Karena Sepak Bola Juga Butuh Direktur

Foto: @leonsfdo

Lebih dari sekadar pengatur transfer, pengikat kesepakatan dengan sponsor, dan penghubung manajemen dengan tim, direktur sepak bola adalah orang yang mempersiapkan klub menghadapi kesempatan dan mengantisipasi kejatuhan.

Bintang meledak, waktu bergerak, sepak bola menggebrak. Olahraga ini bertumbuh, enggan disebut sebagai permainan bodoh dan kekanakan lagi. Kini ia memikul tanggung jawab yang berulang kali memaksanya berlindung di balik prinsip world against us.

Taktik di ranah sepak bola tak cuma dipakai untuk memenangi laga final. Orang-orang sepak bola mesti memikirkan cara untuk beradu di bursa transfer, merawat identitas, membesarkan anak-anak muda, memastikan tim tak takluk di bawah kaki industri, dan mampu meraup keuntungan. Untuk segala tujuan itu, sepak bola mengangkat seorang direktur.

Namanya director of football, direktur sepak bola. Sebagian lagi menyebutnya technical director (direktur teknis), ada pula yang menamainya sebagai sporting director (direktur olahraga). 

Perihal penamaan jabatan terkadang memang membingungkan. Terlepas dari perbedaan tersebut, klub sepak bola juga serupa perusahaan lainnya. Penamaan dan tugas spesifik suatu jabatan bisa berbeda, tergantung apa yang menjadi kebutuhan mereka. Yang pasti, ketiga direktur ini ada dalam jajaran direksi sepak bola klub.

***

Langit merah membayang-bayangi orang-orang Manchester Timur selama puluhan tahun. Mereka terpuruk, menjadi olok-olok selama turun-temurun. Mungkin tetangga mereka yang masyhur itu peduli setan dengan keterpurukan mereka. 

Namun, adakah yang lebih buruk ketimbang bertatapan dengan pandangan mengejek setelah orang itu melihat orang yang berdiri di sebelahmu? Ketika Manchester United mendulang kesuksesan selama dua dekade lebih, Manchester City hanya bisa mengungkit yang sudah lalu untuk sekadar bertahan hidup.

Lantas pada 2008 konglomerat Abu Dhabi, Sheikh Mansour, datang ke tanah suram ini. Di sanalah ia menggelontorkan uang yang sepertinya tidak bakal habis selama tujuh turunan. Akan tetapi, Sheikh Mansour enggan sekadar mengangkat City dari keterpurukan. Begitu bisa berdiri, City dibentuknya menjadi tanah untuk meletakkan masa depan yang sedang dibangunnya.

Itulah sebabnya yang dibutuhkan City bukan hanya romantisme dari para suporter. Kepemimpinan Sheikh Mansour adalah kepemimpinan yang mengenyahkan puja-puji terhadap sejarah sekalipun sejarah itu adalah gelar juara. Ini waktunya City menjadi bagian dari masa depan, bukan masa lalu.

Karena tak hanya ingin menjadi klub yang bertabur pemain bintang tetapi juga membangun masa, City tak bisa memperlakukan sepak bola sebagai permainan masa lalu. Sepak bola Inggris pernah hidup dalam era ketika manajer (yang juga bertindak sebagai pelatih) sebagai pengambil keputusan. 

Misalnya adalah Arsene Wenger yang mulai menjabat sebagai Manajer Arsenal pada 1996. Dalam masa kepemimpinannya, apa yang tak diurus Wenger? Bahkan Wenger menjadi salah satu orang yang paling bertanggung jawab terhadap keuntungan klub, terutama dari bursa transfer. 

Sebenarnya manajer sepak bola tidak hanya bertanggung jawab untuk mengurus tim utama. Ia juga harus mengelola tim muda, serta berkoordinasi dengan jajaran kepelatihan. Bayangkan betapa rumitnya urusan pelatih kepala atau manajer karena harus mengurusi hal teknis dan non-teknis.

Jika dirinci, klub sepak bola profesional--terlebih di era modern--ditopang oleh dua struktur: Manajemen dan kepelatihan. Keduanya harus seirama sehingga gerak klub tetap harmonis. Seorang pelatih kepala atau manajer konvensional seperti Wenger atau Sir Alex Ferguson mungkin paham luar biasa tentang sepak bola dan taktik. Namun, belum tentu dengan aspek industrinya. 

Sir Alex merupakan salah satu manajer yang bisa menangani ini. Ia sudah melalui segalanya sejak kedatangannya di Old Trafford. Kenyataannya, tidak semua orang mampu dan bisa menjadi seperti Sir Alex. Maka dari itu, mengapa tidak mencari orang lain saja ketimbang menunggu seorang pelatih menjadi Sir Alex berikutnya? 

Sheikh Mansour menjalankan ide ini dengan mengangkat Brian Marwood sebagai direktur sepak bola.  Apes, Marwood malah bentrok dengan manajer City saat itu, Roberto Mancini. Katanya, Mancini tak setuju dengan kebijakan transfer ala Marwood. Begitulah, salah satu tugas terpenting direktur sepak bola adalah mengurusi transfer.

Konflik tersebut memang cukup rumit, tetapi bukan berarti perkara luar biasa. Akibatnya Mancini angkat kaki dari City, sedangkan Marwood diserahkan tanggung jawab mengurus akademi. Sheikh Mansour pada akhirnya kembali mendapat momentum untuk mendatangkan incaran klub sejak dulu, Txiki Begiristain. Ia akan menjadi kombinasi yang tepat untuk menjadi tandem manajer yang juga menjadi incaran City, Pep Guardiola.

Keduanya bekerja sama di Barcelona. Begiristain menjabat sebagai direktur sepak bola, sedangkan Guardiola adalah manajer. Begiristain juga dikenal sebagai mentor Guardiola. Karena itu, memadukan keduanya di City dipandang sebagai keputusan brilian.

Pada akhirnya yang terlihat adalah City yang sekarang kita kenal. City tidak hanya memiliki taktik, pemain, dan pelatih yang membuat lawan-lawan pening. Ketiga hal itu berjalan dalam satu sistem yang jelas. 

Sistem tersebut dibangun oleh direktur sepak bola. Begiristain adalah jembatan antara manajemen dan lapangan. Ia bertugas untuk merancang sistem yang membuat tim dapat menghidupi sepak bola yang sesuai dengan filosofi klub. 

Setiap keputusan tim, termasuk transfer, harus sesuai dengan filosofi dan tujuan klub. Jika City menginginkan sepak bola A, pemain dan pelatih yang dipilih harus sesuai dengan sepak bola A. Jadi, tidak asal comot, menyesuaikan visi dengan pemain dan pelatih yang ada. Pemain dan pelatih yang didatangkan harus layak dimasukkan ke pos aset, bukannya beban.

Dengan begini, risiko kerugian klub akan berkurang. Bayangkan jika penampilan klub carut-marut karena tidak ada sistem yang jelas. Di era modern, kekalahan tidak sekadar kehilangan poin, tetapi juga kehilangan pundi-pundi uang. 

Peran dan tanggung jawab yang bermuara pada untung rugi secara finansial membuat sejumlah klub lebih memilih untuk menunjuk direktur sepak bola yang memiliki latar belakang di dunia bisnis. Contohnya adalah Raul Sanllehi yang pernah mengemban peran itu di Arsenal. Sebelum bergabung dengan Arsenal, Sanllehi bekerja selama 10 tahun untuk Nike. 

Pun demikian dengan Marina Granovskaia yang sama sekali tidak memiliki latar belakang sebagai pesepak bola. Perjalanan Granovskaia mulai terendus pada 1997 ketika ia bekerja di Sibneft, perusahaan minyak yang dulu dimiliki oleh Abramovich. Beberapa saat setelah Abramovich mengakuisisi Chelsea, ia pindah ke Stamford Bridge. 

Ketika itu ia berperan sebagai manajer aset Abramovich. Kualitas sebagai manajer membuatnya mendapat kepercayaan sebagai perwakilan Abramovich. Singkat cerita, Granovskaia mulai mengisi kursi eksekutif pada 2013. 

Setahun kemudian, ia diganjar jabatan sebagai Direktur Chelsea. Dalam laman resmi Chelsea, tidak disebutkan jabatan direktur apa yang diemban oleh Granovskaia. Namun, melihat pencapaiannya selama bertugas, peran yang diembannya sangat menjurus ke direktur sepak bola.

Granovskaia adalah otak di balik aktivitas transfer Chelsea. Bahkan sebelum diserahi tugas sebagai direktur, dialah yang menjembatani kesepakatan Chelsea untuk kembali mendatangkan Jose Mourinho pada 2013. Berhitung mundur lagi hingga 2007, Granovskaia merupakan salah satu inisiator untuk memindahkan pusat latihan Chelsea ke Cobham. Langkah tersebut tak keliru karena pusat latihan tersebut menjadi salah satu yang terbaik di dunia hingga sekarang.

Pencapaian Granovskaia bukan cuma tentang transfer meski itu adalah tanggung jawabnya. Sosok berjuluk The Iron Lady ini juga menjadi dalang keberhasilan Chelsea mengikat kerja sama dengan Nike selama 15 tahun sejak 2017. Kesepakatan ini mengganjar Chelsea dengan guyuran poundsterling. Dalam semusim, The Blues akan menerima pemasukan sebesar 60 juta poundsterling. 

Meski demikian bukan berarti direktur sepak bola sukses bukan hanya berasal dari kalangan profesional dan bisnis. Begiristain merupakan salah satu contohnya. Sebelum menjadi Direktur Sepak Bola Barcelona, ia berstatus sebagai pemain Blaugrana

Ramón Rodríguez Verdejo alias Monchi turut membuktikan bahwa seseorang dengan latar belakang sepak bola murni juga dapat menjadi direktur sepak bola papan atas. Monchi bahkan dikenal sebagai transfer guru karena keputusan-keputusannya yang brilian. Sebagai Direktur Sepak Bola Sevilla, Monchi mengemban dua tugas utama: Pembinaan pemain muda dan mengimplementasikan sistem pencarian bakat sehingga klub dapat menemukan pemain-pemain potensial.

Dalam praktiknya, Monchi melihat apa yang tidak dilihat oleh orang lain. Monchi setidaknya berhasil membangun 700 jaringan pencarian bakat yang dapat membantu Sevilla menemukan berlian yang belum terekspos. Dengan sistem semacam ini, Sevilla tidak perlu mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk membeli pemain-pemain yang diyakini memiliki masa depan yang baik.

Contoh lainnya adalah Direktur Olahraga Borussia Dortmund, Michael Zorc. Pensiun sebagai pemain Dortmund pada 1998, Zorc kembali melanjutkan masa baktinya sebagai direktur olahraga klub itu. Kinerjanya membentuk Dortmund menjadi salah satu sarang terbaik bagi para pemain muda. 

Dengan memiliki sistem pembinaan pemain muda yang mumpuni, Dortmund memiliki talenta yang dapat diandalkan di masa depan. Tak cuma itu, filosofi sepak bola klub akan terjaga. Mereka yang dididik di sistem Dortmund sejak muda akan dicekoki dengan filosofi Dortmund. Ketika mereka mentas di level profesional bersama Dortmund, sepak bola yang keluar dari kaki anak-anak muda ini adalah sepak bola Dortmund. 

Tentu saja Zorc berandil dalam kesepakatan Dortmund dengan Juergen Klopp dan empat pelatih lainnya. Jadon Sancho? Pemuda Inggris ini menjadi salah satu bukti kecerdikan Zorc sebagai direktur olahraga. Kiprah Zorc tak sampai di situ. Pendekatan personal yang tepat yang dilakukannya bersama sang CEO, Hans-Joachim Watzke, menutup bursa transfer musim dingin 2020 dengan kepindahan Erling Haaland ke Signal Iduna Park. 

Zorc yang menghabiskan 17 tahun hidupnya sebagai pemain Dortmund memiliki strategi jitu dalam menjalankan pembinaan pemain muda. Ia memastikan tim-tim muda Dortmund bermain dengan sistem yang menyerupai sistem tim senior. Dengan begitu, Dortmund berpotensi memiliki pemain yang dididik sebagai sebagai pemain Dortmund sejak muda. 

Kalau bergabung di tim senior, mereka tidak akan membutuhkan waktu lama untuk beradaptasi. Selain itu, sistem seperti ini membuat klub memiliki visi dan road map yang jelas. Pemain yang didatangkan ke tim inti akan sesuai dengan kebutuhan tim. Pemborosan bisa diminimalkan, keuntungan dan kejayaan menjadi perkara yang layak dikejar Dortmund.

****

Direktur sepak bola mungkin membuat klub terlihat seperti komplotan mata duitan yang membuang sejarah. Namun, untuk merawat sejarah, setiap klub perlu menjadi modern dan meninggalkan--atau setidaknya mengadaptasi--cara lama yang mereka pakai. 

Itulah sebabnya Manchester United kini sering dikritik karena keengganan mereka memiliki direktur sepak bola. Kalaupun ada orang yang diharapkan mengambil peran itu dalam manajemen, fungsinya tidak efektif dan hanya terlihat seperti direktur bayangan.

Di balik segala tumpukan tanggung jawabnya, direktur sepak bola adalah tameng yang melindungi klub agar tidak tergerus zaman. Sepintas, modernisasi terlihat menyenangkan. Namun, bagi mereka yang tidak siap, modernisasi adalah malapetaka. 

Setiap kali mendapat kesempatan, mereka yang tidak siap akan tersandung oleh kesempatan itu sendiri. Setiap kali mereka merasa memiliki harapan, harapan tersebut akan langsung sirna. 

Lebih dari sekadar pengatur transfer, pengikat kesepakatan dengan sponsor, dan penghubung manajemen dengan tim, direktur sepak bola adalah orang yang mempersiapkan klub menghadapi kesempatan dan mengantisipasi kejatuhan.