Melihat dan Mendengar Kiper Modern Bekerja

Foto: @fcstpauli

Menjadi kiper modern atau ball-playing goalkeeper memang sulit: Banyak tuntutan, berisiko tinggi. Saya melihat dan mendengar Nikola Vasilj soal peran ini.

Barangkali posisi paling sulit dalam sepak bola dewasa ini adalah penjaga gawang. Alasannya sederhana: Seorang kiper tak hanya dituntut punya kemampuan bagus dalam menjaga gawang dengan tangannya, tapi juga diminta punya kemampuan baik dalam hal mengolah bola dengan kaki–mengumpan, menyapu, mengintersep, dst.

Penjaga gawang kudu memiliki visi yang baik, seperti outfield player, dalam urusan mengumpan. Penjaga gawang juga harus punya pengambilan keputusan yang tepat dan cepat, karena posisi mereka terlalu berisiko dan rentan terhadap kesalahan. Itu semua dilakukan, dan dimiliki, di tengah tuntutan untuk menjaga kemampuan shot-stopping. Banyak tugas, banyak tuntutan.

Dari situ, istilah ball-playing goalkeeper dan sweeper-keeper muncul. Dari situ pula kita mengenal nama-nama macam Manuel Neuer, Ederson, Marc-Andre ter Stegen, Alisson Becker, sampai Andre Onana. Nama-nama yang jadi pengejawantahan kiper komplet, kiper modern.

Peran kiper-kiper modern itu amat vital buat tim yang memainkan sepak bola dari belakang, mereka yang melakukan build-up pelan-pelan dari satu lini ke lini lain. Bahkan seorang kiper bisa mengambil peran sebagai “playmaker”--pengarah serangan tim, pemberi umpan-umpan ke sepertiga akhir lawan. Dan tak jarang seorang kiper lebih sibuk melakukan distribusi ketimbang bikin penyelamatan.

Yang kedua itu baru saya lihat akhir pekan kemarin di Millerntor, kandang St. Pauli. Aktornya adalah Nikola Vasilj, kiper tuan rumah. Pada laga melawan Hannover 96, Vasilj sama sekali tak bikin penyelamatan. Bukannya tak mampu atau tak mau, tapi di laga itu Hannover memang tak melepas satu tembakan tepat sasaran pun.

Namun, tak sibuk menyelamatkan gawang bukan berarti Vasilj bisa bersantai. Karena Hannover menerapkan blok pressing yang membuat St. Pauli sulit melakukan build-up dari tengah, kiper Tim Nasional Bosnia itu melakukan tugas sebagai playmaker. Ia menjadi pengarah serangan tim, melepaskan umpan ke depan.

Dalam laga tersebut, total Vasilj melepas 62 umpan dengan akurasi sebesar 95%. Bayangkan, seorang kiper memiliki akurasi sedemikian besar. Bahkan, jika ingin menengok khusus ke umpan-umpan panjang, kiper berusia 27 tahun ini memiliki persentase sukses sebesar 83%. Hanya dua, dari 12 umpan panjangnya, yang gagal menemui rekan setim.

Lebih lagi, hanya tiga pemain belakang St. Pauli yang memiliki umpan lebih banyak ketimbang Vasilj di laga vs Hannover. Seorang kiper benar-benar memiliki peran besar dalam distribusi bola sebuah tim. Dan jangan bayangkan jika umpan yang dikirim hanya umpan-umpan mudah ke bek yang ada di depannya.

St. Pauli, sebagai gambaran, bermain mirip seperti Brighton dalam melakukan build-up. Artinya, pemain mereka akan menunggu tim lawan melancarkan pressing sebelum melepas umpan. Yap, bisa dibayangkan: Pemegang bola akan melepas umpan ketika berada dalam tekanan lawan. Vasilj sering berada dalam situasi itu.

“Ya, terkadang saya harus menunggu pressing lawan untuk membuat pemain lain bebas, terkadang saya harus melepas umpan cepat agar kami bisa melakukan switch,” ujarnya kepada saya selepas pertandingan. Yap, kiper juga dituntut bisa bermain di bawah risiko, juga harus berani mengambil risiko.

Dalam kondisi itu, beberapa kali ia membuat penonton was-was, khawatir akan aksinya. Sebab, apa yang dilakukannya amat berisiko. Ada momen bola yang ada di kakinya hampir direbut pemain Hannover. “Terkadang saya memang harus mengambil risiko lebih besar,” tambah Vasilj.

Lantas, apakah risiko besar itu sepadan? Dalam kasus Vasilj dan St. Pauli, saya bisa bilang iya. Memang beberapa kali tim juga harus kebobolan akibat kesalahan build-up. Namun, jika melihat persentasenya, keputusan mengambil risiko itu lebih banyak menguntungkan buat tim. St. Pauli menjadi salah satu tim dengan build-up paling rapi di Jerman.

Fabian Hürzeler, sang pelatih, juga acap membela anak asuhnya, mengatakan bahwa kebobolan karena kesalahan build-up adalah sesuatu yang harus diterima. Sebab seperti itulah cara main tim. Cara main, filosofi, di atas segalanya. Melebihi kemungkinan kebobolan dari kesalahan-kesalahan sendiri.

Keteguhan ini juga yang menjadi salah satu penyebab Vasilj terlihat lebih percaya diri. Saya sudah melihatnya bermain sejak musim lalu, dan menilai bahwa kepercayaan diri kiper berusia 27 tahun dalam memainkan bola dengan kaki meningkat signifikan. “Saya juga merasa demikian,” ujarnya.

Terlepas dari kemampuan melakukan distribusi, atribut shot-stopping Vasilj masih membutuhkan konsistensi. Persentase penyelamatan bolanya ada di angka 71, cukup baik. Namun, ia sudah kebobolan sembilan, dari angka ekspektasi (PSxG) 8.3. Angka minusnya memang hanya 0.3, tapi musim lalu catatannya mampu menembus +0.9.

Vasilj sendiri menyebut bahwa dua kiper modern yang jadi role model buatnya adalah Ederson dan Ter Stegen. Kebetulan, nama pertama juga memiliki angka minus dalam catatan shot-stopping-nya. Ederson kebobolan 0.5 lebih banyak dari yang diekspektasikan (via PSxG). Catatan +1.4 milik Ter Stegen yang kemudian harus Vasilj duplikasi.

Namun, menjadi kiper modern atau ball-playing goalkeeper yang sempurna memang sulit. Bahkan jika kata sempurna dihapus pun masih tetap sulit. Ederson ada kekurangannya, pun begitu dengan Ter Stegen, Alisson, atau Neuer sekalipun. Apalagi Vasilj. Peran ini berkawan dengan kesalahan yang kapan saja bisa menjadi sorotan.

Lantas, saya teringat pesan Johan Cruyff: Kiper bisa melakukan kesalahan dan, dalam sepak bola, kesalahan (utamanya yang memalukan) adalah sesuatu yang obsesif. Lalu apa bedanya jika kiper salah di dekat gawangnya dan salah karena bermain jauh ke depan demi membuat struktur tim jadi lebih bagus?