Kekuatan Bergamo

Foto: Twitter @Atalanta_BC.

Bergamo adalah tanah yang kuat dan kekuatan mereka bersumber dari orang-orang yang tepat dalam mereorganisasi benang kusut.

Tidak pernah terlintas di pikiran Giorgio Gori mimpi terburuk itu menjadi kenyataan. Tiga minggu sebelumnya, sang Wali Kota Bergamo ada di Milan, menyaksikan Atalanta berlaga di Liga Champions 2020/21 melawan Valencia. 

19 Februari 2020, sekitar 40.000 orang Bergamo berkumpul di Milan. Penggunaan San Siro dilakukan karena kandang Atalanta, Stadion Gewiss (juga dikenal dengan Stadion Atleti Azzurri d'Italia), sedang direnovasi. Orang-orang Bergamo peduli setan, di mana pun tempatnya, mereka bersedia datang. Terlebih, pertandingan itu masih bisa dihelat di region Italia yang sama, Lombardy.

Perjalanan sejauh 40 kilometer adalah harga yang benar-benar pantas dibayar untuk mewujudkan mimpi tersebut. Orang-orang Bergamo masih tak peduli-peduli amat dengan ancaman virus corona yang mulai memunculkan taringnya di belahan Eropa lain.

Laga Atalanta melawan Valencia berjalan sebagai euforia yang menggila. Atalanta, sang penyusup terbesar, menunjukkan bahwa panggung Liga Champions juga milik mereka. Hans Hateboer, bek Belanda, membuka keran gol Atalanta pada menit 16. Tribune bergemuruh saat Josip Ilicic dan Remo Freuler menambah keunggulan. Lantas ketika Hateboer mencetak gol lagi pada menit 62, tiba-tiba San Siro seperti akan terangkat dari tanah.

Empat gol di Liga Champions? Tak ada orang waras, bahkan suporter Atalanta sendiri, yang berani membayangkannya. Kalau begini ceritanya, selain bandar-bandar judi yang gagal total dalam pertaruhan, siapa pula yang tidak larut dalam euforia?


Bagi Gori, petir yang menyadarkannya akan kenyataan buruk itu tidak datang di siang bolong, tetapi pada 5 Maret 2020 pukul 23.00 lewat sebuah surel. Seorang pejabat kesehatan daerah yang bahkan tidak dikenalnya menulis sebuah pesan: "Bapak Wali Kota Gori, saya ingin Anda mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi." Surel itu memaparkan bahwa sebenarnya kondisi Bergamo sangat buruk. APD hampir kandas, rumah sakit penuh sesak bahkan hampir lumpuh karena pasien yang membeludak.

Laga Atalanta melawan Valencia dianggap sebagai titik mula penyebaran virus corona di Eropa. Anggapan itu wajar karena setelah laga berakhir pun, entah berapa ribu orang, termasuk Gori, berkumpul di luar stadion untuk membicarakan pertandingan. Orang-orang Italia menganggap orang-orang Bergamo sebagai penjahat. Mereka dicap sebagai biang kerok bencana yang mencengkeram Italia, malapetaka yang merenggut nyawa ribuan orang.

Bom biologis. Itulah frasa yang digunakan seorang pakar kesehatan terhadap pertandingan Atalanta melawan Valencia.

Kebangkitan Bergamo mulai terasa ketika mereka berhasil mereorganisasi fasilitas kesehatan yang hampir ambruk. Contohnya adalah yang dilakukan Rumah Sakit ASST Papa Giovanni XXIII atau dikenal sebagai Rumah Sakit Umum Bergamo. Tindakan pertama yang dilakukan adalah mengatur agar Unit Penyakit Menular hanya merawat pasien COVID-19, sementara pasien lain dipindahkan atau jika memungkinkan, dipulangkan. Unit COVID-19 terpisah dibuat di Departemen Penyakit Dalam, Bedah Dewasa, Bedah Pediatri (Bedah Anak), ICU, Ruang Semi-intensif, dan Ruang Gawat Darurat.

Frontiers in Medicine Journal memaparkan, 498 dari 779 tempat tidur dialokasikan untuk pasien COVID-19 pada 28 Maret 2020. Dari jumlah tersebut, 92 orang dirawat di ICU dan 12 orang ditempatkan di area kritis sub-intensif. Tujuh puluh persen staf dokter secara bertahap didistribusikan kembali ke unit virus corona, terlepas dari spesialisasinya. Pada 30 Maret 2020, lebih dari 400 dokter, 900 perawat, dan teknisi didedikasikan khusus untuk unit COVID-19. 

Rerata pasien COVID-19 di Rumah Sakit Umum Bergamo. Grafik dan sumber data: Frontiers in Medicine Journal: 'Bergamo and Covid-19: How the Dark Can Turn to Light'

Seratus dua belas dokter baru, 102 perawat, dan teknisi juga dipekerjakan selama keadaan darurat. Secara paralel, beberapa pertemuan pelatihan--mulai dari tatap muka hingga daring--diadakan setiap hari untuk membahas penggunaan dan kebutuhan alat pelindung diri (APD), serta cara merawat pasien COVID-19 secara efektif dan aman dengan fokus khusus pada pengelolaan insufisiensi pernapasan dan penggunaan dukungan ventilasi non-invasif.

Bergamo juga mengerahkan para pulmonolog, radiolog, dan spesialis lain untuk bekerja sama untuk mengatasi lonjakan pasien, terlebih yang datang secara tiba-tiba. Mereka pula yang secara bergilir memantau progres dan kondisi pasien COVID-19.

Reorganisasi ini ternyata efektif. Pada akhir Maret 2020, tren kunjungan pasien COVID-19 ke UGD mulai menurun. Pada April 2020, reratanya mencapai 32 orang per hari dan Mei 2020 menurun menjadi 18 orang per hari. Bandingkan dengan rerata kunjungan pasien COVID-19 ke UGD pada kurun 14-18 Maret 2020 yang mencapai 73 orang per hari.

Tentu saja Bergamo belum bisa berpesta. Toh, data Menteri Kesehatan Italia menunjukkan bahwa hingga 22 Juli 2020, 14.865 dari 95.582 kasus COVID-19 di Lombardy terjadi di Bergamo. Namun, dengan reorgarnisasi, fasilitas kesehatan Bergamo tidak kehabisan daya untuk memberikan pertolongan darurat dan intensif kepada orang-orang yang terjangkit virus corona.

***

Bergamo adalah tanah yang terbiasa melawan keterpurukan. Kebangkitan Bergamo dari pandemi COVID-19 sedikit-banyak mengingatkan akan sepak bola mereka yang berhasil direorganisasi. 

Bergamo bukan rumah bagi para juara di ranah sepak bola Italia. Mereka tidak seperti Turin yang berjaya dengan Juventus dan pernah mengalami masa-masa manis bersama Torino. Mereka bukan pula seperti Milan yang sepak bolanya ditopang oleh dua raksasa sekaligus, AC Milan dan Internazionale Milan. Bergamo juga tidak seliar Naples yang memiliki Napoli yang pernah menggulingkan kedigdayaan orang-orang Utara.

Revolusi Atalanta dimulai pada 2016 yang ditandai dengan kedatangan Gian Piero Gasperini. Ia langsung memimpin Atalanta finis di posisi keempat Serie A 2016/17 dan pada 2017/18, lolos ke Liga Europa setelah 26 tahun. Lantas pada 2019/20, Atalanta berhasil melaju ke babak perempat final Liga Champions meski akhirnya disingkirkan oleh PSG. 


Kebangkitan Atalanta di Serie A dan kompetisi Eropa berbanding lurus dengan kondisi finansial mereka. Pada tahun buku 2020, total pendapatan operasional Atalanta hampir tiga kali lipat dibandingkan dengan pendapatan keseluruhan mereka pada 2016. Kondisi ini tidak hanya dinikmati oleh Atalanta. Dengan peningkatan itu mereka berhasil mengurangi kesenjangan pendapatan dengan klub-klub besar.

Ketika klub-klub raksasa mencatatkan kerugian karena pandemi dan memberontak lewat gagasan Super League, Atalanta membukukan profit. Per 31 Desember 2020, keuntungan Atalanta mencapai 51 juta euro. Bandingkan dengan dua musim sebelumnya. Per 31 Desember 2018, Atalanta mengemas keuntungan bersih 24,4 juta euro. Sementara, per 31 Desember 2019, angkanya menjadi hampir 27 juta euro.

Saat pandemi, pendapatan matchday Atalanta dari penjualan tiket stadion turun dari 13,5 juta euro pada 2019 menjadi 6,7 juta euro pada 2020 karena liga sempat dihentikan. Namun, Atalanta selamat dari kerugian pandemi karena keberhasilan mereka mengelola keuangan. Pendapatan hak siar mereka per 31 Desember 2020 justru menjadi 117 juta euro. Mengapa demikian? Keikutsertaan dalam Liga Champions adalah jawabannya.

Tak sampai di situ, capital gain Atalanta ikut meningkat, dari 38 juta euro pada 2019 menjadi 68 juta euro pada 2020. Secara sederhana, capital gain adalah jumlah keuntungan seseorang atau sebuah institusi saat menjual kembali aset investasinya. Dalam bahasa Indonesia, capital gain dapat disebut sebagai keuntungan modal. Pertanyaannya, aset apa yang dijual sampai mendatangkan keuntungan sedemikian besar? Jawabannya adalah Dejan Kulusevski.

Dalam akuntansi klub sepak bola, pemain dicatat sebagai aset atau harta tidak berwujud. Untuk memahami hal ini kita harus kembali pada pengertian aset perusahaan. Aset pada sebuah perusahaan adalah semua sumber ekonomi atau kekayaan yang dimiliki oleh entitas yang diharapkan mampu memberi manfaat usaha pada masa mendatang. Ambil contoh, mobil dalam perusahaan transportasi. Mobil adalah aset karena jasa pengantaran yang dijalankan perusahaan transportasi yang menggunakan mobil adalah hal yang dapat mendatangkan pendapatan bahkan keuntungan.

Demikian pula dengan sepak bola. Pemain dan pelatih adalah alat utama yang dapat membuat tim merengkuh kemenangan dan prestasi. Jika kedua hal tersebut diraih, pendapatan dan keuntunganlah yang akan datang. Dalam Liga Champions, misalnya. Kemenangan dalam satu pertandingan saja bisa mendatangkan uang hadiah, apalagi jika meraih gelar juara. Prestasi tim pula yang akan membuat para investor dan sponsor datang, prestasi tim pula yang menentukan jumlah pendapatan hak siar yang diterima sebuah klub. Intinya, prestasi adalah buah dari kepemilikan pemain dan pelatih yang tepat. 

Lantas, mengapa pemain dicatat sebagai aset tidak berwujud? Karena yang menjadikan pemain sebagai aset bukan fisiknya, tetapi kemampuan sepak bolanya dan daya tariknya. Itulah sebabnya penjualan Kulusevski ke Juventus dan pemain lainnya ke berbagai klub disebut dengan perdagangan aset. Mengutip Calcio e Finanza, penjualan Kuluvsevski mengganjar Atalanta dengan capital gain hingga 34 juta euro.

Kecerdikan Atalanta juga tergambar dari bagaimana mereka mengelola pengeluaran. Dibandingkan dengan 2019, pengeluaran mereka memang bertambah, dari 147 juta euro menjadi 166 juta euro. Jika dibedah, komponen terbesar dari pengeluaran adalah gaji. Dari 74 juta euro uang yang dikeluarkan untuk gaji, 57 juta euro di antaranya masuk ke kantong pemain. Begitulah, jumlah seluruh gaji pemain Atalanta bahkan hampir setara dengan gaji kotor yang diberikan Juventus untuk Cristiano Ronaldo. 

Seluruh pengeluaran itu mengganjar Atalanta dengan kerugian operasional. Meski demikian, pada akhirnya Atalanta tetap dapat membukukan keuntungan per 31 Desember 2020 karena capital gain pemain tadi.

Strategi transfer Atalanta pada akhirnya tidak hanya membuat tim ini menjadi pasukan yang disegani di ranah sepak bola Eropa. Strategi ini juga membuat mereka sehat secara finansial saat para raksasa pontang-panting bertahan hidup. Sejak 1950-an, Atalanta konsisten mengembangkan akademi mereka. Atalanta tidak membentuk tim dengan mencari pemain bintang, tetapi membentuk dan mencari pemain yang tepat buat mereka. 

Maka dari itu, selain scouting dari akademi sendiri, Atalanta tidak segan untuk merekrut pemain-pemain non-bintang dari liga yang tidak tenar-tenar amat. Atalanta seperti tim yang tidak peduli dengan nama besar. Jika nama besar itu harus ada, ia akan datang karena menjadi pemain yang tepat guna di Atalanta. 

Gasperini boleh datang ke Atalanta sambil menenteng label pesakitan yang dibawanya sejak ditendang dari kursi kepelatihan Inter Milan yang baru didudukinya selama setengah musim pada 2011. Namun, di Atalanta, ia dibiarkan bekerja untuk membentuk tim. Dengan membentuk pemain menjadi sosok yang dibutuhkan tim, talenta dan kemampuan pemain akan bertambah. Dengan begitu, valuasi pemain juga bisa meningkat. Inilah yang pada akhirnya membuat Atalanta bisa tersenyum dengan capital gain mereka.

Bergamo adalah tanah yang kuat dan kekuatan mereka bersumber dari orang-orang yang tepat guna. Meski sempat lumpuh saat pandemi COVID-19, Bergamo pulih karena memiliki orang-orang yang dapat mereorganisasi fasilitas kesehatan. Sepak bola mereka pun seperti itu. Cerita tentang tim semenjana yang berulang selama puluhan tahun akhirnya bisa diganti dengan kekuatan baru yang membuat para raksasa menelan ludah.

***

Olah data keuangan Atalanta dari Calcio e Finanza dan KPMG. Olah data pasien COVID-19 dari Frontiers in Medicine Journals.