Menaklukkan El Clasico, lalu Dicintai Barcelona dan Real Madrid

Foto: Instagram @evaristodemacedo.

Tak ada kepala babi yang dilempar ke arah Evaristo de Macedo ketika ia meninggalkan Barcelona dan memilih Real Madrid.

Ketika waktu kembali bergerak dan Evaristo de Macedo membuka mata, hal pertama yang dilihatnya di tengah ingar-bingar adalah Laszlo Kubala berlari sambil mengangkat kedua tangan untuk memeluknya di depan gawang yang dikawal Jose Vicente Train.

Camp Nou yang sempat tercenung kini meledak dalam gemuruh. Evaristo, penyerang Brasil itu, baru saja mencetak gol yang 60 tahun kemudian dikenang sebagai yang termanis. Camp Nou mengabadikannya dalam potret hitam putih. 

Laga sudah sampai pada menit ke-82, Evaristo melompat di depan gawang. Saat melayang di udara, ia menjatuhkan diri tanpa hasrat mengelabui wasit. Evaristo menyodorkan kepalanya ke depan untuk menerima bola yang tak mampu diraih oleh kakinya.

Lompatannya ternyata lebih tinggi dari jangkauan kiper. Bola melambung melewati lengan Train yang terentang menghalangi. Dalam hitungan sepersekian detik, dalam kecepatan yang membuat manusia tak mampu memanggil nama Tuhan dalam hati, Train hanya bisa menoleh ke belakang menyaksikan jala gawang dan bola berpagut mesra.

Dengan cara itu Evaristo mengantar Barcelona menang agregat 4-3 atas Real Madrid dan lolos ke perempat final. Dengan kegilaan itu Evaristo memulangkan Madrid, memastikan tim kebanggaan Jenderal Franco itu tak mampu menjadi raja Eropa dalam lima musim beruntun.

Sepak bola adalah tanah yang sibuk. Untuk mereduksi kalimat itu menjadi satu nama, kita hanya perlu mengucap El Clasico. Laga ini ramai betul, bising, penuh harap, dan ketakutan. Dua hingga satu pekan sebelum kedatangannya, orang-orang sibuk membicarakan dan menghitung segala kemungkinan yang bakal terjadi: Madrid bakal babak belur, tetapi, hei, Barcelona juga bisa saja luluh lantak.

Cerita-cerita masa lalu diungkit. Segala macam kejadian yang mencuat bahkan sebelum si pengumbarnya lahir bersileweran dari mulut ke mulut.

Jurnalis-jurnalis menjadi pendongeng yang menceritakan legenda bertabur epos maupun tabu yang dikubur dalam-dalam. Orang-orang bergegas membawa persembahan ke altar doa masing-masing, memohon welas asih dewa sepak bola untuk menurunkan remontada jika tim yang mereka cintai tertinggal dari lawan.

Kegaduhan datang serupa iring-iringan tanpa putus meski El Clasico berulang kali tak meninggalkan apa pun selain penyesalan mereka yang menahan kantuk semalam suntuk. El Clasico adalah kisah untuk orang-orang ajaib. Tak semua orang bisa ada di sana.

Ganjaran bagi dia yang sanggup menaklukkan El Clasico bukan hanya keabadian. Kepada dia yang sanggup membuat waktu terhenti beberapa saat, El Clasico menghadiahkan cinta dari dua kubu yang berseteru.

***

Setahun lebih sedikit sejak membukukan gol yang membuat sepak bola Catalunya sah-sah saja untuk membusungkan dada di hadapan Madrid, Evaristo mengangkat kakinya dari Camp Nou. Musim panas 1962, ia meninggalkan Barcelona untuk bergabung dengan Real Madrid.

Sepak bola tertegun, menerka-nerka apa yang membuat Evaristo berani mengambil keputusan yang bisa saja membuatnya dihantam ancaman mati tersebut. Empat dekade setelah Evaristo pindah ke Madrid, Luis Figo mengambil keputusan serupa. Dilempar kepala babi adalah ganjaran yang didapatnya ketika turun arena berseragam putih-putih khas Madrid di laga El Clasico.

Perlakuan demikian tidak didapat oleh Evaristo. Alih-alih dibenci, ia malah dibela oleh para suporter Barcelona. Menurut mereka, keputusan itu diambil karena manajemen Barcelona tak becus memperlakukan sang pemain.

Kepada Gary Meenaghan untuk BBC, Evaristo memaparkan alasannya bertolak ke Madrid. Katanya, ketika itu manajemen memintanya untuk dinaturalisasi menjadi warga negara Spanyol. Pasalnya, Barcelona ingin mendatangkan pemain asing lagi, sementara klub harus tunduk pada aturan kuota pemain asing yang disusun oleh UEFA.

Pada 1961/62 atau musim terakhir Evaristo di Camp Nou, Barcelona memiliki delapan pemain asing. Eulogio Martinez tidak dihitung karena pada 1955 ia memutuskan untuk berpindah kewarganegaraan dari Paraguay menjadi Spanyol.

Seharusnya mengganti kewarganegaraan menjadi Spanyol bukan persoalan besar bagi Evaristo. Sepak bola Spanyol memberikan hampir segalanya bagi Evaristo. Rumah mewah, kesempatan untuk menikahi cinta pertama dan hidup bahagia, Mercedes, gaji mentereng, popularitas, dan sejarah.

Jika ragu dan butuh tempat bertanya, Evaristo bisa datang kepada senior dan rekan setimnya, Kubala. Setelah membela Republik Ceko dan Hongaria, ia menerima kewarganegaraan Spanyol pada 1952 dan tak pernah kehilangan nama besar. Begitu pula dengan Ferenc Puskas yang waktu itu merupakan pemain Madrid.

Evaristo ternyata berbeda. Ia sah-sah saja meninggalkan Brasil karena pekerjaannya sebagai pesepak bola. Namun, ia tak mau menghapus Brasil dari identitasnya.

Brasil yang dikenal Evaristo adalah tepi jalan raya, bekas pelataran rumah, gang sempit, dan segala macam lahan yang tidak datar. Brasil yang tak bisa disingkirkan Evaristo adalah rumah-rumah di utara Rio de Janeiro. Tak masalah jika tempat itu jauh dari pantai cemerlang yang menjadi langganan foto kartu pos Brasil. Selama bola bisa digocek dan ditendang, Evaristo mencintai Brasil dengan senang hati.

Di Brasil yang dikenalnya itu, Evaristo juga berkenalan dengan sepak bola. Di tempat-tempat tadi ia berlari, tertawa-tawa merayakan gol, dan pamer kemampuan saat menggocek bola yang agak berbeda. Katanya, bola yang dipakainya terbuat dari semacam karet yang agak lunak dan berat agar tidak bisa ditendang terlalu jauh.

Evaristo kecil dan kawan-kawannya mesti bisa menyesuaikan diri dengan ruang yang sempit. Dengan begitu, bola tak akan bisa direbut lawan dan akan tetap menempel di kakinya. Orang-orang melihatnya sebagai sepak bola jalanan biasa. Begitulah cara anak-anak Brasil bersenang-senang dalam kemiskinan, kata mereka.

Kenangan masa kecil itu pula yang dipakai orang-orang untuk meyakinkan Evaristo bahwa menjadi warga negara Spanyol adalah anugerah. Bagi para pesepak bola, tiba di Spanyol adalah kemerdekaan. 

Orang-orang boleh mencibir Franco dan ambisi diktatornya. Namun, tinggal di Spanyol, bagi Zoltan Czibor yang memang tak mengganti kewarganegaraan Hongaria-nya, adalah jalan keluar untuk menghindari komunisme. Bagi Evaristo dan pemain-pemain Amerika Latin, bersepak bola di Spanyol sama dengan mengucapkan selamat tinggal kepada kemiskinan.

Akan tetapi, Evaristo ingat betul hari-harinya di Brasil. Ia tahu bahwa negerinya ini melarat dan pemerintahnya tak becus. Meski demikian derai tawa saat ia memainkan sepak bola jalanan adalah keriaan sejati. Brasil adalah tanah yang membuktikan bahwa kegembiraan yang diunduh dengan cara sederhana adalah kegembiraan yang awet.

Evaristo tak pernah bermimpi kelewat jauh untuk menjadi pesepak bola. Ia hanya bermain bola untuk bersenang-senang. Namun, kesenangan itu membuat gocekan bolanya sulit dihentikan lawan. Kegembiraan itu membuat kakinya bergerak lincah tanpa beban. Keriaan itu membuat sepak bolanya menarik, lalu dilihat oleh pencari bakat yang memberinya kesempatan berlaga sebagai pemain amatir di Madureira.

Dari tempat itu pula ia dipanggil Timnas Brasil untuk Olimpiade 1952. Tak ada gelar juara yang dibawanya pulang dari Finlandia. Namun, lima tahun setelahnya ia mencetak lima gol dalam kemenangan 9-0 atas Kolombia. Penampilan di Olimpiade itu pula yang membuat pintu Flamengo dibukakan untuknya. Klub itu adalah cinta pertama dan cinta mati Evaristo.

Spanyol memoles Evaristo menjadi bintang paling benderang di lapangan bola. Namun, hanya Brasil yang bisa memberinya keriangan dan imajinasi yang membuat kaki-kaki kurusnya berkawan karib dengan bola.

***

Sebelum tuntutan untuk mengganti kewarganegaraan itu, Barcelona pernah mengecewakan Evaristo. Saat menandatangani kontrak pada 1957, Barcelona menyebut bahwa mereka tidak akan menghalangi Evaristo jika terpilih masuk Timnas Brasil untuk Piala Dunia 1958.

Yang terjadi adalah kebalikannya. Evaristo tak boleh berlaga di Piala Dunia karena Barcelona mesti berlaga di Copa del Espana. Turnamen itu dibuat oleh federasi karena Spanyol tak lolos Piala Dunia. Ironis, Brasil malah menutup Piala Dunia 1958 dengan kalungan medali juara.

Real tak peduli dengan darah yang mengalir dalam tubuh Evaristo. Yang mereka inginkan hanya Evaristo berlaga untuk mereka. Luka akibat kekalahan di European Cup 1960/61 memang sudah mengering dan sembuh. 

Namun, bekasnya yang tak pernah hilang adalah penegas bahwa tak boleh ada lagi kekalahan seperti itu dalam pertandingan mereka. Agar tak babak-belur ditusuk sembilu yang sama, Madrid harus menjadikan sembilu itu ke Santiago Bernabeu.

Bersama Madrid, Evaristo hanya merengkuh dua gelar juara La Liga. Sementara, ia menggamit lima trofi kampiun bersama Barcelona. Evaristo barangkali tak peduli-peduli amat dengan catatan itu. Pada akhirnya ia pulang ke Brasil, menikmati sisa kariernya, dan entah bagaimana caranya sampai pada satu titik yang membuatnya ingin melatih Timnas Irak.

Sama seperti cerita dulu, Barcelona dan Real Madrid tetap bersaing sengit. Pertemuan keduanya adalah cerita tentang rivalitas identitas meski asal-muasalnya tak jelas. 

Evaristo menyaksikan pertandingan-pertandingan itu sambil menimang-nimang cicitnya. Setiap kali wasit meniup peluit tanda El Clasico dimulai, Evaristo akan tersenyum, lalu teringat bahwa sekonyol-konyolnya permusuhan adalah ia yang mencintai orang yang sama.