Kiper dan Adu Penalti

Foto: Twitter @mohmedabogabal.

Penjaga gawang tidak harus selalu kalah dalam babak adu penalti. Justru babak inilah yang menawarkan begitu banyak peluang bagi mereka untuk menjadi pahlawan.

Jika penalti adalah musuh yang harus ditaklukkan oleh setiap penjaga gawang, babak adu penalti adalah musuh yang datang dalam koloni.

Namanya Essam El Hadary. Di usianya yang mencapai 45 tahun, ia menggagalkan satu sepakan penalti di Piala Dunia 2018. Pertandingan Mesir melawan Arab Saudi itu tak akan dikenang El Hadary sebagai yang terbaik dalam hidupnya. Duel itu adalah kesempatan terakhir Mesir untuk merengkuh satu kemenangan saja di Piala Dunia 2018. Namun, asa itu tak mampu diwujudkan. Pertandingan tuntas dengan kekalahan 1-2 Mesir dari Arab Saudi.

Meski demikian, bukan berarti tidak ada yang dapat dikenang oleh El Hadary di laga itu. Keberhasilannya menggagalkan penalti Fahad Al-Muwallad menjadi fragmen yang membuatnya dapat sedikit tersenyum jika membicarakan Piala Dunia di Rusia.

Bagi para eksekutor tendangan, penalti memang jadi kesempatan untuk merengkuh poin bahkan kemenangan. Lihatlah bagaimana para pemain outfield bersorak ketika wasit mengganjar mereka dengan tendangan penalti. Angka harapan keberhasilannya barangkali sangat tinggi sehingga mereka begitu bersuka. 

Untunglah ada banyak cerita dalam sepak bola. Para penjaga gawang tak selamanya menjadi pesakitan di babak adu penalti. Jika El Hadary menggagalkan satu sepakan penalti di menit 39 laga Mesir melawan Arah Saudi, kiper Mesir di Piala Afrika 2022, Mohamed Abou Gabal alias Gabaski, menjadi petarung yang memekikkan sorak kemenangan di laga melawan Kamerun.

Gabal memiliki caranya sendiri untuk menaklukkan para algojo. Ia menempelkan 'contekan' pola tendangan para eksekutor di botol minumnya. Cara itu terbukti berhasil. Ia menggagalkan dua dari empat sepakan penalti Kamerun. Mesir pun menang 3-1 dan berhasil menjejak ke final.

Berjalan ke depan gawang, ambil waktu untuk mengatur napas, dan gagalkan sepakan penalti lawanmu. Prinsip itu terdengar sederhana, bukan? Namun, jika kau berdiri di hadapan entah berapa ribu penonton yang mengharapkan kegagalanmu, jika kau berdiri di depan gawang sendirian dalam babak yang menuntutmu untuk tidak berbuat satu kesalahan pun, bukan tidak mungkin kau ingin menyumpal mulut orang yang berkata demikian tentang adu penalti. 

Satu-satunya cara untuk mengalahkan ketakutan adalah dengan persiapan. Itulah sebabnya para penjaga gawang selalu berlatih untuk menggagalkan tendangan dalam laga satu lawan satu. Dan salah satu bagian dari persiapan itu adalah dengan mempelajari pola tendangan calon lawanmu. Toh, penjaga gawang tidak selalu harus kalah dalam adu penalti.

Gabal tidak menjadi satu-satunya orang yang menempelkan contekan di botol minumnya. Dalam babak 16 besar Piala FA 2019/20, penjaga gawang Norwich City, Tim Krul, pun melakukannya. Setelah babak perpanjangan waktu berakhir, skor laga melawan Tottenham Hotspur itu tetap 1-1. Akibatnya, laga harus berlanjut ke babak adu penalti.

Krul tidak memasuki babak tersebut dengan tangan kosong. Dia sudah melakukan persiapan dengan mempelajari pola calon lawannya. Di botol minumnya tertera arah sepakan penalti para pemain Tottenham. Persiapan itu tidak sia-sia, Krul berhasil menebak arah 3 penendang dan Norwich menang.

Lain Krul, lain pula Sergio Romero. Dalam laga semifinal Piala Dunia 2014, ia mencatat kemungkinan arah tembakan lawan pada celananya. Dengan cara itulah ia menggagalkan eksekusi Ron Vlaar dan Wesley Sneijder.

Keberhasilan Krul dan Romero saat itu mengingatkan sebagian orang tentang apa yang dilakukan Edwin van der Sar. Kiper asal Belanda tersebut menggunakan trik serupa untuk mengecoh pemain Chelsea di final Liga Champions 2008. Setelah menyaksikan tendangan John Terry melenceng dari gawang, Van der Sar berhasil menggagalkan sepakan Nicolas Anelka.

Van der Sar tidak menebak, ia memperhitungkan. Keberhasilannya itu berawal dari analisis video pertandingan yang dilakukannya. Lewat pengamatannya itu, ia menyimpulkan bahwa Anelka (hampir) selalu menendang ke arah kanan saat mengambil sepakan penalti. Pengamatannya benar. Sepakan Anelka di Moskwa memang mengarah ke kanan.

"Saya melakukan banyak analisis tendangan penalti. Sebagai contoh, Frank Lampard. Sebelum pertandingan itu, saya menganalisis setidaknya 40 tendangan Lampard. Saya juga mencatat arah tendangan Nicolas (Anelka) dan mengambil kesimpulan bahwa ia menendang ke kanan."

"Kemudian, saya mendengar bahwa Chelsea juga telah mengerjakan pekerjaan rumah mereka dengan mempelajari kecenderungan saya untuk menjatuhkan diri ke kanan. Jadi, saya pikir para pemain mereka diperintahkan untuk menendang ke arah kiri. Sebagian besar mereka melakukannya. Namun, Nicolas termasuk yang menembak ke kanan. Sebenarnya saya juga sudah mengantisipasi seandainya dia menembak ke arah sebaliknya," papar Van der Sar.

Apes bagi Anelka, ialah orang terakhir yang mengambil tendangan penalti. Dengan begitu, United menjadi juara Eropa.

Kepada ESPNFC, mantan pelatih kiper Manchester United, Eric Steele, menjelaskan bahwa pada 2008 tersebut, United menggunakan perusahaan asal Jerman sebagai penyedia data penalti. Konon, jasa perusahaan tersebut juga dipakai Chelsea pada musim itu.

"Perusahaan tersebut memiliki 16.000 data penalti. Kami berlaga di Liga Champions dan tentu saja rela membayar untuk mendapatkan informasi-informasi penting seperti itu," ujar Steele.

Penggawa Tottenham, Harry Kane, juga sepakat bahwa kecanggihan teknologi sepak bola modern turut memudahkan para kiper dalam penalti. Persoalannya, selain mau tidak mau menggunakan teknologi tersebut, adalah masalah kematangan psike eksekutor maupun penjaga gawang.

"Dengan teknologi terkini, kiper bahkan tahu jika penendang berlari ke arah yang berbeda saat mengambil ancang-ancang penalti. Jadi, persoalannya adalah bagaimana saya mengambil keputusan. Berbicara soal pengambilan keputusan, tidak hanya soal teknik maupun perhitungan, tetapi juga mental," jelas Kane.

Analisis tendangan penalti oleh para penjaga gawang bahkan sudah dilakukan jauh-jauh hari sebelum teknologi sepak bola secanggih sekarang. Apa yang terjadi pada Timnas Inggris di Piala Eropa 1996 adalah contohnya. Perhelatan itu berbicara tentang kegagalan Inggris di laga final melawan Jerman. Apes, nasib buntung itu beririsan dengan kegagalan Gareth Southgate sebagai eksekutor penaltli.

Adalah Andreas Köpke yang menjadi kiper Jerman saat itu. Dalam wawancaranya, Köpke menjelaskan bahwa keberhasilannya menggagalkan eksekusi Southgate berawal dari analisis dan konsentrasi.

"Tentu saja kami siap untuk kemungkinan adu penalti dan saya menganalisis penembak Inggris potensial terlebih dahulu dengan pelatih kiper saat itu, Sepp Maier. Ketika saatnya tiba dan pertandingan berlanjut ke adu penalti, Anda menyadari peran kunci dan tanggung jawab Anda sebagai penjaga gawang. Itulah mengapa saya sangat konsentrasi," papar Köpke.

"Lima penendang pertama Inggris melakukannya dengan tembakan super, kemudian penendang penalti keenam. Southgate adalah orang yang menendang tanpa penempatan untuk pertama kalinya dan saya bisa menyelamatkan sepakannya," tutur Kopke.

***
Sekalipun kita takjub melihat bagaimana penjaga gawang menjatuhkan diri atau melonjak untuk merentangkan kakinya, menyaksikan tim kesayangan turun arena di babak adu penalti bukan pengalaman yang menyenangkan-menyenangkan amat. Sehebat apa pun seorang kiper, kemungkinannya untuk gagal di babak tersebut cukup besar. Namun, para penendang pun memiliki kemungkinan yang serupa. Sejago-jagonya mereka, tetap saja kemungkinan gagal itu ada.

Barangkali berangkat dari kemungkinan itulah para penjaga gawang bekerja di tendangan penalti atau babak adu penalti. Yang mereka lakukan saban hari adalah memperbesar kemungkinan tersebut dengan berlatih dan terus berlatih. Mengalahkan ketakutan dengan persiapan, itulah yang dilakukan penjaga gawang sebelum turun arena ke babak adu penalti.