Membangunkan Raksasa Tidur Bernama AC Milan

Foto: Twitter @acmilan

Seperti SMA Karasuno dalam 'Haikyuu!!', AC Milan adalah sebuah fallen powerhouse. Musim ini, mereka mulai menunjukkan tanda-tanda bangkit.

Dalam manga 'Haikyuu!!', diceritakan bahwa SMA Karasuno adalah sebuah fallen powerhouse. Pernah berjaya di masa lampau, Karasuno yang sekarang justru kerap jadi tim pesakitan.

Pada zaman lampau, Karasuno adalah tim yang begitu digdaya. Mereka kerap jadi langganan perwakilan Miyagi di turnamen nasional bola voli se-Jepang. Di bawah asuhan pelatih Ikkei Ukai dan pemain ciamik bernama Tenma Udai—ia memiliki julukan Small Giant, Karasuno tak tersentuh.

Namun, selepas pelatih Ukai pensiun dan Small Giant lulus, Karasuno seolah tak bertaji. Jangankan masuk turnamen nasional, di turnamen daerah Miyagi saja mereka kelimpungan. Alhasil, mereka kerap kesulitan bersaing dengan sekolah-sekolah lain, macam Date High, Aoba Johsai, hingga Shiratorizawa.

Aroma kebangkitan mulai menyeruak tatkala Karasuno kedatangan dua murid edan bernama Kageyama Tobio dan Hinata Shouyou, serta masuknya cucu Ikkei Ukai, yakni Keishin Ukai, sebagai pelatih. Mereka mulai menata diri dan pada akhirnya, benar-benar kembali menjadi salah satu powerhouse di dunia bola voli SMA se-Jepang.

***

Situasi tak jauh beda juga dirasakan oleh AC Milan. Setelah terakhir kali meraih gelar Scudetto pada 2010/11, meraih gelar Supercoppa Italiana pada 2016, serta gelar Liga Champions pada 2006/07, Milan seolah kehilangan taji. Mereka kesulitan bersaing dalam setiap ajang yang mereka ikuti.

Di Serie A, Milan semakin tertinggal dari Juventus, Napoli, bahkan rival sekotanya sendiri, Inter. Mereka sulit masuk jajaran tim papan atas Serie A dalam beberapa musim terakhir. Sementara itu di Eropa, jangankan masuk Liga Champions, Milan malah lebih banyak berkutat di Liga Europa.

Selain masalah performa, Milan juga pernah dilanda masalah finansial. Pendapatan yang terus merosot setiap musim, terutama setelah menjuarai Serie A pada 2010/11, ditambah lagi kepemilikan konsorsium Li Yonghong yang juga sarat akan problem—sebelum akhirnya digantikan oleh Elliott Management—, membuat Milan makin terjerembab.

Alhasil, Milan pun laiknya fallen powerhouse. Pelatih-pelatih dan pemain-pemain yang dating silih berganti ke dalam tim Rossoneri tak mampu membawa perubahan. Jangankan meraih gelar juara, Milan malah kebanyakan berkutat di papan tengah Serie A.

Akan tetapi, kini, perubahan telah datang di tubuh Milan. Pada awal musim 2020/21, mereka tampil ciamik. Mereka menang tiga kali dari tiga laga awal Serie A 2020/21. Hasil ini untuk sementara membawa mereka berada di posisi kedua, di bawah Atalanta.

Jika ditotal, sejak sepak bola Italia kembali dihelat selepas pandemi COVID-19, Milan tidak terkalahkan dalam 23 laga di lintas ajang. Total, mereka membukukan 19 kemenangan dan hanya empat kali meraih hasil imbang.

Nah, jika Karasuno mampu bangkit setelah Kageyama, Hinata, dan pelatih Ukai masuk ke dalam tim, faktor apa saja yang membuat Milan mampu bangkit dari keterpurukan?

Kebijakan Transfer yang Tepat

Milan agaknya benar-benar belajar dari kesalahan transfer yang mereka lakukan pada musim 2017/18. Saat itu, mereka menghabiskan hampir 200 juta euro untuk mendatangkan nama-nama macam Andre Silva, Andrea Conti, Leonardo Bonucci, Hakan Calhanoglu, Lucas Biglia, hingga Ricardo Rodriguez.

Bukannya mendapat prestasi, Milan malah mendapat apes. Pada musim itu, Milan hanya finis di posisi keenam. Tidak cuma itu, buntut dari kebijakan belanja jor-joran di musim 2017/18 adalah sanksi dari Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS) berupa larangan tampil di Liga Europa 2019/20. Milan dianggap melanggar aturan Financial Fair Play (FFP).

Meski dikabarkan juga bahwa Milan sendiri yang meminta untuk ‘dihukum’, dari sini tampak bahwa Milan begitu asal-asalan dalam melakukan transfer. Alhasil, mereka mulai lebih bijak dalam melakukan transfer. Pada musim 2018/19, mereka mulai lebih cerdik dalam melakukan transfer.

Seiring dengan penjualan pemain-pemain macam Bonucci, Gianluca Lapadula, Nikola Kalinic, serta M’Baye Niang yang memang underperform, mereka membeli pemain-pemain muda potensial macam Mattia Caldara, Samu Castillejo, Krzysztof Piatek, serta Lucas Paqueta. Mereka juga mampu mendatangkan sosok-sosok macam Pepe Reina hingga Alen Halilovic secara gratis.

Beranjak ke musim 2019/20, transfer Milan makin apik. Selain sukses mendatangkan Zlatan Ibrahimovic secara gratis, mereka juga lebih fokus membeli talenta-talenta muda macam Rafael Leao, Theo Hernandez, serta Ismael Bennacer. Mereka juga meminjam Alexis Saelemakers dari Anderlecht.

Barulah memasuki musim 2020/21, kebijakan transfer Milan makin terarah. Saat klub-klub lain macam Inter Milan maupun Juventus menghabiskan dana sebesar kurang lebih 90 hingga 110 juta euro untuk belanja di bursa transfer—Inter total menghabiskan kurang lebih 97 juta euro, sedangkan Juventus kurang lebih 110 juta euro, per Transfermarkt, Milan hanya keluar 23 juta euro saja.

Selain meminjam Sandro Tonali dari Brescia, Brahim Diaz dari Real Madrid, serta Diogo Dalot dari Manchester United, Milan mempermanenkan Saelemakers, Ante Rebic, dan Simon Kjaer. Uniknya lagi, kebanyakan Milan meminjam atau mempermanenkan pemain muda potensial.

Jika dahulu Milan dianggap sebagai tim yang banyak mengandalkan pemain tua, mereka kini justru diisi oleh talenta-talenta muda. Apiknya lagi, para pemain muda itu dibimbing oleh pemain arogan namun bermental juara bernama Ibrahimovic.

Pelatih yang Tepat, Penempatan Pemain yang Pas, dan Manajemen yang Diisi Legenda

Milan sempat kebingungan dalam menentukan siapa sosok pelatih yang pas dalam meramu tim. Berbagai nama yang dipercaya mulai dari Mauro Tassotti, Clarence Seedorf, Filippo Inzaghi, Cristian Brocchi, Vincenzo Montella, Gennaro Gattuso, hingga Marco Giampaolo, semua gagal mengembalikan kualitas Milan.

Namun, kini tampaknya Milan sudah menemukan sosok pelatih yang tepat dalam diri Stefani Pioli. Sempat diragukan di awal kedatangannya, eks pelatih Lazio dan Inter ini mulai unjuk gigi. Karib dengan skema dasar 4-3-3 (berubah menjadi 4-2-3-1 seiring kedatangan Ibrahimovic), Pioli mampu mengeluarkan potensi beberapa pemain Milan.

Theo Hernandez mulai jadi full-back yang apik dalam bertahan dan agresif dalam menyerang berkat kebebasan yang ia berikan. Bennacer mulai nyetel bersama Kessie dalam menjaga lini tengah. Keduanya menjadi jangkar statis, sementara Calhanoglu mendapatkan kebebasan lebih.

Ngomong-ngomong soal Calhanoglu, eks gelandang Bayer Leverkusen itu kembali moncer berkat peran no.10 yang diberikan Pioli padanya. Calhanoglu rata-rata memberikan 2,7 umpan kunci per laga dari total 3 penampilan (199 menit bermain). Ia juga cukup agresif dengan melepaskan 2,3 tembakan per laga.

Foto: Twitter @hakanc10

Calhanoglu sempat bermain pada sejumlah posisi dan peran. Per catatan Football Bloody Hell, bersama Vincenzo Montella, ia bermain sebagai penyerang sayap kiri. Bersama Gennaro Gattuso, ia bermain sebagai gelandang kiri (dengan role box-to-box midfielder), sementara bersama Marco Giampaolo ia bermain sebagai gelandang tengah.

Kebangkitan Milan musim ini tak lepas dari kebangkitan Calhanoglu juga. Dan ini tak lepas dari keputusan Pioli kembali memainkannya sebagai gelandang serang dengan peran sebagai no. 10. Kombinasinya dengan Ibrahimovic menjadi tumpuan lini depan Milan.

Selain Calhanoglu, Rebic yang awalnya dianggap tidak menunjukkan performa apik, perlahan mulai menunjukkan taji sebagai seorang winger kiri. Perpaduan mencuatnya potensi para pemain ini menjadikan Milan jadi tim yang kuat.

Ini belum ditambah dengan adanya Sandro Tonali. Gelandang muda yang katanya mengingatkan banyak orang akan Andrea Pirlo ini nyatanya punya agresivitas yang lebih mirip Gennaro Gattuso. Tonali sendiri mengakui bahwa gaya mainnya merupakan gabungan dari tiga gelandang legendaris Italia: Pirlo, Gattuso, dan Daniele de Rossi.

Kehadiran Tonali memberikan Pioli opsi lebih. Andai tak dimainkan sebagai regista, Pioli bisa memainkannya sebagai box-to-box midfielder, seperti yang pernah dilakukan Roberto Mancini di Timnas Italia. Toh, dengan karakteristiknya, Tonali mampu mengemban peran tersebut.

Di lini depan, Ibrahimovic memperlihatkan bahwa dia bukan cuma besar omong. Per catatan Squawka, dengan catatan 10 gol dari 18 laga selama 2019/20, ia menorehkan angka xG (expected goals) sebesar 0,7, tertinggi keempat di liga musim kemarin.

Dengan angka harapan gol setinggi itu, Milan masih boleh berharap pada Ibrahimovic, meski kini usianya sudah 39 tahun. Musim kemarin selepas restart, Ibrahimovic menorehkan 6 gol dan 3 assist dalam 8 laga. Musim ini, sebelum COVID-19 mengganggunya (eh, maaf, maksudnya, sebelum COVID-19 mencoba macam-macam dengannya) ia mencetak 1 gol dari 90 menit kesempatan bermain.

Selain pemilihan yang tepat, manajemen Milan juga mulai mengalami perbaikan setelah diisi oleh para legenda. Ada nama Paolo Maldini yang bercokol di manajemen selaku Technical Area Director (Direktur Teknik). Sempat ada nama-nama seperti Leonardo Araujo serta Zvonimir Boban yang juga mengisi posisi penting di manajemen.

Berkat mereka, negosiasi transfer yang dilakukan Milan jadi lebih baik. Transfer Ibrahimovic secara cuma-cuma ini juga berkat dari kemampuan lobi Boban dan Maldini. Selain itu, dengan adanya legenda ini, setidaknya mereka mampu membawa nilai-nilai historis yang sempat hilang dari klub.

***

Jalan untuk kembali menjadi seorang powerhouse memang tidak mudah. Karasuno saja, terlepas dari kehadiran Kageyama, Hinata, dan pelatih Ukai, mesti menempuh jalan terjal sebelum akhirnya, perlahan mereka tumbuh menjadi tim kuat.

Begitu juga Milan. Turbulensi masih sempat terjadi di masa-masa transisi yang mereka alami sejak 2017 hingga 2020 ini. Apa yang saat ini mereka capai di Serie A, bisa jadi merupakan buah dari turbulensi yang mereka alami beberapa tahun terakhir. Kini, mereka mulai karib dengan kemenangan lagi.

Mampukah AC Milan mempertahankan terus apa yang sudah mereka raih ini? Ujian pertama akan mereka rasakan saat kembali bersua tim-tim besar Serie A lainnya. Terdekat, ada Inter Milan yang sudah menunggu mereka pada 17 Oktober 2020.