Luka dan Cinta Luka Modric

Foto: Wikimedia Commons.

Untuk menjadi bintang Timnas Kroasia dan mencatatkan diri sebagai pemegang caps terbanyak, Luka Modric melewati perjalanan panjang yang tak bisa dibilang mudah.

Luka Modric menjalani hidup dengan penuh lika-liku. Deru suara senapan, juga kecamuk perang yang membuat korban berjatuhan, terpatri dalam ingatannya.

Masa kecil Modric bukanlah masa kecil yang diinginkan bocah mana pun. Ia tumbuh saat perang meletus di Kroasia pada akhir tahun 1991. Kemerdekaan Kroasia saat itu ditentang dan muncul perlawanan dari etnis-etnis Serbia.

Kakek Modric, yang juga bernama Luka, tewas dibunuh oleh Kelompok Chetnik atau Pasukan Serbia. Luka Modric Sr. adalah seorang penggembala. Pagi itu, dia dan rekannya tengah menjaga kambing dan domba yang sedang menyantap rumput-rumput di sekitar gunung.

Kegiatan itu terpantau oleh Pasukan Serbia. Mereka lantas menghampiri para penggembala itu dan menbentak kakek Modric. Tak ada perlawanan, tetapi kemudian sebuah peluru melesat.

Peluru itu menghujam tubuh kakek Modric dan seketika itu juga, ia tumbang ke tanah. Modric ada di situ; insiden tersebut memang terjadi tak begitu jauh dari kediaman tempat ia tinggal.

Modric kehilangan sosok yang amat ia cintai. Semasa hidup, kakeknya itulah yang menemani dirinya bermain. Bagi Modric, sang kakek adalah bagian dari masa kecilnya yang tak terpisahkan. Bermain dan berburu hingga tak kenal waktu menjadi kegiatan Modric bersama kakeknya. Di ujung usia, hanya kecupan yang bisa diberikan Modric untuk sang kakek.

"Aku ingat, ayahku memintaku untuk menciumnya (kakek) ketika dia berada dalam peti mati. Apa yang terjadi padanya adalah sebagian dari ingatanku. Aku memiliki ingatan tentang dia, juga kenangan menghabiskan begitu banyak waktu dengannya," kenang Modric seperti dilansir The Guardian.

Di tengah teror yang menghiasi kehidupan masa kecil Modric, ia tak pernah luput dengan apa yang menjadi hobinya yaitu sepak bola. Modric kerap bermain bola di halaman tempat dirinya dan keluarga mengungsi.

Modric dan keluarganya mengungsi ke Kolovare, 42 kilometer dari kampung halaman mereka di Modrici. Tak lama setelah mereka mengungsi, rumah tempat mereka bermukim dibakar dan hancur tak bersisa. Beruntung, di pengungsian, Modric menemukan halaman yang luas. Halam itu menjadi berkah sekaligus arena bagi Modric untuk mengasah kemampuan olah bolanya.

Saat granat dan suara ledakan berkumandang, Modric dan rekan-rekannya bakal berlari ke tempat perlindungan. Ia tak hanya kabur membawa nyawanya, tetapi juga bola yang baginya adalah barang yang amat berharga.

Namun, tumbuh dalam situasi perang membuat Modric memang tak nyaman bermain sepak bola. Ada momen latihannya mesti terhenti karena ia harus berlindung saat sirine tanda serangan udara musuh datang menyalak.

Yang tak bisa disangkal dari segala keterbatasan itu adalah Modric kecil memang pintar dan mahir berolahraga. Suatu saat gurunya pernah menantang Modric untuk bermain dengan orang yang usianya lebih tua. Modric kemudian menjawab tantangan itu dan membayarnya dengan kemenangan.

Satu hal lain yang menjadi kekurangan Modric adalah tubuhnya yang kecil nan kurus. Hal itu yang membuat Hadjuk Split sempat menolak Modric pada masa belianya. Namun, sebagai pribadi yang tumbuh dari kerasnya kehidupan, Modric tak pasrah begitu saja. Tubuh kecilnya ia sulap menjadi kelebihan yang tak dimiliki pemain lain.

Foto: Wikimedia Commons.

Modric lincah dan jago melakukan dribel. Ia itu juga mampu merebut bola dengan sangat bersih. Dengan kemampuan di atas rata-rata untuk seorang bocah, Modric menarik minat Zadar, lalu kemudian Dinamo Zagreb.

Dinamo jugalah yang menjadi tim profesional perdana Modric. Pada musim 2002/03, Modric naik kelas dari tim junior ke tim utama. Namun, kisahnya di Dinamo sebetulnya tak selamanya mulus. Dari lima musim menjadi pemain Dinamo, satu setengah musim di antaranya ia habiskan sebagai pemain pinjaman.

Namun, tanpa geliat yang ia tunjukkan di Dinamo, takkan ada tawaran yang lebih besar datang. Perlahan-lahan nama Modric mencuat dan disebut-sebut sebagai salah satu pemain muda yang paling menjanjikan di Eropa. Mereka yang bermain gim komputer Football Manager pun sampai tahu soal statusnya sebagai pemain muda menjanjikan itu.

Pada akhirnya, Tottenham Hotspur meminang Modric pada 2008/09 setelah membayar 16,5 juta poundsterling kepada Dinamo.

"Saat itu Daniel Levy melakukan sihirnya, dia terbang dengan jet pribadi ke Zagreb. Dia menelepon saya dini hari dan mengatakan sudah terjadi kesepakatan. Kami mendapatkan Modric," kenang Direktur Sepak Bola Spurs saat itu, Damien Comolli.

Spurs memang mesti bergerak cepat. Pasalnya, Barcelona, Man City, dan beberapa tim besar Italia berebut tanda tangan Modric. Sampai akhirnya, dengan tangan dingin Levy, Modric berlabuh di London Utara.

Perjalanan ke London itu, nyatanya, hanya menjadi sebuah awal. Modric mengasah diri di Spurs dan menunjukkan bahwa ekspektasi yang dibebankan orang-orang kepadanya melalui label “pemain muda menjanjikan” itu bukanlah ekspektasi kosong.

Modric memang tidak memberikan gelar apa pun kepada Spurs. Masa baktinya juga singkat, hanya empat musim. Namun, perjalanannya bersama Spurs cukup untuk membuat klub sebesar Real Madrid datang dan mengetuk pintu. Pada 2012, Modric pindah ke Madrid dan menancapkan diri sebagai salah satu gelandang paling penting dalam kancah sepak bola.

Kita kemudian mengenal Modric sebagai salah satu penggerak lini tengah Madrid bersama Toni Kroos dan Casemiro. Ketiganya saling mengisi dan melengkapi—mereka menjadi komplemen satu dengan yang lainnya.

Seiring makin menanjaknya karier, Modric mendapatkan banyak hal yang mungkin hanya bisa diimpi-impikan banyak pesepak bola: Trofi La Liga, Liga Champions, Piala Dunia Antarklub, Ballon d’Or, hingga medali runner-up Piala Dunia.

Kroasia memang pernah mengenal generasi emas ketika menaungi pemain-pemain seperti Davor Suker, Robert Prosinecki, Alen Boksic, Slaven Bilic, Zvonimir Boban, hingga Rober Jarni. Namun, generasi emas itu “cuma” mentok menempati urutan ketiga di Piala Dunia.

Modric, beserta rekan-rekan yang ia pimpin sebagai kapten, melampaui itu. Ketika lolos sampai ke final pada Piala Dunia 2018, mereka sudah menjadi tim terbaik sepanjang sejarah Kroasia. Yang kurang hanyalah medali pemenang.

***

Modric baru saja mencatatkan rekor sebagai pemegang caps terbanyak untuk Timnas Kroasia. Sampai tulisan ini dirilis, sudah 136 caps ia kantongi. Rekor caps terbanyak itu sendiri ia dapatkan saat membela Kroasia pada laga melawan Siprus di Kualifikasi Piala Dunia 2022, 27 Maret 2021

Peran Modric bersama Kroasia memang cukup sentral. Sebagai seorang gelandang, Modric tidak hanya dituntut untuk menjaga sirkulasi dan progresi bola, tetapi juga untuk menghentikan serangan lawan.

Pada tiga laga di Kualifikasi Piala Dunia, Modric jadi pemain dengan rata-rata tekel tertinggi di Kroasia dengan angka 2,7 per laga. Tak cuma itu, catatan rata-rata intersepnya juga mencapai angka 1 per laga—tertinggi bersama Marcelo Brozovic.

Untuk aspek ofensif, Modric rata-rata membuat 2 umpan kunci per laga. Rata-rata, ia membuat 76,7 operan per laga dengan persentase kesuksesan mencapai 87,4%.

Buat Modric, ini adalah santapan sehari-hari. Peran yang ia lakukan di Kroasia sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan di Madrid. Oleh karena itu, setelah menempuh perjalanan terjal, Modric kini menuai apa yang ia tanam. Sepak bola baginya sekarang sealami bernapas saja.