Kekuatan Suporter, Kekuatan Sepak Bola

Foto: Shutterstock.

Sebulan terakhir suporter membuktikan bahwa mereka punya kekuatan. Klaim itu kian sahih jika kita menyimak kembali kisah-kisah protes suporter yang pernah terjadi sebelumnya.

Sebulan terakhir adalah cerita tentang kekuatan suporter. Di sejumlah negara Eropa, para suporter melakukan demonstrasi menolak keterlibatan klub mereka di European Super League (ESL). Kita tahu ESL batal digelar dan boleh jadi, sederet aksi protes itu yang menjadi alasan di baliknya.

Aksi protes serupa muncul dari para suporter Manchester United. Masih ada kaitannya dengan ESL yang menjadi salah satu pemicu. Namun, kali ini lebih spesifik. Ini bentuk perlawanan kepada Keluarga Glazer, pemilik Red Devils. Akibatnya, laga kontra Liverpool yang mestinya berlangsung hari itu ditunda.

Kita juga melihat banyak protes di belahan dunia lain. Ada suporter Schalke yang menuntut timnya berbenah total usai musim yang super mengenaskan. Di Indonesia, sebagian pencinta sepak bola memprotes gaya komentator Valentino Simanjuntak saat memandu laga Piala Menpora.

Sederet kisah itu menunjukkan betapa besar dan berpengaruhnya kekuatan suporter di sepak bola. Klaim tersebut semakin sahih jika kita melihat kembali beberapa protes suporter di masa lampau, protes-protes yang mampu memengaruhi kebijakan, seperti yang kami rangkum berikut ini.

Protes Kenaikan Harga Tiket Anfield

“Enough is enough” jadi chant yang digemakan suporter Liverpool tatkala tim kebanggaan mereka menghadapi Sunderland pada musim 2015–16 di Anfield. Dalam laga yang sama, tepatnya menit ke-77, aksi kian menjadi-jadi. Sembari terus menyanyikan chant itu sekitar 10 ribu suporter berbondong-bondong meninggalkan stadion.

Sederet aksi tersebut adalah bentuk protes akibat rencana kenaikan harga tiket yang diusulkan petinggi Liverpool untuk musim 2016–17. Dari semua yang diusulkan, harga tertinggi mencapai 77 poundsterling. Inilah mengapa suporter memilih meninggalkan stadion tepat pada menit ke-77 pertandingan.

Upaya itu berhasil. Tak lama berselang, Fenway Sports Group (FSG) selaku pemilik Liverpool meminta maaf kepada para suporter. Mereka juga memastikan bahwa rencana kenaikan tiket tak bakal direalisasikan, setidaknya hingga dua musim ke depan.

Musim 2015/16 memang penuh dengan banyak protes akibat rencana kenaikan harga tiket. Sebagian besar rencana itu batal karena para suporter menuntut pembatasan harga tiket seharga 20 poundsterling lewat kampanye ‘Twenty’s Plenty’.

Tolak Monday Night Football di Bundesliga

Bundesliga mengumumkan rencana baru pada 2018–19, yakni dengan menghelat pertandingan pada Senin malam. Lewat perubahan ini, yang paling diuntungkan adalah pemilik hak siar. Mengapa? Sebab akan ada lebih banyak hari pertandingan dalam waktu satu minggu.

Di sejumlah liga besar lainnya, jadwal seperti itu adalah hal lazim. Namun, Jerman berbeda. Protes besar lantas bermunculan. Para suporter Eintracht Frankfurt melempat tenis ke lapangan, suporter Borussia Dortmund melakukan boikot, sebagian lain membentangkan banner. Bagi mereka, sepak bola adalah hiburan akhir pekan dan hanya itu.

Menggelar laga pada Senin akan menyulitkan suporter untuk menonton langsung ke stadion. Senin adalah hari kerja, sedangkan jarak menuju stadion, terutama beberapa laga tandang, terbilang jauh. Setidaknya butuh satu hari libur untuk bisa melakukannya.

DFL mendengar semua protes tersebut. Terlebih, ada sistem 50+1 yang memang berpihak kepada para suporter Bundesliga. Namun, karena kebijakan sudah keburu diambil, perubahan baru akan terjadi per 2021/22 atau pada musim depan.

Protes Rencana Menerapkan ‘The Coronavirus Job Retention’

Ketika COVID-19 melanda dunia, pemerintah Inggris memperkenalkan The Coronavirus Job Retention. Skema ini memungkinkan para pekerja untuk mendapat 80 persen gaji dari pemerintah, sedangkan sisanya oleh pemberi kerja. Dengan begini, para pekerja tetap mendapat gaji full.

Pandemi menyerang hampir semua industri dan ini alasan di balik penerapan itu. Sepak bola bukan pengecualian. Itulah mengapa beberapa klub Premier League berencana menerapkan skema bantuan pemerintah tersebut. Tottenham Hotspur dan Liverpool termasuk di antaranya.

Namun, desakan suporter yang berdatangan membuat mereka berpikir ulang. Mula-mula Liverpool mengumumkan batal menggunakan rencana itu. Beberapa hari kemudian, Tottenham menyusul setelah mendapat desakan dari suporter, termasuk The Tottenham Hotspur Supporter’s Trust.

“Kami juga memutuskan bahwa semua non-playing staff, baik full-time serta yang dirumahkan, akan menerima 100 persen gaji mereka untuk April dan Mei. Hanya para Dewan yang akan mendapat pemotongan gaji,” bunyi pernyataan Tottenham kala itu.

Desakan agar Bartomeu Melepas Jabatannya

Pada akhir musim 2019–20, muncul rumor soal hengkangnya Lionel Messi dari Barcelona. Tak ada kejelasan sama sekali saat itu. Namun, menurut kabar yang banyak beredar, Messi hanya akan bertahan di Blaugrana jika Josep Maria Bartomeu yang kala itu menjabat sebagai presiden tim melepas jabatannya.

Para suporter lantas melakukan protes besar di depan Camp Nou. Jauh sebelumnya, mereka memang sudah geram dengan rezim Bartomeu. Mereka menganggap bahwa sosok itulah yang jadi muasal dari anjloknya prestasi Barcelona dalam beberapa tahun terakhir.

Catatan tersebut beriringan dengan sederet masalah lain: Kebijakan transfer yang buruk hingga konflik dengan beberapa pemain. Ditambah dengan rumor hengkangnya Messi, kemarahan suporter kian besar. Yang mereka inginkan akhirnya terwujud sekitar sebulan berselang: Bartomeu mundur dari posisinya, Messi memastikan diri bertahan di Barcelona.

Tuntut Nurdin Halid turun

Kalau Nurdin Halid seekor kucing, ungkapan bahwa kucing punya sembilan nyawa tergambar jelas dalam sosoknya. Sudah sejak 2005 desakan agar dia mundur dari posisi Ketua Umum PSSI muncul. Alasan untuk melengserkannya pun banyak: Melakukan pelanggaran hukum (bahkan sampai dipenjara) hingga sederet kebijakan kontroversial di PSSI.

Namun, Nurdin selalu mampu berkilah dan orang-orang di dekatnya selalu berhasil melindungi. Pada akhirnya, masa kepemimpinannya bertahan hingga hampir sedekade. Pada Kongres PSSI 2011 di Riau, Nurdin bahkan kembali terpilih sebagai ketua PSSI.

Masih diliputi kekecewaan akibat gagal di Piala AFF 2010, para suporter kembali melakukan protes. Kali ini lebih masif dan terstruktur. Mereka tak hanya menuntut Nurdin mundur, tetapi juga mendesak pihak berwenang agar campur tangan terhadap kondisi ini. Sejarah akhirnya tercipta pada awal April 2011: Nurdin tak lagi menjabat sebagai ketua PSSI.