Kalvin Phillips: Di Antara Kain Wool dan Pluto

Foto: Instagram @kalvinphillips.

Jika Marcelo Bielsa adalah ilmuwan sinting, Kalvin Phillips adalah salah satu mahakaryanya yang paling besar. Dari kain wool mentah, Bielsa mengolahnya sampai jadi sebuah pakaian mahal.

Segala puja dan puji untuk Kalvin Phillips memperlihatkan dua hal: Bahwa ia memang betul-betul hebat dan bahwa orang-orang Inggris gampang sekali gumun.

Phillips, kata orang-orang Inggris itu, adalah ‘The Yorkshire Pirlo’ alias Andrea Pirlo dari Yorkshire. Sebagian lainnya kemudian memilih untuk bertindak ngelunjak dengan menyamakan Phillips tidak hanya dengan Pirlo, tetapi juga dengan Gennaro Gattuso dan Kaka.

“Dia bukan cuma Pirlo dari Yorkshire, dia seluruh lini tengah Milan.”

Mudah saja menyama-nyamakan Phillips dengan Pirlo. Secara peran, keduanya sama-sama mengontrol lini tengah dari kedalaman. Phillips di Leeds United, Pirlo di AC Milan. Namun, melihat dengan mata telanjang pun kamu tahu bahwa arketipe keduanya betul-betul bertolak belakang.

Pirlo yang sepertinya lahir dengan berkah keeleganan itu mengolah bola dengan halus. Hanya dengan melihatnya menggiring dan melepaskan operan, kamu langsung bisa membayangkan apa yang ia lakukan begitu sore menjelang: Duduk di sebuah kebun dengan setelan kemeja merlot dan menyesap segelas anggur.

Phillips, sementara itu, lahir dan besar di Leeds, Yorkshire Barat. Entah bagaimana, hanya dengan melihatnya kamu langsung tahu bahwa segala hal yang direpresentasikan Leeds terkubur dalam-dalam pada tiap jengkal urat dan nadinya. Seperti halnya Leeds, Phillips adalah produk dari sebuah kerja keras.

Jauh sebelum revolusi industri meletup, Leeds sudah lebih dulu dikenal sebagai penghasil wool. Mereka bersaing dengan kota tetangga, Manchester, yang lebih terkenal dengan katun—membuat Manchester dulu dijuluki sebagai ‘Cottonopolis’. Sebagai sebuah kota industri, Leeds lebih lekat dengan arang dan abu pabrik, bukan kebun anggur yang ranum.

Pada abad ke-19, ketika roda revolusi industri berputar, Leeds menjadi salah satu pusatnya. Dari yang tadinya sekadar bergantung pada produksi wool, Leeds kemudian mengolahnya menjadi pakaian-pakaian jadi. Dari situ, lahirlah industri tekstil.

Leeds kemudian berkembang. Kepadatan penduduk bertambah, tetapi diiringi dengan ekonomi yang meroket. Sebagai dampak, teknologi pun ikut mereka jamah demi memuluskan proses produksi dan distribusi barang. Alhasil, muncullah Kanal Leeds-Liverpool pada 1816 serta jalur-jalur kereta api.

Inovasi Leeds tidak berhenti sampai di situ. Ketika industri kian maju, pabrik-pabrik di Leeds mulai membuat mesin-mesin, termasuk mesin uap. Industri lain selain tekstil pun ikut mereka jajaki, mulai dari bahan kimia hingga proses pembuatan tembikar.

Melihat asal-usul Leeds, seperti itu jugalah rasa-rasanya Phillips terbentuk. Ketika Marcelo Bielsa datang sebagai pelatih, Phillips masihlah produk wool mentah. Namun, sejengkal demi sejengkal, Bielsa mengolah dan menjahit dengan tangannya sendiri hingga menjadikan Phillips seperti sebuah pakaian mahal.

Bagi Bielsa, Phillips adalah proyek pribadinya. Ia berjanji bahwa suatu ketika, pemain 25 tahun itu bakal menjadi anggota Timnas Inggris. Namun, untuk sampai ke sana, ada jalan-jalan berliku yang mesti dilalui. Beberapa pertandingan pertama Leeds ketika ditangani Bielsa, dengan Phillips berperan sebagai mesin utamanya, masih jauh dari kata meyakinkan.

Bahkan, Phillips sendiri sempat bertanya-tanya akan apa ekspektasi Bielsa terhadapnya. Ia memang bukannya tidak tahu pelatih seperti apa si El Loco satu itu. Malah, karena sudah mendengar dan mengetahui gaya bermain Bielsa, Phillips mengira dia bakal mendapatkan peran sebagai gelandang sapu jagat dengan peran sebagai seorang box-to-box.

Namun, Phillips kaget begitu bertemu Bielsa. Pelatih asal Argentina tersebut melihat Phillips sebagai “pemain nomor 4” yang artinya dia bakal menjadi jangkar sekaligus pangkal permainan tim. Dalam kamus Bielsa, seorang “pemain nomor 4” tidak hanya harus memiliki endurance (ketahanan), fisik, dan stamina yang mumpuni untuk meng-cover area yang luas, tetapi juga kecerdasan dan visi.

Kalau untuk sekadar fisik dan stamina, Phillips memang memilikinya. Namun, lain soal dengan kecerdasan dan visi. Buat Bielsa, Phillips adalah kunci. Gigi serangan Leeds berubah manakala Phillips menguasai bola. Namun, untuk membuat pemain sepenting itu, Bielsa mesti menghabiskan banyak waktu untuk mengajari dan mengasahnya.

Menurut Adam Crafton di The Athletic, Bielsa biasa menghabiskan banyak waktu dengan Phillips ketimbang pemain-pemain lainnya. Sebagai pelatih yang amat memerhatikan detail, Bielsa biasa menghabiskan waktu 15 menit dengan masing-masing pemainnya sehari sebelum pertandingan untuk memberikan penjelasan. Namun, dengan Phillips, waktunya bisa lebih lama lagi.

Sebagai pelatih yang obsesif—bahkan sampai memerhatikan massa tubuh dan massa tulang pemain—, Bielsa mengajari Phillips soal pergerakan tanpa bola dan penempatan posisi. Di lain waktu, dia bakal mengajari Phillips bagaimana caranya mendikte tempo, membaca permainan, dan mengasah visi permainan.

Tidak cukup sampai di situ, Bielsa juga mengajari Phillips mengenai bagaimana caranya melakukan switch play serta kapan waktunya melakukan break-up play dan kapan waktunya melakukan drop back ke lini belakang untuk mengawali serangan bersama kedua orang bek tengah. Namun, ia juga tidak lupa mengingatkan Phillips bahwa tidak ada salahnya mengambil risiko ketika menguasai bola.

Pluto

Bielsa, lewat penggambaran pemain-pemain yang ia tangani, mirip seperti ilmuwan sinting. Gelandang Leeds, Mateusz Klich, mengaku tidak bisa macam-macam dengan diet ketat yang dibelakukan Bielsa dan stafnya. Jangan harap kamu bisa nyeleweng makan fast-food walau cuma satu kali karena mereka bakal mengetahuinya.

Klich mengungkapkan bahwa tiap kali bakal menjalani tugas kenegaraan—membela Timnas Polandia—beratnya bakal ditimbang. Begitu kembali ke Leeds, ia akan ditimbang kembali untuk memastikan beratnya tidak bertambah. Oleh karena itu, Klich tetap tidak bisa macam-macam meskipun sedang berada jauh dari klub.

Bagaimana Bielsa membangun pemain-pemainnya, terutama Phillips, mengingatkan saya akan Dr. Tenma dalam manga karya Naoki Urasawa, ‘Pluto’. Dalam reimajinasi dari karya masyhur Osamu Tezuka, ‘Astro Boy’, tersebut, Urasawa mengambil salah satu arc paling akbar dari ‘Astro Boy’, yakni ‘The Greatest Robot in The World’.

‘Pluto’ berbicara soal banyak pergulatan, mulai dari sisi humanis robot yang semestinya tidak memiliki emosi hingga bagaimana mereka berusaha sebisa mungkin mengimitasi manusia supaya bisa berbaur. Dr. Tenma, pencipta Atom, robot dengan kecerdasan buatan paling canggih di dunia, lantas bermimpi bisa membuat robot paling sempurna di dunia.

Pluto berhadapan dengan Atom pada sebuah panel dalam manga 'Pluto'.

Baginya, robot yang sempurna bukanlah yang memiliki kecerdasan buatan paling canggih, melainkan bisa berkehendak seperti seorang manusia. Oleh karena itu, ia memasukkan beragam sifat dan emosi yang biasa tertanam dalam manusia. Sial, pada ujung percobaan, robot bikinannya malah tak mau bangun sama sekali karena kesulitan mencerna ribuan sifat dan emosi tersebut.

Ketika Dr. Tenma memasukkan rage (amarah) sebagai salah satu faktor emosi ke dalam sang robot ciptaan, barulah ia terbangun. Namun, yang terjadi selanjutnya adalah pangkal dari bencana terbesar dalam sejarah robot dan sains bernama Pluto.

Bielsa, pada akhirnya, memang serupa Dr. Tenma. Namun, apakah Phillips adalah Pluto atau bukan baru akan terjawab kelak. Yang jelas, Phillips tidak hanya memiliki kecerdasan dan keliatan, tetapi juga daya destruktif yang membuatnya sulit untuk disama-samakan dengan Pirlo.

Jika pada akhirnya Inggris mencapai kesuksesan dengan Phillips sebagai salah satu kuncinya, ingatlah bahwa di baliknya ada pengaruh besar Dr. Tenma… Maaf, maksud saya Marcelo Bielsa.