Lika-liku Andre Silva

Foto: Twitter @andrevsilva19.

Di Eintracht Frankfurt, Silva kembali hidup. Ia bersiap memberedel label striker Portugal yang kerap dicap medioker.

Saat memilih hidup sebagai striker, Andre Silva harusnya sudah tahu bahwa semesta bakalan mengadangnya. Negerinya, Portugal, seolah tak pernah direstui untuk memiliki penyerang yang layak dikenang. Mentok cuma Eusebio yang paling kondang. Sisanya, cuma bagus di level klub. Pedro Pauleta, Nuno Gomes, Helder Postiga, dan Hugo Almeida adalah beberapa sampelnya.

Fakta menyebutkan bahwa tak ada striker yang caps-nya menembus 10 besar di Timnas Portugal. Artinya, susah bagi striker murni untuk hidup dalam jangka waktu panjang di Portugal. Lain perkara soal winger dan gelandang; Portugal punya Cristiano Ronaldo, Joao Moutinho, Luis Figo, Nani, dan Rui Costa--keempatnya masuk dalam daftar 10 besar penampil terbanyak Seleção das Quinas.

***

Deco, begitu Silva dulu dipanggil. Sedari remaja, Silva telah lekat dengan panggilan tersebut. Ini bukan panggilan sembarangan karena Deco adalah maestro Portugal--meski sebetulnya dia adalah orang Brasil yang memutuskan untuk membela Portugal. 

Silva terbiasa menjadi otak permainan tim, sama seperti pendahulunya itu. Ketika mulai belajar sepak bola di Salgueiros, Silva memilih posisi winger. Kadang di kiri, kadang di kanan.

Yah, dia bukanlah seorang striker. Dia bermain di kiri atau di kanan, dan sebelumnya dia adalah pemain nomor sepuluh. Makanya, dia dibanding-bandingkan dengan Deco," kata pelatih tim junior Salgueiros, Alexandre Silva.

Cara main Silva di Salgueiros bikin FC Porto jatuh hati. Mereka pun meminang Silva pada musim 2013/14. Mulai dari sini Silva beralih menjadi penyerang. Ia bersiap memberedel label striker Portugal yang kerap mendapatkan cap medioker.


Silva melesat. Pada tiga musim perdananya di Porto, ia habiskan dengan menempa diri di Porto B. Tim tersebut ia bawa menjuarai Segunda Liga pada 2015/16. Sebagai pengakuan untuk performa apiknya, Silva juga mendapatkan gelar sebagai pemain terbaik kompeitisi kelas dua Portugal itu pada musim yang sama. 

Bila ditotal, dia berhasil menyarangkan 24 gol dari 84 penampilan selama tiga musim di Porto B. Tidak buruk.

Maka, tidak mengherankan kalau Silva langsung moncer bersama Dragões. Pada musim 2016/17, dia menjadi topskorer tim dengan 16 gol. Catatan tersebut bikin silau klub-klub besar, termasuk AC Milan. Di sanalah pelabuhan Silva selanjutnya.

Sayangnya, sepak bola Italia masih terlalu rumit buat Silva. Dia cuma bisa bikin 2 gol dari 24 pementasan di Serie A. Meski begitu, rekening gol Silva di Liga Europa sebetulnya tak buruk: 6 gol. Namun, tetap saja itu tak sebanding dengan banderol 38 juta euro yang Milan keluarkan buat menebusnya. Rossoneri tak puas. Silva lantas mereka pinjamkan ke Sevilla pada awal musim 2018/19.

Semuanya terlihat menjanjikan saat Silva menjejakkan kakinya di Andalusia; dia langsung bikin hat-trick pada laga pembuka La Liga. Tuahnya kembali berlanjut saat mencetak 4 gol dari pekan keempat hingga keenam, termasuk brace yang ia buat ke gawang Real Madrid. Bila ditotal, Silva mencetak 7 gol hanya dalam 6 pertandingan.

Sudah tentu ini menjadi pencapaian impresif. Di Milan musim pada musim sebelumnya, Silva kudu menempuh 40 pertandingan di lintas kompetisi untuk hanya mendapatkan 10 gol.

Namun, per bulan November musim yang sama keran golnya kembali pampat. Ia hanya mencetak 2 gol tambahan hingga akhir musim. Catatan golnya cuma setengah dari topskorer Sevilla, Wissam Ben Yedder, yang sukses mengemas 18 gol.

Sevilla mengurungkan niat buat mematenkannya. Masalah tak berhenti sampai di situ; Silva tak tahu harus menaruh kopernya di mana. Lemari striker Milan sudah mumbung.

Mereka telanjur mendatangkan Krzysztof Piatek yang relatif moncer. Belum lagi dengan Patrick Cutrone. Saat itu Cutrone sedang bagus-bagusnya setelah mencetak 10 gol di Serie A edisi 2018/19 meski akhirnya dilepas ke Wolverhampton Wanderers pada musim panas setelahnya.

Sudah tidak mendapatkan tempat, Silva juga tak mendapatkan kesempatan kedua. Alih-alih memberikan kesempatan untuk Silva, Milan justru mendatangkan pemuda Portugal lainnya, Rafael Leao. 

Sampai kemudian Milan menukar Silva dengan penyerang Eintracht Frankfurt, Ante Rebic, pada 2 September 2019. Ini adalah awal dari jalan lapang buat Silva. Meski saat itu Frankfurt hanya memboyongnya dengan status pinjaman, kelak Silva akan bergabung dengan status permanen.


Kalau ditimbang-timbang, Frankfurt bukanlah pilihan yang buruk. Sejak musim 2016/17, kredibilitas Die Adler mulai diperhitungkan. Semusim setelah itu, mereka berhasil memencundangi Bayern Muenchen pada final DFB-Pokal. 

Begitu pula pada kompetisi Eropa periode 2018/19. Frankfurt berhasil menyentuh semifinal Liga Europa sebelum akhirnya takluk dari Chelsea yang keluar sebagai juara.


Silva juga mendapatkan garansi buat tampil reguler di Frankfurt. Ketika ia bergabung, garda terdepan Frankfurt kehilangan banyak orang karena dicomot oleh klub-klub beken Eropa. Luka Jovic ditarik Real Madrid, kemudian Sebastien Haller diboyong oleh West Ham United. Mau tak mau Frankfurt kudu merekstrukturisasi lini serangnya.

Well, Silva tak lantas bebas dari keraguan. Apalagi dia datang dengan status pemain buangan. CV-nya bermain di tiga negara berbeda dalam tempo 2 tahun menjadi klise. Toh, perantauannya ke Milan dan Sevilla bisa dibilang gagal. Satu-satunya yang harus dia lakukan adalah membuktikan diri.

Silva beruntung karena Frankfurt sudah memiliki Goncalo Paciencia, yang juga berasal dari Portugal dan pernah memperkuat Porto. Kendati keduanya sama-sama bermain sebagai striker, dan mau tidak mau bermain untuk posisi yang sama, memiliki teman setim dengan akar yang sama memudahkan adaptasi Silva.

Situs resmi Bundesliga sendiri pernah menaruh harapan pada keduanya. Kata mereka, ada dua pemain akademi Porto yang tengah berusaha mendapatkan nama di Frankfurt. Pada akhirnya, Silva terus bertahan di Frankfurt, sedangkan Paciencia dipinjamkan ke Schalke 04 pada 2020/21. 

Silva juga beruntung karena sepakbola ala sang pelatih, Adi Huetter, terbilang agresif. Ini yang membedakan Huetter dengan Gennaro Gattuso di Milan dan pelatih Frankfurt sebelumnya, Niko Kovac. 

Sebagai komparasi, Frankfurt cuma membikin 45 gol pada periode terakhir bersama Kovac. Angka itu meningkat menjadi 60 setelah Huetter menjabat semusim berselang. Pendekatan ofensif itulah yang membuat Silva makin betah di Frankfurt.


Silva dan Frankfurt cocok. Tak seperti klub-klub sebelumnya, striker 25 tahun itu rutin mencatatkan namanya di papan skor. Terlebih, pada laga-laga pascalibur akibat pandemi; Silva berhasil memproduksi 8 gol dari 10 pertandingan. Total 12 gol dia ukir sepanjang Bundesliga 2019/20. Catatan tersebut pun menjadi torehan tertinggi di Frankfurt.

Frankfurt lantas mempermanenkannya pada awal musim 2020/21. Silva pun membayarnya dengan penampilan apik. Jika performanya pada 2019/20 adalah sebuah film perdana, apa yang ia tunjukkan pada musim setelahnya adalah sekuel yang tidak mengecewakan. Sejauh ini, sudah 19 kali dia mencetak gol dari 21 pementasan di Bundesliga.

Oke, angka itu masih berada di bawah Robert Lewandowski, sang topksorer liga, dengan 28 golnya. Namun, hanya Lewandowski saja yang bisa melebihi Silva. Lainnya lewat, termasuk Erling Haaland. Superstar Borussia Dortmund itu mengumpulkan 2 gol lebih sedikit dari Silva sejauh musim 2020/21 berjalan.

Yang lebih penting, torehan Silva pada 2020/21--sekalipun musim ini belum selesai--menjadi yang terbaik sepanjang kariernya. Sebelumnya, pencapaian terbaiknya mentok di angka 16 gol ketika bermain bersama Porto pada musim 2016/17.

Terlebih angka harapan gol Silva tak buruk. Menurut Understat, xG Silva menyentuh 17,28. Artinya, jumlah golnya masih di atas ekspektasi.

Silva masih amat mungkin menambah pundi-pundi gol. Kalau sungguh terealisasi, dia bakal menyalip rekor striker legendaris Frankfurt, Bernd Hoelzenbein, yang mencetak 26 gol di musim 1976-77.


Tajamnya Silva tak lepas dari kolektivitas rekan-rekan setimnya dan Huetter. Pelatih asal Austria itu tak hanya menjunjung agresivitas, tetapi juga punya beragam alternatif taktik. Singkatnya, Huetter adaptif.

Itu bisa dilihat dari fleksibilitasnya dalam mengaplikasi formasi dasar, bisa dengan dua striker (3-4-1-2) atau penyerang tunggal (3-4-2-1). Semuanya ia sesuaikan dengan kebutuhan saja. 


Saat membutuhkan striker pemantul, Huetter dulu memasang Bas Dost sebagai tandem Silva. Dengan postur 196 cm, penyerang asli Belanda itu berperan sebagai reflektor di garis terdepan. Skema semacam ini bakal memudahkan Silva untuk mendapatkan ruang ideal.

Opsi lainnya adalah dengan memainkan Luka Jovic dan Silva secara bersamaan. Keduanya bisa saling melengkapi.

Saat main bareng, mereka punya kecenderungan untuk bergerak lebih dalam. Kombinasi semacam ini bisa meningkatkan fluiditas serangan Frankfurt. 


Sementara saat Silva menjadi striker tunggal, dia lebih sering dibantu Amin Younes dan Daichi Kamada, dua gelandang yang jago bermanuver. Nama yang ditulis terakhir bahkan sudah menyumbangkan 8 assist di pentas liga.

Last but not least, tentu saja, Filip Kostic. Pemain flank Serbia itu merupakan pemasok umpan kunci tertinggi buat Frankfurt. Pun buat Silva sendiri; sebanyak 5 dari 9 assist Kostic di Bundesliga dipersembahkan untuk Silva.