Menakar Calon Raja Afrika

Ilustrasi: Arif Utama.

Siapa yang terkuat? Aljazair si juara bertahan, Kamerun sang tuan rumah, Senegal serta Pantai Gading dengan skuad mewahnya atau justru Mesir dengan Mohamed Salah-nya?

Di Kamerun, Piala Afrika 2021 (tetapi berlangsungnya pada tahun 2022) menggelar hajatannya. Tiga tahun sudah mereka menanti hajatan ini. Pada edisi 2019 lalu Kamerun sebenarnya sudah mendapat jatah sebagai tuan rumah. Namun, batal. Konfederasi Sepak Bola Afrika (CAF) menilai mereka tak cukup siap untuk menjadi tuan rumah.

CAF memiliki beberapa pertimbangan. Ketidakmampuan Kamerun dalam menyediakan fasilitas internasional menjadi yang pertama. Apalagi pada Piala Afrika periode 2019 itu, ada penambahan jumlah peserta, dari yang semula 16 menjadi 24.

Sorotan lain ada pada aspek keamanan. Saat itu kekerasan di wilayah barat daya dan barat laut Kamerun lagi tinggi-tingginya. Pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok separatis penutur bahasa Inggris itu belum mampu diredam betul oleh pihak pemerintah. Menurut laporan Associated Press, kelompok separatis itu sempat memberi ancaman kepada para peserta—termasuk pemain, ofisial, dan juga suporter.

CAF kemudian menunjuk Mesir sebagai tuan rumah pengganti. Menariknya, ini bukan pertama kalinya mereka memindahkan negara penyelenggara. Pada 2013, Libya seharusnya menjadi tuan rumah, tetapi kemudian dialihkan ke Afrika Selatan gara-gara masalah keamanan.

Berikutnya pada 2015, wabah Ebola yang saat itu melanda Afrika membuat calon tuan rumah Maroko menolak menjadi tuan rumah. Turnamen kemudian dipindah ke Guinea Khatulistiwa. Edisi 2017 lebih kompleks lagi; Afrika Selatan awalnya ditunjuk menjadi tuan rumah, tetapi kemudian menyerahkan jatah itu ke Libya yang ternyata juga tidak mampu. Akhirnya, turnamen pun dihelat di Gabon.

Well, terlepas dari karut-marut yang menghiasi gelaran Piala Afrika, atau label “turnamen yang ngrepotin” klub-klub Eropa, hajatan sepak bola terbesar di Benua Hitam ini tetap layak buat dinikmati. Di sini kami mencoba membedah kekuatan tim-tim unggulan Piala Afrika 2021.

Aljazair

Kita mulai dari sang juara bertahan Aljazair. Ya, pada gelaran termutakhir mereka tak cuma menjadi kampiun, tetapi juga sukses menyapu bersih tujuh pertandingan. Pada fase gugur, tim-tim jago macam Pantai Gading dan Nigeria mereka tumbangkan. Aljazair kemudian memastikan diri sebagai juara usai mengalahkan Senegal di final. Djamel Belmadi memahami betul momentum ini. Generasi emas bertabur di dalam skuad asuhannya sekarang. Aljazair tak terkalahkan di 35 pertandingan beruntun—hanya terpaut 2 dari rekor Italia.

Jadi masuk akal mengapa Belmadi membawa 15 pemain yang sama dengan edisi sebelumnya. Ada Sofiane Feghouli, Islam Slimani, Yachine Brahimi, Youcef Belaïli, Ramy Bansebaini, Aisa Mandi, dan tentu saja Riyad Mahrez. Nama yang disebut belakangan ini lagi on-fire bersama Manchester City. Di lima pertandingan beruntun dia sukses mencetak gol. itu belum ditambah sumbangsih 3 assist-nya.

Selain itu Aljazair juga bisa berharap pada tuah Said Benrahma. Keserbabisaannya sebagai gelandang serang, kiri, dan kanan bakal menunjang skema 4-1-4-1 yang diusung Belmadi. Toh, soal performa, personel West Ham United ini juga ciamik. Total 8 gol dan 4 assist di lintas ajang menjadi buktinya.

Mesir

Apa yang membuat Mesir menjadi unggulan adalah karena mereka memiliki salah satu pemain terbaik di dunia. Betul, Mohamed Salah. Performa stabil plus pengalaman mentas sekaligus menjadi juara di kompetisi teratas Eropa akan memberi impak positif untuk tim.

Di lintas kompetisi musim ini saja, Salah telah menorehkan 23 gol dan 9 assist. Sementara bersama Mesir, dia sudah mencetak 45 gol dari 74 penampilan atau 0,61 gol bila dirata-rata per laga. Sebagai komparasi, rasio itu jauh lebih efektif dari topksorer sepanjang masa Mesir, Hossam Hassan, yang mencatatkan 0,39.

Yang jadi soal, Mesir ini bukan Liverpool dan Carlos Queiroz juga berbeda dengan Juergen Klopp. Salah bermain di ekosistem yang berbeda di sini. Tak ada pemain yang bisa benar-benar menunjang Salah. Mentok cuma Trezeguet dan Mohamed Elneny. Kita tahu keduanya bukan pilihan reguler di Aston Villa dan juga Arsenal.

Overall, Salah memang satu-satunya tempat Mesir bersandar dan itu bukan situasi yang ideal sebagai tim kandidat juara. Akan tetapi, di sisi lain, kita juga tak bisa menafikan predikat The Pharaohs sebagai raja Piala Afrika dengan 7 gelarnya.

Senegal

Bisa dibilang Senegal merupakan tim dengan skuat paling merata di ajang ini. Nyaris setiap lini mereka dihuni oleh para pemain kelas satu. Di bawah mistar ada Edouard Mendy, kemudian Kalidou Koulibaly di pos bek, dan Sadio Mane pada garda terdepan. Jelas mereka bukan kaleng-kaleng. 

Mendy dan Mane, misalnya, pernah mencicipi gelar Liga Champions. Sementara Koulibaly, selain menggamit 2 gelar dengan Napoli, juga sudah empat kali terpilih dalam tim terbaik Serie A.

Itu baru tiga pilar utama, belum termasuk duo Paris Saint-Germain: Idrissa Gueye dan Abdou Diallo. Kemudian Boulaye Dia dan Keita Balde di lini depan. Fluiditas keduanya bisa mengatrol ketajaman Mane pada format 4-3-3. Khususnya Dia, yang sukses mencetak 4 gol dan 4 assist dari 15 penampilannya bersama Villarreal.

Kendati demikian, Senegal punya problem yang rada akut. Les Lions de la Téranga tak memiliki mental juara yang kuat meski memiliki banyak talenta berbakat. Tak sekalipun Senegal pernah menjuarai Piala Afrika, bahkan di level junior. Pencapaian terbaik mereka, ya, saat dua kali menjadi runner-up (pada edisi 2002 dan 2019).

Pantai Gading

Seperti Senegal, Pantai Gading juga memiliki amunisi yang mumpuni. Eric Bailly dan Willy Boly sebagai bek sentral. Kemudian ada Franck Kessie yang piawai menjaga keseimbangan. Lini depan makin mengerikan karena bakal diisi Sebastien Haller. Pemain kelahiran Prancis ini lagi gacor betul. Sudah 10 gol dan 12 dibuatnya di Liga Champions serta Eredivisie. Tak ada pemain yang bisa melebihi jumlah golnya di kedua ajang itu.

Untuk menyokong Haller, Patrice Beaumelle punya stok yang relatif melimpah. Selain Wilfried Zaha, masih ada Nicolas Pepe, Jeremie Boga, dan Maxwel Cornet. Nah, Cornet bisa menjadi aset paling potensial. Dia tulang punggung atas kondisi Burnley yang serba-nanggung musim ini. Torehan golnya di Premier League menyentuh 6—dua kali lipat dari torehan Chris Wood yang notabene merupakan penyerang utama.

Pantai Gading juga diperkuat tapak tilas dalam 8 edisi ke belakang. Di sana mereka cuma gagal lolos ke fase gugur sekali. Sisanya, tembus perempat final, dua kali runner-up, dan menjadi kampiun di periode 2015.

Kamerun

Last but not least, Kamerun. Predikat tuan rumah menjadi salah satu penguat mereka bisa meraih gelar juara tahun ini. Tentu, bukan cuma itu saja. Kamerun punya tradisi kampiun kuat di Piala Afrika. Mereka sudah mengoleksi 5 titel dan 3 di antaranya diraih mulai edisi 2000.

Terpilihnya Samuel Eto'o sebagai presiden anyar Federasi Sepak Bola Kamerun (FECAFOOT) juga menjadi nilai plus lainnya. Dialah contoh sempurna bagi para pesepak bola di negaranya. Bersama Eto’o, Kamerun menggamit 2 titel Piala Afrika dan medali emas Olimpade 2000.

Sementara dari komposisi pemain, Toni Conceicao masih mengandalkan tiga pilar penting di setiap lini. Andre Onana di pos kiper, Michael Ngadeu-Ngadjui pada sektor bek, dan Vincent Aboubakar sebagai algojo di garda terdepan. Mereka adalah personel vital saat Kamerun mengangkat piala di edisi 2017.

Komponen penting Conceicao lainnya, ya, André-Frank Zambo Anguissa dan Karl Toko Ekambi. Keduanya tampil impresif dengan timnya. Anguissa di Napoli dan Toko Ekambi bersama Lyon. Toko Ekambi bahkan sudah mengoleksi 11 gol dan 4 assist di Ligue 1 dan Liga Europa musim ini. Jangan lupa juga bahwa Kamerun masih mempunyai pemain yang sukses merajai Prancis dan Jerman sejak empat tahun ke belakang, Eric Maxim Choupo-Moting.