Maldini, si Penjaga Milan

Foto: Instagram @paolomaldini

Paolo Maldini tidak hanya menjaga Milan semasa bermain. Ketika sudah pensiun, ia kembali dan menjadi direktur teknik yang merestrukturisasi Milan.

Untuk segala sesuatu ada waktunya, termasuk keraguan dan keyakinan. Paolo Maldini bahkan pernah meragukan AC Milan, klub tempat ia menghabiskan sebagian besar hidupnya. Masa itu datang ketika Presiden Li Yonghong menawarinya posisi sebagai direktur. Ketidakstabilan finansial klub menjadi alasan Maldini meragukan penawaran tersebut. 

Segala sesuatunya berubah ketika kepemimpinan diambil alih oleh Elliott Management. Maldini yang juga ditawari posisi sebagai direktur jadi lebih yakin, hingga akhirnya ia berkata ya untuk jabatan Direktur Olahraga dan Pengembangan AC Milan.

Peran ini menuntut Maldini untuk bekerja berdampingan dengan Leonardo yang menjabat sebagai direktur olahraga, dalam urusan transfer tim. Leonardo dan Maldini mesti memastikan jumlah pengeluaran dan penghasilan di bursa transfer seimbang agar tak lagi terbentur Financial Fair Play. Meski memiliki banyak kendala, mereka berhasil membuat racikan transfer untuk skuad Gennaro Gattuso. 

Pada masa itu, Maldini dan Leonardo menggunakan strategi peminjaman dengan opsi pembelian. Sayangnya, mereka tetap tak mampu mengeluarkan yang terbaik baik di lapangan maupun dalam menyiasati FFP. Kendala itu tidak mengada-ada. Milan hanya sanggup menutup Serie A 2019/20 di posisi enam. Bagi tim dengan sejarah mentereng, hasil tersebut jelas mengecewakan. 

Performa yang benar-benar menggembirakan baru terlihat pada musim 2020/21. Milan mengawali musim dengan brilian walau akhirnya tergelincir di paruh kedua. Dengan performa yang naik-turun itu mereka berhasil mengunci status sebagai runner up Serie A. Itu artinya selamat datang di Liga Champions. Semua orang tahu Milan tertatih di Liga Champions. Namun, itu adalah penampilan perdana setelah delapan tahun. 

Sepak bola berkembang, begitu pula dengan Liga Champions. Anggaplah ketertatihan itu sebagai efek kejut karena sudah lama tak berlaga di sana. Serie A 2021/22 menjadi kompetisi yang mengerikan. Perebutan capolista dan scudetto begitu panas. Lihatlah persaingan papan atas.

Yang menggembirakan para suporternya, Milan menjadi kandidat kuat karena berada di puncak klasemen sementara. Keberhasilan ini tidak dapat dilepaskan dari kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Maldini yang kini menjabat sebagai Direktur Teknik AC Milan.

Dalam wawancaranya kepada The Athletic, Maldini menjelaskan bahwa pada dasarnya ada dua habitat yang harus dihidupinya sebagai direktur teknik. Yang pertama adalah kantor. Di tempat inilah yang ia mengurus segala macam kebijakan transfer. Bertemu pemain dan agen, menyelesaikan kontrak ini itu, dan mengulas penawaran. 

Yang kedua adalah lapangan. Meski berstatus sebagai direktur, ia tetap harus mengawasi jalannya latihan setiap hari dan memangkas jarak sebanyak mungkin dengan tim. Maldini pun hadir di setiap pertandingan. Sering melihatnya bersorak atau menunjukkan raut wajah cemas di tribune penonton? Bagi Maldini, itu adalah bagian dari pekerjaannya.

Hal pertama yang dirombak oleh Maldini di era terkini adalah kebijakan transfer. Maldini memahami bahwa Milan benar-benar mesti belajar dari kesalahan transfer yang mereka lakukan pada 2017/18. Ketika itu mereka menghabiskan hampir 200 juta euro hanya untuk mendatangkan pemain-pemain yang sudah jadi. Sayangnya, bukannya jadi, sebagian pemain tersebut malah sudah kehilangan taji.

Adalah Andre Silva, Andrea Conti, Leonardo Bonucci, Hakan Calhanoglu, Lucas Biglia, hingga Ricardo Rodriguez, yang didatangkan saat itu. Pada musim tersebut Milan hanya finis di posisi enam. Akibat pengeluaran jor-joran di bursa transfer, Milan diganjar sanksi Pengadilan Arbitrase Olahraga dan mendapat larangan tampil di kompetisi Eropa pada 2019/20.

Seiring dengan penjualan pemain-pemain macam Bonucci, Gianluca Lapadula, Nikola Kalinic, serta M’Baye Niang yang memang underperform, mereka membeli Mattia Caldara, Samu Castillejo, Krzysztof Piatek, serta Lucas Paqueta. Mereka juga mampu mendatangkan Pepe Reina dan Alen Halilovic secara gratis.

Beranjak ke musim 2019/20, transfer Milan makin cerdik. Selain sukses memulangkan Zlatan Ibrahimovic yang enggan meringkuk di hadapan usia tua, Milan turut mendatangkan pemain-pemain muda seperti Rafael Leao, Theo Hernandez, serta Ismael Bennacer. Mereka juga meminjam Alexis Saelemakers dari Anderlecht.

Memasuki musim 2020/21, kebijakan transfer Milan makin terarah dan terkontrol. Saat Inter maupun Juventus menghabiskan dana sebesar 90 hingga 110 juta euro untuk belanja di bursa transfer--Inter mengeluarkan kurang lebih 97 juta euro, sedangkan Juventus sekitar 110 juta euro, per Transfermarkt--Milan hanya keluar 23 juta euro.

Selain meminjam Sandro Tonali dari Brescia, Brahim Diaz dari Real Madrid, serta Diogo Dalot, Milan memermanenkan Saelemakers, Ante Rebic, dan Simon Kjaer. Uniknya lagi, kebanyakan Milan meminjam atau memermanenkan pemain muda potensial. 

Jika dahulu Milan dianggap sebagai tim yang banyak mengandalkan pemain tua, mereka kini justru diisi oleh talenta-talenta muda. Apiknya lagi, para pemain muda itu dibimbing oleh pemain arogan, tetapi bermental juara seperti Ibrahimovic dan Olivier Giroud, pemain berpengalaman yang hampir selalu tahu melepaskan diri dari situasi sulit.

Sebagian besar pemain-pemain tersebut berhasil menunjukkan performanya. Rebic misalnya. Ia memang bukan pemain yang mencetak gol di setiap pertandingan. Namun, Rebic tetap bisa diandalkan sebagai pembeda saat kesulitan datang. 

Pun dengan Tonali yang awalnya digadang-gadangkan sebagai 'The Next Pirlo'. Gelar itu entah bagaimana caranya mulai menghilang. Bukan karena ia tak bagus, tetapi karena Tonali berhasil membuktikan bahwa ia pun bisa menjadi pemain penting tanpa harus menjadi 'The Next Pirlo'. Tonali adalah jenderal lapangan tengah Milan. Ialah yang merancang permainan ofensif Milan. Meski demikian Tonali pun dapat diandalkan dalam membantu pertahanan. 

Lalu ada Leao. Anak muda ini awalnya dianggap sebagai pembelian impulsif Milan. Performanya sempat tak stabil, terutama ketika Milan dilatih oleh Giampaolo. Namun, di tangan Stefano Pioli, Leao berubah menjadi senjata mematikan. Kecepatan dan kemampuan dribelnya adalah kunci yang membuat permainan Milan sulit dibendung lawan.

Pemain-pemain itu datang dari kedekatan Maldini dengan tim. Karena selalu datang ke sesi latihan dan pertandingan, Maldini tahu persis apa yang dibutuhkan Milan. Pemahaman itulah yang mengoptimalkan fungsinya sebagai direktur teknik. 

Pada dasarnya, direktur teknik bertugas sebagai media komunikasi manajemen dan tim kepelatihan, terutama soal aktivitas transfer. Ia bekerja sebagai jembatan agar kedua kubu ini dapat tetap berjalan dalam harmoni. Karena itulah, direktur teknik yang baik biasanya datang dari kalangan pesepak bola. Mereka harus memahami sepak bola luar dan dalam. 

Maldini adalah orang yang tepat bagi Milan untuk peran ini. Ia tidak hanya memahami sepak bola, tetapi memahami Milan secara keseluruhan, luar dan dalam. Ia menghabiskan 31 tahun di Milan. Tak pernah berpindah klub. Seumur hidup ia hanya membela Milan dan Timnas Italia. 

Maka ketika ia meragukan Milan di masa kepemimpinan Li Yonghong, seharusnya tak ada yang berhak meragukan keraguannya. Bagaimanapun, keraguan itu bukan tanpa dasar. Ia tahu persis Milan seperti apa dan seharusnya menjadi seperti apa. 

Kebijakan transfer yang digunakan Maldini mungkin tidak akan menjadikan Milan sebagai tim mewah. Namun, kebijakan transfer tersebut membuat Milan menjadi tim yang dipenuhi oleh pemain-pemain tepat guna. Inilah yang membuat Milan sekarang dapat berdiri tangguh di kompetisi liga.

Tanpa disadari, kehadiran Maldini di setiap sesi latihan juga meningkatkan standar para pemain. Fikayo Tomori dalam wawancaranya memaparkan bahwa ia jadi ingin membuat kesan yang baik karena tahu Maldini menyaksikannya berlatih dan bertanding. Kapan lagi kau bisa membuat impresi di hadapan seorang legenda hidup, apalagi jika kau pemain bertahan, seperti Maldini? 

Theo Hernandez berkata bahwa ketika Maldini berusaha meyakinkannya untuk bergabung dengan Milan, ia tahu Maldini tidak berbohong. Maldini tahu persis bahwa Milan membutuhkan Hernandez dan Hernandez membutuhkan Milan.

Kehilangan pemain penting seperti Gianluigi Donnarumma tak membuat Maldini kelabakan. Dengan tangan dinginnya ia berhasil mendatangkan Mike Maignan dari Lille. Maignan benar-benar shot stopper mumpuni. Refleks dan athleticism-nya adalah modal sempurna untuk seorang kiper. Menurut data Fbref, Maignan menepis 79% dari total tembakan yang mengarah ke gawangnya pada 2020/21.

Kebijakan transfer yang dibangun oleh Maldini adalah kebijakan yang berpusat pada masa kini dan terarah pada masa depan. Benar bahwa ia masih menggunakan pemain-pemain tua seperti Ibrahimovic, Kjaer, maupun Giroud. Namun, performa ketiganya pun masih sangat dibutuhkan di masa terkini. 

Kebijakan Maldini yang sekarang adalah kebijakan-kebijakan yang tidak terlampau silau dengan nama besar, terlebih nama besar yang mengelu-elukan pencapaian di masa lalu. Penggunaan pemain-pemain muda berbakat adalah bukti bahwa Milan turut mengejar masa depan. 

Cerita tentang Maldini pada akhirnya berkisah tentang legenda yang meletakkan warisannya di sebuah rumah. Milan adalah rumah tempat ia bertumbuh, merasakan penerimaan dan penolakan, keraguan dan keyakinan. Di tempat itu ia dihajar dengan kekalahan dan diganjar dengan kemenangan. Rumah itu memang tak seindah dulu. Namun, di sanalah Maldini memilih untuk meletakkan warisannya.