Menggugat Nutmeg

Ilustrasi: Marcel Strauss/Unsplash

Apa untungnya kita mengglorifikasi nutmeg? Apa bedanya ia dengan trik biasa manakala ada seorang pemain yang sedang menyerang melewati pemain yang sedang bertahan?

Tahukah kamu, dulu mereka menjuluki Diego Forlan apa? The Clown. Si Badut. Melihat Forlan pada akhirnya menjadi bintang di Piala Dunia dan salah satu striker yang dihormati, julukan itu tak ubahnya lelucon belaka.

Forlan, sekalipun memulai kariernya di Manchester United dengan menjemukan, pada akhirnya pergi sebagai pahlawan. Dan ini bukan soal berapa banyak gol yang ia sumbangkan, melainkan kepada siapa gol-gol tersebut ia cetak.

Gol-gol paling penting Forlan lahir di Anfield. Pada sebuah Minggu sore di Desember 2002, ia dua kali membobol gawang Jerzy Dudek untuk membawa United menang 2-1 atas Liverpool. Cuma dua kali Liverpool kalah di kandang pada musim itu —dan dua-duanya dari klub asal Manchester. Satu di antaranya menjadi hari bersejarah buat Forlan.

“Seperti kata Ryan Giggs, hari itu tak ada seorang pun —tak ada seorang pun— yang boleh menghalangi kami merayakannya,” tulis Forlan pada sebuah kolomnya di The National.

Sepasang gol itu juga yang membuat Forlan abadi lewat sebuah chant yang didendangkan oleh para pendukung United. Semuanya cukup untuk mengobati setengah musim pertama yang begitu kering karena ketiadaan satu gol pun.

Satu bulan sebelum itu, Forlan sempat membuat gol di pengujung laga ketika United hampir bermain imbang 1-1 dengan Southampton. Lewat sepakan melengkungnya dari luar kotak penalti, Forlan —yang waktu itu masuk sebagai pemain pengganti— mengubah kedudukan menjadi 2-1.

Saking senangnya jadi pahlawan, Forlan merayakan golnya dengan berlebihan. Selain menghampiri tribune pendukung, ia melepaskan jersinya hingga bertelanjang dada. Apes, Forlan tidak bisa mengenakan jersinya tepat waktu.

Sampai sepak mula dilakukan kembali, striker asal Uruguay itu masih belum mengenakan jersinya. Maka, jadilah ia berlari mengejar-ngejar bola dengan bertelanjang dada.

Komentator menyebut pemandangan ini seperti latihan belaka. Sementara, saya lebih suka mengomentarinya sebagai sepak bola tanah merah, di mana temanmu yang iseng dan tidak niat main tiba-tiba masuk lapangan dan ingin menggerecoki permainan.

Apa pun, pemandangan itu lebih cocok untuk julukan Forlan sebagai The Clown itu. Saya juga tidak tahu, apakah ketika latihan Forlan memang se-iseng itu sehingga membuatnya tampak seperti badut, alih-alih pria yang di kemudian hari bakal memenangi sepatu emas di Piala Dunia.

***

Dalam dunia sepak bola, tentu saja kamu akan mengenal berbagai macam badut, mulai dari bek yang doyan betul bikin blunder, gelandang-gelandang mahal tidak tahu malu yang kerjaannya kehilangan bola melulu, hingga orang-orang federasi yang tidak becus mengurus.

Selain badut-badut tersebut, kamu juga bisa mengenali jenis lainnya: Pemain-pemain yang kena nutmeg pada saat latihan. Biasanya, mereka-mereka ini yang acap jadi bahan tertawaan pada sesi rondo (atau dalam Bahasa Indonesia, sesi kucing-kucingan).

Sesungguhnya sulit untuk menemukan padanan yang tepat untuk nutmeg dalam Bahasa Indonesia. Kita lebih mudah mengenalinya sebagai “kena kolongin bola”. Namun, kita sudah memahami situasi yang dimaksud: Nutmeg adalah kejadian di mana si pemain yang sedang dalam posisi bertahan gagal menghentikan bola yang lewat sela-sela kakinya.

The Guardian bahkan pernah merilis tulisan untuk mencari tahu asal-usul kata nutmeg ini. Awalnya, mereka mengira bahwa itu adalah bahasa slang cockney dari 1940-an yang berarti “kaki”. Namun, setelah sedikit mencari tahu lagi, mereka mengetahui bahwa nutmeg sudah ada dalam dunia teks dan percakapan sejak 1870.

Kata tersebut mereka temukan sebagai bahasa slang era Victorian pada Kamus Bahasa Inggris Oxford. Di dalam kamus tersebut, disebutkan bahwa nutmeg adalah “(situasi di mana) seseorang terkena tipu, terutama lewat cara-cara yang bikin dirinya jadi terlihat bodoh.”

Oleh karena itu, kamu akan sering melihat pemain yang terkena nutmeg mengeluarkan ekspresi seperti baru memergoki pasangannya menyelewengkan duit untuk membeli PS5. Ada perasaan terobok-obok manakala bola melewati kaki dan si penggiring bola melintas dengan lekasnya.

Andros Townsend paham betul bagaimana rasanya. Satu ketika, ia membiarkan Anthony Martial membuatnya tampak bodoh ketika melakukan nutmeg pada dirinya. Karuan saja, Townsend langsung terlihat seperti orang yang baru kena kecup Dementor —jiwanya lepas entah ke mana.

Tapi, tahukah kamu bahwa sesungguhnya nutmeg hanya menyenangkan untuk mereka yang menjadi pelakonnya? Sementara, buat kita yang menjadi penonton, melihat kejadian orang seperti Townsend lemas ketika bola melewati sela-sela kakinya sesungguhnya amat memuakkan.

***

Saya kenal satu orang senior yang punya tutur kata teramat halus. Ia tidak pernah memaki (setidaknya di muka umum) dan tidak pernah pula mencemooh. Oleh karena itu, manakala dia mengumpat, itu akan menjadi sebuah kejadian luar biasa.

Pada suatu hari, ia gusar melihat sebuah adegan di mana seorang pemain bertahan langsung lemas begitu saja ketika kena nutmeg. Ia lantas menyerukan kata-kata yang masih saya ingat sampai hari ini: “Ya, kejar lagi, dong, goblok!”

Sedemikian bikin frustrasinya melihat seorang pemain bertahan langsung menyerah begitu saja tiap kali bola melewati kaki-kakinya. Kalau itu adalah sesi latihan, kita bisa memaklumi. Namun, kalau situasinya adalah pertandingan? Maaf-maaf saja, rasa-rasanya si pemain bertahan itu memang pantas kena makian.

Namun, boleh jadi, ini juga karena kita terlalu mengglorifikasi kejadian nutmeg itu sendiri. Kita memperlakukannya seolah-olah nutmeg setara dengan adegan Diego Maradona mempermalukan hampir seluruh pemain Inggris atau pengorbanan Yoshiharu Kubo yang meninggal selepas menggiring bola sendirian untuk mencetak gol.

Padahal, apa bedanya nutmeg dengan dribel melewati orang seperti biasanya? Pernahkah kamu melihat seorang bek langsung kolaps harga dirinya begitu lawan melewati dirinya dengan satu sentuhan. Rasa-rasanya, melihat Jerome Boateng roboh seolah-olah baru ditiup angin ketika dilewati Lionel Messi lebih menggelikan daripada itu.

Glorifikasi nutmeg itu pula sepertinya yang membuat para pemain bertahan seperti punya malu yang tak tertanggungkan acapkali kejadian tersebut menimpa dirinya. Ia seolah-olah menjadi badut yang riasannya tidak akan pernah hilang seberapa keras pun usahanya membersihkan dan menyeka wajahnya.

Dalam posisi pertandingan serius, di mana mempertahankan space dan posisi belakangan menjadi seperti mempertahankan posisimu berpijak pada saat peperangan, merasa malu karena baru kena nutmeg rasanya merupakan sesuatu yang amat remeh.

Andai saya menjadi pelatih dan melihat pemain bertahan saya kehilangan jiwa karena baru kena satu nutmeg, sepertinya saya akan meneriakkan kata-kata milik senior saya itu:

“Ya, kejar lagi, dong, goblok!”