Ironi Parkir Bus

Ilustrasi: Arif Utama

Beginilah biasanya sepak bola bekerja. Olok-olok selalu muncul dari mereka yang merasa superior dengan cara mengerdilkan mereka yang semenjana.

Football is a game of interpretation. Sepak bola adalah permainan penuh penafsiran.

Di dalam benak Diego Simeone, sepak bola bukanlah urusan yang kudu dijalankan dengan berbelit-belit. Bagi Simeone, cuma ada satu perkara dalam pertandingan sepak bola: Menang. Segala sesuatu yang ia lakukan untuk timnya pada tiap pertandingan cuma untuk berujung pada satu hal, yakni kemenangan.

Simeone tidak percaya dengan keberuntungan. Ia percaya pada kerja keras, ia percaya pada pemain-pemain yang keras kepala. Namun, kerja keras dan kekeras-kepalaan tidak datang dengan sendirinya. Bagi Simeone, dua hal itu bisa diasah, entah pada sesi latihan atau lewat penempaan personal pada tiap pemain.

Dengan begitu jadilah pangkal karakter khas tim Simeone. Semuanya kemudian dibubuhi kedisiplinan dan organisasi permainan yang rapi. Lewat cara itu, Simeone membuat timnya, yang boleh jadi tidak berisikan pemain-pemain paling berbakat, menjadi salah satu yang paling alot.

El Cholo, begitu ia biasa dijuluki sejak masih menjadi pemain, juga tidak percaya bahwa sepak bola hanya menerima satu gaya bermain. Buat dia, sepak bola tak ubahnya sebuah transaksi jual-beli. Kamu bisa mendapatkan barang yang kamu inginkan asal uangmu mencukupi. Jika tidak, masih ada cara lain; entah membeli yang lebih murah, tetapi kualitasnya tak berbeda jauh, atau menunggu sampai uangmu betul-betul cukup.

Simeone sudah menunggu cukup lama untuk menjadi seorang pelatih. Ketika masih menjadi pemain, ia terbiasa membayangkan dirinya memimpin sebuah sesi latihan. Begitu sampai ke rumah, sekembalinya dari pemusatan latihan klub, Simeone mengambil map dan mengimajinasikan dirinya menyusun rencana bagi para pemainnya untuk pertandingan selanjutnya.

Pada ujung hari, rumahnya penuh dengan kertas-kertas yang berserakan. Tiap-tiap kertas berisikan coretan, entah itu gambar formasi atau sekadar catatan. Simeone yang biasa bermain dengan keras itu rupanya cukup terukur. Semua hal ia perhatikan sampai detail-detail terkecil. Kelak, Simeone tua membangun kariernya sebagai pelatih lewat catatan-catatan yang pernah ia kumpulkan tersebut.

Karena percaya bahwa sepak bola bukan hanya milik aristokrat penggemar gaya ofensif dan Cruyffian yang begitu mendewakan space dan ball possession, Simeone bekerja dengan satu-satunya gaya yang ia pahami: Disiplin, keras, tanpa basa-basi, dan persetan dengan penguasaan bola. Kalau kamu yakin timmu bisa menang dengan menjaga bola dari penguasaan lawan, silakan-silakan saja. Jika tidak, kamu masih bisa bertumpu pada cara lainnya.

“Satu-satunya yang tidak bisa dinegosiasikan,” kata Simeone di New York Times, “adalah usaha.”

***

Foto: Twitter @Simeone

Simeone masih ingat betul sore itu. Di sebuah bar di Mar del Plata, sebuah kota di pesisir timur Argentina, ia memesan secangkir kopi dan sepiring croissant. Di sebelahnya, duduk Giuliano, putranya yang waktu itu baru berusia delapan tahun. Simeone memesankannya segelas susu.

Yang terjadi berikutnya adalah percakapan demi percakapan yang boleh jadi cuma muncul dalam ‘Before Midnight’-nya Richard Linklater. Simeone gundah, Giuliano juga. Seraya mencelupkan croissant-nya ke dalam susu, Giuliano menceploskan pertanyaan.

“Apa kamu akan melatih Falcao? Apa kamu akan melawan Messi, melawan Ronaldo? Kalau kamu sukses, jangan-jangan kamu tidak akan pulang lagi.”

Hari itu, Simeone menceritakan kepada Giuliano tentang kemungkinannya kembali ke Madrid untuk menangani Atletico Madrid. Bagi Simeone, ini adalah kesempatan besar. Namun, meninggalkan putranya—dan mungkin saja melewatkan kesempatan untuk melihatnya tumbuh besar secara langsung—bukan perkara gampang.

Tetap saja keputusan berat tersebut ia ambil. Musim panas itu, Simeone bergabung dengan Atletico untuk melatih Falcao, Gabi, dan Diego Godin, serta melawan Messi juga Ronaldo. Bekal Simeone tidak banyak, setidaknya tidak cukup banyak trofi dalam kabinetnya sebagai pelatih. Akan tetapi, gaya bermainnya yang mengandalkan kerja keras dan kedisiplinannya itu sudah meyakinkan para petinggi Atletico untuk mempekerjakannya.

Tahun depan, genap satu dekade Simeone menangani Atletico. Orang-orang bilang, sepak bola modern tidak mengenal ampun buat seorang pelatih dan rasa-rasanya memang benar begitu. Satu-dua bulan timmu jarang meraih kemenangan, kabar bahwa dirimu bakal kehilangan pekerjaan sudah meneror tengkukmu.

Kita terheran-heran melihat Pep Guardiola bakal bertahan sampai tujuh musim di Manchester City karena memang dia tidak biasa melakukannya. Paling banter, Guardiola bertahan tiga atau empat musim. Namun, tidak ada yang membicarakan Simeone bisa bertahan sedemikian lama, terlepas dari naik-turunnya prestasi (dan performa) Atletico.

Bab sepak bola modern seperti sengaja melupakan bahwa di semenanjung Iberia sana ada seorang pria —yang biasanya mengenakan setelan serbahitam— bisa bertahan sedemikian lama meskipun gaya permainan timnya tak seindah timnya Guardiola.

Simeone seperti memberi jari tengah kepada mereka yang berlagak jadi hipster dengan menggemari sepak bola ofensif secara berlebihan, tapi paling-paling cuma bertahan dua-tiga musim di sebuah kesebelasan.

***

Parkir bus. Alih-alih menjadi sebuah bahasan taktis, frasa tersebut lebih terdengar seperti olok-olok.

Manakala sebuah tim bermain ultra-defensif, cap tidak niat main hingga merusak sepak bola berhamburan ke arah mereka. Dalam istilah yang dipopulerkan oleh Jose Mourinho, tim tersebut telah memarkir sebuah bus di daerah pertahanan sebagai upaya untuk menjaga tak ada satu gol pun masuk ke gawang mereka.

Padahal untuk bermain sebagai sebuah unit yang bermain defensif bukan perkara mudah. Simeone paham itu. Tidak ada namanya simsalabim sebuah tim tiba-tiba bisa bertumpuk di depan gawang lalu asal halau bola dan, voila, gawang tim itu aman dari kebobolan.

Sebagai sebuah tim yang acap bermain defensif, Atletico-nya Simeone punya beberapa ciri. Selain disiplin, mereka bermain dengan kerapatan antarpemain yang amat terjaga. Ketika kita berbicara kerapatan, kita berbicara positioning pemain. Dan ketika berbicara soal positioning pemain, kita berbicara soal bagaimana seorang pelatih mengasah pemainnya berulang-ulang di sesi latihan.

Kedisiplinan dalam menjaga posisi, pada akhirnya, tidak sekadar mengandalkan insting belaka. Kalau itu cuma perkara insting belaka, pekerjaan Simeone pasti sudah jauh lebih mudah; jejalkan saja sebanyak-banyaknya pemain di dalam dan sekitar kotak penalti, lantas kalau ada bola datang, buang jauh-jauh.

Di Atletico, Simeone menyusun fase bertahan timnya selayaknya sebuah tim yang acap orang-orang sebut sebagai ‘Parkir Bus’: Ada dua lini yang bertumpuk di kotak penalti dan area di depannya, biasanya masing-masing lini berisikan empat orang. Tidak ada pemain sayap pada fase itu, yang ada adalah wide midfielder. Semuanya berdiri sembari menjaga kerapatan antarpemain.

Area sentral pertahanan Atletico, yang biasanya ditempati oleh dua orang bek tengah, menjadi lokasi bagi para tukang jagal. Simeone biasanya memilih bek-bek tengah yang kokoh secara fisik dan tidak ragu untuk bermain agresif. Bek-bek tengah ini biasanya buta sama sekali mengenai caranya menjadi seorang ball-playing defender karena memang Simeone tidak membutuhkan seorang bek tengah yang bisa membangun serangan dari belakang.

Dalam pembahasan taktis, fase bertahan seperti ini disebut sebagai low-block atau bertahan dengan blok rendah. Karena Simeone acap bermain dengan 4-4-2, dua lini yang mengawal pertahanannya menjadi berisikan masing-masing empat pemain. Namun, tak semua tim yang bermain dengan low-block memiliki bentuk yang sama.

Sebuah tim yang bermain dengan 4-1-4-1 bisa jadi akan bertahan dengan satu lini ekstra. Si gelandang bertahan yang berdiri di depan baris pertahanan bisa menjadi pengawal area sentral, sementara dua orang bek tengah bisa lebih fokus mengawal half-space.

Low-block dengan 4-4-2
Low-block dengan 4-1-4-1


Tifo Football pernah membahas soal low-block ini. Alih-alih melakukan counterpressing seperti yang diperagakan tim-tim ofensif, kata mereka, tim-tim yang memeragakan low-block lebih suka melakukan overload di daerah-daerah penting di daerah pertahanan mereka. Begitu sukses merebut bola, mereka akan melakukan serangan balik bersama-sama.

Itu, tentu saja, bukan perkara mudah. Tim-tim yang berhadapan dengan tim-tim yang bermain dengan low-block biasanya memberikan penawar dengan cara melakukan serangan lewat lima channel (dua tepi lapangan, dua half-space, dan area sentral), lengkap dengan pressing serta operan dan pergerakan tanpa bola yang cepat demi memancing pemain bertahan keluar dari posisinya. Harapannya, dengan begitu shape dan formasi tim yang bermain dengan low-block itu bakal amburadul dan ruang tercipta dengan sendirinya.

Sekarang bayangkan betapa sulitnya menghadapi tim yang bermain dengan gaya menyerang seperti itu. Andai saja tim yang bermain dengan low-block itu sukses merebut bola, tetapi pemain-pemain mereka tak cukup piawai menghadapi presssing lawan, kans untuk melakukan serangan balik bakal sirna. Mereka pun bakal terkungkung sepanjang pertandingan.

***

Ketika melabeli tim yang bermain defensif sebagai tim yang memarkir bus di depan gawang mereka, Mourinho tengah memiliki kemewahan. Ketika itu, pada September 2004, ia sedang menangani Chelsea yang disesaki pemain-pemain macam Frank Lampard, Joe Cole, Damien Duff, Arjen Robben, hingga Didier Drogba. Komposisi tim The Blues cukup bagi Mourinho untuk memeragakan sepak bola ofensif.

Namun, begitulah biasanya sepak bola bekerja. Olok-olok selalu muncul dari mereka yang merasa superior dengan cara mengerdilkan mereka yang semenjana. Manakala tim yang lebih inferior bertindak di luar dugaan tim yang (merasa) lebih superior, si tim yang (merasa) lebih superior itu bakal meluapkan kekesalan dengan berbagai macam rupa.

Ini adalah arogansi khas mereka yang mendewakan sepak bola ofensif, seolah-olah mereka adalah Tuhan dan tim lawan adalah kacung.

Namun, sulit untuk mengerdilkan sepak bola menjadi satu dimensi belaka. Mourinho adalah pelatih yang pragmatis, dalam artian ketika timnya bisa bermain ofensif, dia akan melakukannya. Namun, ketika timnya tak cukup memiliki amunisi untuk menyerang, Mourinho tidak bakal ragu bermain defensif.

Ketika memopulerkan istilah ‘Parkir Bus’ tersebut, Mourinho tengah kesal kepada Tottenham Hotspur yang tampil defensif di hadapan Chelsea. Lima belas tahun setelah itu, Mourinho justru menemukan dirinya sedang menangani tim asal London Utara tersebut.

Lantas, apakah selama menangani Tottenham itu Mourinho selalu memainkan sepak bola ofensif dari satu pertandingan ke pertandingan lainnya selama 90 menit? Hmmm…