Menyambut Jurrien Timber

Foto: Instagram @jurrientimber.

Keberhasilan mendapatkan Jurrien Timber adalah keuntungan besar, sedangkan kegagalan untuk mendatangkannya adalah kemalangan luar biasa.

Wajah meneduhkan ala Belanda tergambarkan oleh kehadiran maestro-maestro seperti Desiderius Erasmus, Rembrandt Harmenszoon van Rijn, hingga Vincent van Gogh. Sementara wajah memukaan muncul lewat kelahiran orang-orang seperti Jan Pieterszoon Coen.

Seolah menjadi satu dengan sejarah yang menampilkan dua wajah itu, sepak bola Belanda turut menjelma dalam dua rupa berbeda. Contoh wajah buruk adalah perlawanan Marco van Basten kepada pelatihnya, Thijs Libregts, sementara yang menawan tercermin dari permainan indah maestro lapangan hijau seperti Rinus Michels dan Johan Cruyff.

Kedua wajah itu bergerak turun-temurun. Di era modern kita mengenal taktik antah berantah Ronald Koeman yang bahkan membuat klub sebesar Barcelona tambah berantakan. Wajah rupawan itu turut beranak cucu dan melahirkan pemuda bernama Jurrien Timber yang tumbuh bersama Ajax. 

Ketika tim ini masih dilatih Erik ten Hag, Timber acap mengisi barisan pertahanan. Keputusan Ten Hag untuk menjadikannya pilihan utama berkaitan dengan tipe permainannya yang tepat guna.

Ten Hag menyukai fullback-nya melakukan underlap, sementara pemain sayap menjaga kelebaran. Rotasi ini menciptakan ruang yang dapat dimanfaatkan karena pemain lawan diseret menjauh dari posisinya oleh penjaga mereka. Jika dimainkan sebagai bek kanan, Timber diinstruksikan untuk bermain sangat sempit. Model permainan ini dapat menarik pemain lawan sehingga memberikan ruang bagi pemain sayap untuk berlari.

Satu hal paling menggembirakan tentang Timber adalah dia sangat vokal. Meski muda, dia berani untuk menginstruksikan ke mana rekannya harus berlari. Saat berlaga sebagai bek tengah, ia akan mengambil tanggung jawab untuk mengatur lini belakang. Keberadaan Timber di lapangan memberikan keleluasaan kepada Ten Hag untuk memasang garis pertahanan tinggi. 

Kecepatan dan kecermatan pengambilan keputusan Timber sebagai pemimpin di lini belakang adalah kunci garis pertahanan tinggi Ajax. Dia mengomandoi lini pertahanan dalam penerapan offside trap yang merupakan salah satu strategi Ajax untuk mengakali rentannya garis pertahanan tinggi yang diterapkan.

Ajax bukan surga, tetapi menjadi salah satu tempat terbaik bagi pemain-pemain muda seperti Timber. Pergi satu tumbuh seribu, klub ini seperti tidak pernah kehilangan akal untuk mencetak talenta-talenta menakjubkan.

Pangkal keberhasilan ini adalah keputusan Ajax sendiri. Ketika mendapatkan tumpukan pundi-pundi Euro dari penjualan pemain, Ajax tidak gegabah dengan mendatangkan pemain bintang. Yang mereka lakukan adalah menginvestasikan pendapatan mereka pada pengembangan klub dan akademi.

Salah satu langkahnya adalah dengan membentuk School van de Toekomst pada 2015. Jika diterjemahkan secara harfiah, artinya akan menjadi Sekolah untuk Masa Depan. Ajax, rupanya, tak puas hanya dengan memiliki akademi terbaik di dunia. 

Sekolah tadi adalah sekolah konvensional yang kurikulumnya dipadukan dengan kurikulum olahraga dan sepak bola. Lewat sekolah ini, Ajax tak hanya membangun masa depannya dengan meningkatkan skill para pemainnya, tetapi juga menjamin standar pendidikan para pemainnya.

School van de Toekomst juga menjadi langkah Ajax menjaga filosofi mereka tetap hidup. Bagi Ajax, nostalgia dan cerita dari mulut ke mulut tidak cukup hebat untuk membuat filosofi mereka dapat diwariskan secara turun temurun. Generasi terkini perlu menghidupinya, tentunya dengan modifikasi agar tetap relevan dengan perkembangan sepak bola itu sendiri.

Di sekolah ini, sejak usia dini mereka ditempa untuk dalam bentuk 4-3-3 kebesaran Ajax. Mulai dari penjaga gawang hingga penyerang, semua dididik untuk memastikan sepak bola ala Ajax tak punah dimakan zaman.

Penjaga gawang diajarkan cara memberikan operan cermat kepada bek tengah atau fullback. Dari bek, aliran bola dilanjutkan dengan umpan terobosan melalui gelandang atau pemain sayap. Para penyerang dididik agar terbiasa bergerak merusak pertahanan lawan. Bola yang hilang akan direbut kembali dalam tiga detik. Jika gagal atau gol tercipta, sistem ini kembali diulangi dari awal. 

Dalam permainan Ajax, kedua fullback sering diselipkan untuk membentuk tiga personel lini tengah. Yang mesti dipastikan adalah keberadaan seorang gelandang bertahan--biasanya Edson Alvarez--dalam formasi tersebut. Ini penting karena dapat memberikan kebebasan kepada dua gelandang tengah lainnya–biasanya Ryan Gravenberch dan Davy Klaassen–untuk maju dan menciptakan formasi lima personel di lini depan. Singkatnya, skema 2-3-5 adalah fondasi Ajax ala Ten Hag dalam menyerang.

Pemosisian dan pergerakan pemain menjadi kunci moncernya serangan Ajax ala Ten Hag. Sang pelatih biasanya akan menugaskan para pemainnya untuk mengisi semua koridor lapangan (flank/sayap, half-space, tengah) ketika sudah memasuki area lawan. Tujuannya adalah menarik perhatian lawan dan memperbanyak opsi sehingga serangan tak mudah putus.

Ten Hag terinspirasi dari Pep Guardiola. "Saya ingat bagaimana Pep berlatih dengan memindahkan fullback-nya ke tengah," ujar Ten Hag dalam wawancaranya dengan Sueddeutsche Zeitung. Guardiola merupakan salah satu sosok pelatih yang menjadi panutan Ten Hag.

Dalam fase ini keberadaan Timber sangat diperlukan karena ia memiliki pergerakan tanpa bola yang dapat membingungkan lawan. Selain itu, Timber dapat diandalkan ketika tim harus melakukan overlapping di sisi kanan. Dalam hal ini, tentu saja ia bertandem dengan winger kanan. Menyaksikan kefasihan Timber mengatur lini belakang atau memulai pergerakan dari tugasnya sebagai bek kanan bukan kejutan jika kita mengetahui bahwa ia pun dibesarkan di School van de Toekomst.

Daya jelajah Timber didukung oleh statistik pertahanannya yang matang. Pada musim 2021/22, ia membuat 61 recovery di area permainan lawan. Statistik ini menunjukkan bahwa Timber lihai dalam menghadapi serangan balik lawan sekaligus cekatan mengoreksi kesalahan rekannya yang bisa saja membahayakan gawang sendiri. Timber juga memenangi 73% dari tantangan pertahanannya pada musim 2021/22. Angka itu membaik jika dibandingkan dengan musim 2020/21 (69%) dan 2019/20 (59%).

Pada intinya cerita Timber berkisah tentang anak muda yang tahu persis apa yang harus dilakukan bagi timnya. Inilah yang membuatnya menjadi rebutan sejumlah klub ternama. Keberhasilan mendapatkan kesediaannya untuk berlaga adalah keuntungan besar, sedangkan kegagalan untuk mendatangkannya adalah kemalangan luar biasa. Bukan begitu, Manchester United?