King Forsberg

Foto: @eforsberg10.

Dulu, Swedia punya raja bernama Zlatan Ibrahimovic. Kini, raja baru telah terpilih. Ia adalah Emil Forsberg.

Bagaimana, sih, rasanya hidup dalam keluarga yang orang-orangnya berstatus legenda? Tentu ada yang merasa terbebani. Namun, bisa jadi, ada pula yang merasa bahagia. Emil Forsberg salah satunya.

Forsberg hidup dalam lingkaran elit klub GIF Sundsvall. Kakeknya, Lennart, diakui sebagai salah satu wonderkid terbaik yang pernah dilahirkan oleh klub tersebut. Ayahnya, Leif, memegang rekor sebagai pencetak gol terbanyak untuk Sundsvall di kompetisi resmi.

Besar dengan kondisi tersebut rupanya tidak membuat Forsberg terbebani. Ia justru merasa beruntung karena pengalaman mereka membantunya dalam menjalani hidup sebagai pesepak bola. “Saya beruntung memiliki mereka. Tidak banyak pemain yang mendapatkan cerita pahit manis bermain pada usia dini,” kata Forsberg.

Pelajaran dari mereka membuat Forsberg tak pernah punya mimpi besar di sepak bola. Satu contohnya terjadi saat ia berusia 15 tahun. Ketika itu, ia dinyatakan gagal oleh Sundsvall karena dinilai tidak punya postur mumpuni.

Penolakan tersebut tidak membuatnya kecewa. Ia justru mengalihkan kegagalan tersebut untuk bergabung dengan tim hoki es lokal. Pelan-pelan, saat namanya mulai melambung di hoki es, ia mendapatkan panggilan untuk kembali bergabung dengan Sundsvall.

Dari sana, Forsberg tidak butuh waktu lama untuk melejit. Musim pertamanya di tim senior Sundsvall berlangsung manis. Ia bahkan selalu menjadi pilihan utama meski usianya saat itu baru memasuki 19 tahun.

Bakat Forsberg akhirnya masuk ke radar klub terbesar Swedia, Malmo. Lagi-lagi Forsberg tidak kesulitan membuktikan diri. Musim perdananya berjalan lancar. Penampilannya di musim kedua bahkan jauh lebih baik lagi. 14 gol berhasil ia lesakkan meski bermain di pos gelandang.

Penampilan Forsberg pada musim kedua di Malmo membukakan jalan untuknya. Banyak klub datang memberikan tawaran, termasuk Olympique Lyon dan Eintracht Frankfurt. Di luar mereka, ada nama klub 2. Bundesliga, RB Leipzig.

Alih-alih bergabung dengan klub besar, Forsberg justru memilih Leipzig sebagai pelabuhan. Keputusannya bahkan sempat dikritik oleh pendukung Malmo. Mereka merasa bahwa kepindahannya ke Leipzig hanya karena uang.

Forsberg tidak terima dengan tudingan tersebut. “Saya tidak berpikir dua kali saat mereka memberikan tawaran. Mereka punya target untuk lolos ke Bundesliga. Mereka punya proyeksi yang jelas tentang cara bermain. Semua orang di sini punya ambisi yang besar,” ujar Forsberg.

Usut punya usut, jauh sebelum proses negosiasi tersebut, Forsberg telah bertemu dengan Ralf Rangnick. Saat itu, Rangnick menjabat sebagai direktur olahraga untuk RB Leipzig dan RB Salzburg. Pertemuan keduanya terjadi setelah laga play-off Liga Champions antara Malmo dan Salzburg.

Dalam 2 pertandingan tersebut, Forsberg jadi bintang. Di leg pertama yang berakhir dengan kekalahan Malmo 1-2, ia berhasil mencetak 1 gol. Di leg kedua, ia berperan besar atas kemenangan Malmo 3-0.

Rangnick tidak butuh waktu lama untuk meyakinkan Forsberg. Begitu pula Forsberg. Ia tidak berpikir panjang untuk menerima tawaran Leipzig di kemudian hari. “Rangnick adalah alasan lain saya memilih tim ini,” tutur Forsberg.

Debut Forsberg di Leipzig berakhir tidak menyenangkan: Kalah 0-2 dari Erzgebirge Aue di sebuah pertandingan uji tanding. Sepanjang laga, pendukung lawan bahkan terus mem-boo pemain Leipzig saat memegang bola.

Pertandingan tersebut berakhir lebih cepat karena suporter lawan melempari Leipzig dengan bola salju. “Dari pertandingan itu saya paham bahwa Leipzig amat dibenci di Jerman,” ucap Forsberg.

Forsberg memilih tidak peduli dengan stereotip yang diberikan oleh lawan. Bagi Forsberg, yang ada di pikirannya saat itu hanya membuktikan diri. Seiring berjalannya waktu, ia berhasil melakukan itu. Dalam 9 pertandingan perdana 2. Bundesliga, ia selalu menjadi pilihan utama.

Penampilan apik Forsberg di Leipzig membuatnya dipanggil oleh pelatih Swedia saat itu, Erik Hamren. Meski demikian, Forsberg tak langsung mendapatkan tempat di tim utama Swedia. Keberadaan pemain yang lebih senior, seperti Sebastian Larsson, di posisinya jadi alasannya.

Nasib Forsberg di Swedia berubah saat laga uji tanding melawan Moldova, Maret 2015. Dalam pertandingan tersebut, ia menciptakan satu assist untuk salah satu gol yang dibuat oleh Zlatan Ibrahimovic. Selesai pertandingan, bukan hanya Hamren yang puas, tapi juga Ibrahimovic.

Kombinasi Forsberg dan Ibrahimovic terus berlanjut hingga Euro 2016. Nahas, mereka tak mampu melenggang lebih jauh setelah menduduki posisi terakhir di fase grup usai hanya mendapatkan 1 poin dari 3 pertandingan.

Buntut hasil buruk tersebut, pendukung Swedia kecewa. Forsberg jadi salah satu pemain yang banjir makian. “Kalau melihat berita di koran saat itu, saya dimaki seperti pemain yang selalu membuat gol bunuh diri,” kata Forsberg kepada The Players Tribune.

Hujatan yang dilakukan oleh pendukung Swedia memang terbilang keras. Ibrahimovic bahkan memutuskan pensiun dari level internasional sejak itu, meski akhirnya kembali pada Maret 2021 lalu.

Sepeninggal Ibrahimovic, mahkota berpindah ke kepala Forsberg. Menurut pelatih Janne Andersson kepada ESPNFC, “Ibrahimovic dan Forsberg punya karakter yang tidak jauh berbeda: Mereka punya pengaruh di tim, entah soal mentalitas atau permainan.”

Di bawah Forsberg, Swedia tampil mengesankan. Mereka lolos ke perempat final Piala Dunia 2018 dan melaju ke Euro 2020. Malah, di babak kualifikasi Euro 2020, Swedia jadi salah satu tim paling tajam dengan membukukan 2,3 gol per pertandingan.

Forsberg kembali menjadi tumpuan di Euro 2020. Setelah menahan imbang Spanyol 0-0 di pertandingan perdana, ia berperan penting saat Swedia mengalahkan Slovakia dan Polandia di laga kedua dan ketiga.

Perjalanan Swedia berhenti di 16 besar setelah kalah 1-2 dari Ukraina. Meski gagal, setidaknya Forsberg boleh bangga. Ia bisa membuktikan bahwa mahkota raja memang layak dikenakannya.