Mendengar Kekalahan

Foto: FC St. Pauli

Kekalahan bisa didengar. Semakin lama semakin nyaring. Semakin nyata.

Kekalahan bisa didengar. Pada suara-suara parau pemain saat meladeni wawancara di mixed zone. Pada sunyi yang panjang dari tribune selepas wasit meniup peluit akhir pertandingan. Pada kalimat-kalimat terbata seorang pelatih di konferensi pers selepas laga.

Itu yang saya dengar Selasa (30/1/2024) lalu di Millerntor selepas laga St. Pauli vs Fortuna Düsseldorf. Laga perempat final DFB Pokal itu berakhir untuk kemenangan Düsseldorf melalui drama adu penalti.

Ini adalah kekalahan pertama St. Pauli di seluruh kompetisi musim ini. Ini adalah pertama kali saya mendengar kekalahan sejak, well, April tahun lalu. Delapan bulan saya tak pernah menyaksikan dan mendengar St. Pauli kalah, sehingga kekalahan kemarin terdengar begitu janggal.

Jika menengok pertandingan tersebut, saya paham mengapa St. Pauli kalah. Sejak awal laga, mereka kesulitan membongkar blok pressing tim tamu. St. Pauli dipaksa melepas bola-bola panjang, yang kemudian menjadi bencana buat mereka; Düsseldorf berhasil memenangkan bola kedua, membuat mereka mampu melancarkan serangan balik dan mencetak gol.

Dua kali situasi build-up yang gagal membuat Düsseldorf, yang praktis hanya menunggu St. Pauli melakukan kesalahan, berbuah gol. Dua kali Düsseldorf unggul di Millerntor, sesuatu yang tak pernah dilakukan tim manapun musim ini.

Namun, saya juga bisa paham andai pertandingan berakhir untuk kemenangan St. Pauli. Dua kali tertinggal, dua kali pula mereka mampu mencetak gol balasan. Bahkan gol kedua dicetak secara dramatis pada menit 120+1. Pada babak adu penalti, kiper St. Pauli, Sascha Buchert, jugalah yang pertama kali melakukan penyelamatan.

Akan tetapi, semesta memang gemar bercanda. Dua penendang terakhir St. Pauli gagal menuntaskan tugasnya dengan sempurna. Marcel Hartel, eksekutor pamungkas, bahkan mendapat dua kali kesempatan (setelah kesempatan pertama dianulir akibat kiper lawan melakukan pelanggaran), tapi tetap dua sepakannya gagal.

Malam itu jadi milik Düsseldorf setelah menyelesaikan laga dengan eksekusi panenka yang dilanjutkan dengan selebrasi konyol di depan Ultra St. Pauli. Sesudahnya, seluruh stadion (selain tribune yang diduduki suporter tandang) menjadi sunyi.

Saya bergerak ke Mixed Zone dan kemudian mendengar salah satu suara paling frustrasi di sana. Itu terjadi saat Dapo Afolayan menjawab beberapa pertanyaan wartawan. Suara yang keluar dari mulut pemain berpaspor Inggris itu bukan hanya terdengar seperti kekalahan, tapi juga terdengar seperti sebuah patah hati.

Maurides Roque, pemain lain yang gagal mengeksekusi penalti dengan sempurna malam itu, berjalan menunduk sambil menangis menuju ruang ganti. Ia mengalami cedera sepanjang musim dan itu adalah penampilan terbaiknya setelah pulih, tapi malam berujung pahit buatnya.

Di ruang konferensi pers, Fabian Hürzeler, pelatih St. Pauli memberikan pernyataan dengan terbata. Pandangannya mengawang. Kekalahan memang sesuatu yang asing buatnya, mengingat sejak ditunjuk sebagai pelatih St. Pauli pada akhir 2022, ia hanya pernah mencicipi tiga kekalahan kompetitif. Satu terjadi di malam itu.

Tak ada cerita ulangan dari musim 2005/06 saat St. Pauli mampu lolos ke babak semifinal DFB Pokal. Langkah mereka terhenti dan ini adalah pengingat bahwa mereka mampu terpeleset kapan saja. Saat ini, St. Pauli masih belum terkalahkan di 2. Bundesliga dan mereka memimpin klasemen. Dan setelah kekalahan, pandangan mereka terhadap sisa musim bisa berbeda.

Memang aneh ketika mengikuti sebuah tim dengan catatan tak terkalahkan yang begitu panjang. Terlebih buat St. Pauli yang pada musim-musim sebelumnya begitu inkonsisten dan acap menelan hasil yang tak memuaskan. Rentetan kemenangan, tren tak terkalahkan bukanlah hal yang mereka kenal. Namun, hal-hal itu kini jadi teman karib.

Saya kini mengerti seperti apa rasanya jadi pendukung Bayer Leverkusen sekarang. Betapa mereka pun jadi begitu asing dengan kekalahan setelah Xabi Alonso datang. Saya pun jadi mengingat hal yang sama ketika Jürgen Klopp datang dan kemudian membawa Liverpool menjadi karib dengan kemenangan. Kekalahan terasa jauh dan ganjil.

Entah apa yang akan terjadi di akhir musim nanti. Apakah St. Pauli bakal menjadi juara 2. Bundesliga dan menggenggam tiket promosi? Apakah hal yang sama berlaku buat Leverkusen di Bundesliga? Jika kekalahan terus jarang mereka dengar, kemungkinan itu terbuka lebar.

Yang jelas, belakangan dua tim ini tak hanya berkait dalam hal meraih rentetan laga tanpa kalah, tapi juga berkelindan dalam rumor yang sama. Yap, rumor soal pelatih mereka. Xabi Alonso di Leverkusen disebut-sebut sebagai pengganti Klopp di Liverpool. Dan, dari situ, rumor juga berembus bahwa Fabian jadi kandidat pengganti Alonso jika ia pergi.

Mengganti satu pelatih yang punya catatan kekalahan kecil dengan pelatih lain yang punya persentase kemenangan besar memang hal yang masuk akal. Mengganti pelatih yang punya filosofi dan sistem permainan jelas dengan nama lain yang juga memiliki prinsip yang sama juga terdengar begitu logis.

Buat saya pribadi, saya ingin ketiganya bertahan di tempat mereka masing-masing sekarang. Tak ada yang pergi. Namun, sepak bola tak pernah berjalan sesuai harapan siapa pun. Klopp mengumumkan pengunduran dirinya secara tiba-tiba, di tengah kondisi di mana kekalahan juga mulai terdengar begitu jauh.

Pengumuman yang hanya berselang beberapa hari ke kekalahan perdana St. Pauli musim ini. Pengumuman yang membuat pekan sepak bola saya menjadi begitu melankolis. Pengumuman yang juga terdengar seperti sebuah kekalahan, meski setelahnya Liverpool selalu mampu meraih kemenangan—bahkan dengan skor yang sangat besar.

Kekalahan memang bisa didengar. Terkadang ia menjelma menjadi kekhawatiran-kekhawatiran yang kadang terbesit di kepalamu saat melihat timmu terus-menerus meraih tren positif. Semakin lama ia terdengar semakin nyaring. Dan nyata.