Kehilangan Piala Dunia

Foto: Instagram @fifaworldcup.

Tak ada lagi sukacita saat pesta sepak bola terakbar berdendang.

Jika memiliki mesin waktu, aku ingin kembali menyaksikan Piala Dunia 2002, bukan Piala Dunia 2022 Qatar.

Ingatan soal awal mula aku mengenal Piala Dunia masih melekat meski tidak sepenuhnya utuh. Salah satu ingatan paling jelas ketika Aep Saepudin membeli poster jadwal pertandingan Piala Dunia 2002 yang harus aku tempel di depan meja belajar.

Aep meminta aku menuliskan skor semua pertandingan. Setelah fase grup beres, aku wajib mengisi tim mana saja yang lolos dan berlaga di babak 16 besar. Tidak boleh salah. Kalau salah, uang saku terancam berkurang.

Aku tidak tahu tujuan Aep melakukan itu semua. Yang aku tahu, Aep ingin menyaksikan semua laga Piala Dunia 2002 bersama-sama di televisi berukuran 14 inci berwarna kuning merek Konka. Televisi yang imut dan sangat bersejarah buatku.

Setelah pertandingan usai, aku sibuk mencari pulpen dan menulis hasil pertandingan. Itu rutin aku lakukan seusai menonton laga demi laga Piala Dunia 2002. Jika aku terlewat karena tertidur saat laga sedang berlangsung, Aep akan mengingatkan esok harinya.

Sungguh menyebalkan bukan? Kenapa tidak Aep sendiri yang mengisi kolom skor? Kenapa harus dibebankan kepada aku yang saat itu masih berusia tujuh tahun? Semua pertanyaan itu masih menjadi misteri. 

Oh, iya, Aep adalah ayahku. Ia sudah menyukai sepak bola sejak kecil. Meski tidak pernah betul-betul ingin menjadi pesepakbola profesional, ia selalu melewatkan akhir pekan dengan menonton sepak bola. Apalagi, laga Piala Dunia.

Selain Persib, aku sebenarnya tidak tahu Aep mengidolakan klub mana lagi. Namun, saat Piala Dunia 2002, aku mengetahui hal besar: Aep sangat menyukai Timnas Brasil. Saking sukanya, Aep seolah-olah memaksaku menjadi fan Brasil.

Kata Aep, Brasil adalah kesebelasan paling mengasyikkan. Pemain Brasil lincah-lincah. Seru untuk disaksikan. Belum lagi, rambut Ronaldo Nazario sangat nyentrik. Selain deretan alasan tersebut, sepertinya, Aep ingin menjagokan skuad yang memang jadi unggulan. Hehehe.

Pada akhirnya, aku betulan mendukung Brasil. Karena itu, aku dan Aep jarang beradu mulut. Kami benar-benar bersatu. Kami benar-benar menikmati setiap gol yang dicetak Brasil. Kami benar-benar merayakan kemenangan Brasil dengan semangkuk baso tahu.

Ketika Brasil menembus babak final, kami senangnya minta ampun. Aep mengajakku bersama keluarga besar pergi ke Ciater Subang untuk menyaksikan laga Brasil vs Jerman sambil berendam di kolam air panas. Ajakan yang sangat menggiurkan.

Aku yakin, sebagian dari kita, sudah tahu apa hasil akhir Piala Dunia 2002. Yapss, Brasil menang dua gol tanpa balas. Ronaldo jadi pahlawan. Kami tentu saja bersukacita. Sepanjang perjalanan Subang-Bandung, kami membicarakan keberhasilan Brasil.

Setiba di rumah, aku langsung menyelesaikan tugas dari Aep: Menulis hasil final di poster Piala Dunia 2002. Jika saat itu media sosial sudah ramai seperti sekarang, aku dan Aep mungkin akan memotret dan mengabadikannya.

***

Hidup adalah serangkaian kejutan yang mesti dilalui. Harapan dan rencana pun menjauh dan memudar karena tuntutan realitas selalu mengacaukan ingatan.

Aku tidak mengingat betul perjalanan sepak bola setelah Piala Dunia 2002 berlangsung. Hingga akhirnya, Piala Dunia 2006 siap berlaga. Dan aku tidak antusias menyambutnya. Bukan karena sudah tidak menyukai sepak bola, melainkan Aep jatuh sakit dan harus bolak-balik rumah sakit.

Pada awal 2006, kesehatan Aep memburuk. Aku tidak tahu apa penyebabnya. Yang aku ingat, Aep baru menjalani operasi usus buntu. Setelah itu, kabar kesehatan Aep ditutup rapat-rapat oleh mamah dan nenekku. Semua bungkam soal kondisi Aep.

Seperti anak berusia 11 tahun lainnya, aku hanya mempedulikan sekolah dan bermain. Tidak pernah terbesit bahwa Aep sedang berhadapan dengan kematian. Toh, Aep masih berusia 36 tahun. Masa iya, sih, Aep pergi buru-buru dari dunia untuk selama-lamanya. 

Aep berjuang sekeras-kerasnya, setangguh-tangguhnya, melawan penyakit di dalam tubuhnya. Namun, Tuhan berkata lain. 24 Maret 2006, Aep meninggal dunia.

Kematian Aep membuatku terhanyut dalam kesedihan. Hidupku tidak lagi indah. Semua gelap gulita. Piala 2006? Hilang begitu saja. Itu pun terjadi dengan Piala Dunia-Piala Dunia berikutnya. Sepertinya, aku memang tidak bisa menikmati Piala Dunia tanpa ada yang mengingatkan dan menemani. Mamah? Ia bukan penggila sepak bola seperti Aep.

Enam belas tahun setelah Aep meninggal dunia, aku baru menyadari bahwa Piala Dunia 2002 menjadi Piala Dunia pertama dan terakhir bersama Aep. Aep yang mengenalkan, tapi Aep juga yang menjauhkan.

Sebetulnya, aku masih bisa menyaksikan Piala Dunia-Piala Dunia selanjutnya. Namun, kenangan-kenangan akan Aep sungguh menyesakkan. Jika tidak bekerja sebagai pewarta sepak bola, rasa-rasanya aku tidak mau mengikuti Piala Dunia 2018. Sejak kepergian Aep, Piala Dunia tak pernah lagi sama. Piala Dunia memang terus hadir, tapi seperti hilang bagiku. 

***

Piala Dunia 2022 sudah berada tepat di depan pintu. Namun, aku hanya membaca banyak hal kontroversi soal penyelenggaraannya. Dari deretan nada-nada sumbang, aku hanya menyoroti soal kabar kematian pekerja pembangunan infrastruktur Piala Dunia 2022 Qatar.

Setelah membaca kabar itu, meski jumlah pekerja yang meninggal dunia belum ada yang benar-benar pasti, aku membayangkan berapa banyak orang yang kehilangan Piala Dunia.

Bagaimana dengan nasib keluarga pekerja itu? Apakah mereka akan tetap menyambut pesta sepak bola terakbar dengan sukacita?

Satu yang aku yakini, mereka benar-benar kehilangan Piala Dunia selama-lamanya. Mereka bakal menyahut Piala Dunia-Piala Dunia selanjutnya dengan dukacita, air mata, dan kenangan-kenangan yang menyesakkan. Sama seperti aku, Aep, dan Piala Dunia 2002.