwa United tidak memiliki kualitas peluang yang cukup bagus bahkan untuk membuat 2 gol dalam satu laga. Ada persoalan laten yang sampai sekarang masih belum ditemukan solusinya: Bagaimana caranya membuat bangunan serangan yang rapi sehingga para pemain bisa berada dalam posisi yang lebih baik untuk menuntaskan sebuah peluang.

Rangnick sendiri bukannya tidak berbuat untuk hal itu. Formasi 4-2-2-2 yang biasa ia gunakan, pada akhirnya, hanyalah sebuah dasar saja. Dalam fase menyerang dan bertahan, formasi tersebut bisa berubah. Ambil contoh pada pertandingan melawan Burnley, ketika ia memasang Scott McTominay dan Nemanja Matic sebagai “nomor 6 kembar”.

Bukan tanpa alasan McTominay, yang biasanya bermain dengan Fred, mendapatkan Matic sebagai tandem pada laga tersebut. Mengingat Matic adalah gelandang bertahan yang bisa memainkan role sebagai holding midfielder, United jadi memiliki satu orang yang bisa melapis pertahanan sekaligus menjaga sirkulasi bola dari kedalaman.

Dengan keberadaan Matic, McTominay pun tidak perlu repot-repot untuk turun dan melapis pertahanan. Sebaliknya, ia bisa berkonsentrasi merebut bola dan naik membantu serangan. Kenyataannya, inilah yang dilakukan Rangnick. Dalam fase menyerang, ia menggunakan formasi 4-2-4 dan mengizinkan McTominay maju untuk menjadi opsi dari lini kedua.

Hasilnya pun terbilang oke; McTominay melepaskan 3 attempts pada laga tersebut dengan salah satunya berujung menjadi gol. Bonusnya, gelandang asal Skotlandia tersebut juga mengawali terciptanya gol Ronaldo setelah sepakannya dari luar kotak penalti membentur mistar dan disambar oleh sang nomor 7.

Yang jadi soal, dari seluruh proses gol yang terjadi pada laga itu, dua di antaranya berawal dari sebuah sepakan dari luar kotak penalti. Menghadapi lawan yang bertahan dengan kerapatan, United mestinya harus mencari cara bagaimana caranya membuka ruang supaya bola dengan mudah masuk ke dalam kotak penalti lawan.

Namun, untuk urusan yang satu itu, butuh lebih dari sekadar struktur, melainkan juga sinkronisasi antarpemain dan pengambilan keputusan dengan tepat. Pertandingan melawan Wolves, empat hari setelah laga melawan Burnley, memperlihatkan PR lain dari urusan individu.

Betul bahwa United memang kesulitan mengontrol laga karena lini tengah mereka kalah disiplin dan kekurangan pemain yang bisa mengendalikan laga dari lini kedua, berbeda dengan Wolves yang memiliki Ruben Neves dan Joao Moutinho. Namun, bukan satu atau dua kali saja lini depan United memiliki kesempatan untuk mencetak gol kalau saja mereka lebih cerdas dan lebih peka.

Sebagai contoh, dua sequence di bawah ini menunjukkan bagaimana pemain-pemain United berhadapan dengan lini pertahanan Wolves yang meninggalkan banyak ruang. Namun, karena pengambilan keputusan yang buruk (baca: Memilih untuk menyelesaikan peluang sendiri alih-alih memberi bola kepada rekan yang berada di ruang terbuka), peluang tersebut jadi sia-sia.

Rangnick, tentu saja, tidak bisa disalahkan sepenuhnya ketika para pemain tidak bisa mengeksekusi taktiknya dengan baik. Namun, melihat bagaimana United masih tak sinkron ketika membangun serangan, ia jelas memiliki PR untuk diselesaikan. Terlebih, menurut sejumlah laporan media Inggris, sesi latihan United memang masih belum menitikberatkan pada apa yang perlu pemain lakukan ketika sudah merebut bola kembali dari lawan, sesuatu yang menjadi fokus Rangnick selama ini.

Ketika ditangani oleh Ole Gunnar Solskjaer, United memang mendapatkan kebebasan lebih ketika membangun serangan. Para pemain diizinkan untuk mengambil risiko lebih banyak. Ini yang membuat banyak orang berpandangan bahwa Solskjaer hanya mengandalkan kemampuan individu belaka ketika membangun serangan, padahal kenyataannya tidak demikian.

Yang jadi soal, dengan besarnya level kreativitas yang diizinkan dan risiko yang diambil, United acap kehilangan kontrol atas laga. Betul bahwa mereka masih bisa memancing lawan keluar dari posisi sehingga para pemain yang cepat dan lihai bisa menciptakan peluang dan gol—dan inilah salah satu alasan mengapa Bruno Fernandes bisa mencetak banyak gol dan assist pada era Solskjaer—tetapi mereka juga rentan ketika diserang balik.

Oleh Rangnick, perkara kontrol itulah yang terlebih dahulu ia benahi. Ia berusaha membuat United menjadi mesin pressing yang bermain dengan kerapatan ketika tidak menguasai bola. Pada beberapa laga perdananya, cara ini berhasil dan United juga terlihat lebih baik ketika sedang tidak menguasai bola.

Catatan statistik pun membuktikan dengan sendirinya: Menurut Sky Sports, di bawah arahan Rangnick, United mencatatkan kesuksesan tekel 37,33% lebih banyak, kesuksesan intersep 17,33% lebih banyak, memenangi duel udara 40,80% lebih banyak, memenangi penguasaan bola di final-third 44% lebih banyak, dan memenangi penguasaan bola di middle-third 3,84% lebih banyak.

Yang jadi soal, ketika kontrol itu berhasil mereka dapatkan, jumlah penciptaan peluang mereka menurun. Masih menurut Sky Sports, dalam era Rangnick, United mengalami penurunan pengkreasian big chances sebesar 30%. Maka, benar bahwa ketika taktik melakukan pressing sudah berhasil, tinggal bagaimana caranya United mencari cara membuat peluang bagus ketika sudah menguasai bola.

Lagi-lagi, ini bukan perkara taktik belaka, melainkan juga eksekusi. Dalam beberapa pekan terakhir, para pemain United juga mendapatkan kritik karena mereka memang terlihat buruk dalam mengambil keputusan dan kekurangan determinasi. Bahkan, untuk mengoper saja mereka masih sering salah. Kalau begini, taktik sebagus apa pun juga bakal sulit untuk berjalan.

Alhasil, jadilah United berada di dalam ketidakpastian, seperti berdiri di sebuah limbo. Rangnick memang berhasil menaruh device dalam bentuk taktik yang memungkinkan United untuk mengontrol laga, tetapi bagaimana dengan cara mereka menyerang setelahnya? Kalau sudah begini, mana sebaiknya yang lebih dahulu diperbaiki? Bagaimana dengan duet nomor 10 dalam formasi 4-2-2-2 yang seperti mengebiri peran Bruno yang sebelumnya begitu banyak mendapatkan ruang dan kebebasan? Lalu, bagaimana pula Rangnick mengatasi persoalan individu pemain yang masih suka salah oper dan buruk dalam mengeksekusi hal-hal teknis?

Terlalu banyak pertanyaan, tetapi sepertinya terlalu sedikit waktu untuk membenahinya. Terlebih, Rangnick memang cuma bertugas sebagai pelatih interim.