Mereka yang Terlupakan: Peran Fisioterapis di Sepak Bola

Chris Morgan (kiri) ketika masih bersama Arsenal pada musim 2019/20. Foto: Twitter @ChrisMorgan10.

Sepak bola kerap hanya dilihat dari pemain dan pelatih di dalamnya. Namun, jangan pernah lupakan sosok-sosok lain di belakangnya.

Franck Ribery tahu betul bagaimana rasanya hidup dengan belenggu cedera. Hanya ada satu hal yang ada di pikiran saat ia mengalaminya, kariernya tamat, cepat atau lambat.

Pada usia 13 tahun, Ribery sudah digadang-gadang menjadi pemain besar. Banyak klub profesional menjadikannya sebagai buruan. Tak sedikit juga jurnalis olahraga yang melabelinya sebagai tumpuan Prancis di masa depan.

Ribery mengambil keputusan untuk menerima pinangan Akademi Lille. Ia beralasan bahwa Lille punya segala hal untuk menempa dirinya. Tiga tahun berada di sana, ia dilepas karena tak cukup pandai dalam hal akademis dan tingkah lakunya minus.

Belakangan, Ribery tahu alasan utama ia dilepas, cedera siku yang tak mungkin bisa sembuh. Bagi anak usia remaja dan memiliki mimpi besar di sepak bola, hal itu tentu menyiksa. Beruntung, nasib mempertemukannya dengan Jean Fernandez.

Fernandez membentuk bakat dan terus menguji kemampuan Ribery. Sempat berpisah saat ia memutuskan hijrah ke Turki, mereka bereuni di Olympique Marseille. Di klub Selatan Prancis tersebut, nama Ribery harum.

Masalahnya, hidup tak berjalan semudah itu. Cedera lagi-lagi menjadi momok Ribery. Kali ini tak hanya siku, tapi juga kedua kaki. Ia bahkan banyak menghabiskan musim keduanya di Marseille dengan menjalani terapi.

Musim panas 2007/08, ia pergi ke Bayern Muenchen. Orang pertama yang ia cari sesaat setelah tiba di Bayern adalah Gianni Bianchi. Bianchi adalah fisioterapis tim utama yang diboyong Bayern bersama Luca Toni, satu musim sebelumnya.

“Ribery punya satu masalah otot yang amat menyiksa. Beberapa dokter menyarankannya untuk operasi. Namun, saya merasa bahwa terapi biasa akan bekerja lebih baik daripada operasi,” tutur Bianchi kepada Ribery kala itu.

Ribery tak langsung percaya. Ia meminta Bianchi meminta izin kepada kepala tim medis, Hans-Wilhelm Müller-Wohlfahrt, dan bersumpah demi anak perempuannya. “Untung berhasil!” kata Bianchi, “Anak perempuan saya tumbuh sehat dan Ribery tumbuh jadi pemenang.”

Sejak itu, Bianchi jadi orang kepercayaan Ribery. Ribery bahkan menawarinya posisi fisioterapis pribadi hingga posisi khusus di Timnas Prancis. Namun, ia menolak karena sudah puas dengan pekerjaan di Bayern.

Bianchi memiliki cara khusus terhadap penanganan cedera Ribery. Saat itu, fisioterapis umumnya hanya bertugas sebelum dan sesudah pertandingan, ia rutin mengecek kondisi Ribery. Bahkan saat libur dan jeda kompetisi.

“Masalahnya sekarang mungkin hanya trauma. Menurut saya itu hal yang wajar, ya. Bagi saya, ia tetap menjadi salah satu pemain yang hebat. Ditambah, ia memiliki mental dan semangat yang kuat,” kata Bianchi.

Sedikit demi sedikit, Bianchi mulai dipercaya oleh pemain-pemain lain. Arjen Robben dan Robert Lewandowski jadi contohnya. Robben bahkan diketahui sempat menawarkan Bianchi kesempatan untuk menjadi fisioterapis Timnas Belanda.

Suatu ketika, Ribery memutuskan untuk bergabung Fiorentina dan Bianchi masuk ke dalam rencananya. Alasannya: “Saya menolak ajakannya karena pergi dari Bayern mungkin menjadi keputusan yang buruk. Klub ini punya banyak hal yang mungkin tidak ditemukan di tempat lain.”

***

Dave Fevre tiba saat ruang ganti Manchester United sedang sesak bintang. Fevre sadar bahwa ia bukan siapa-siapa. Ia memenuhi ajakan bergabung United setelah metode fisioterapi yang ia lakukan berhasil di rugbi.

“Saya beruntung karena saat itu, Paul Ince, Ryan Giggs, Gary Pallister, dan beberapa pemain lainnya biasa bersosialisasi dengan fisioterapis, seperti Ellery Hanley, Martin Offiah, dan yang lain. Saya jadi tahu apa yang mereka harapkan dari kami,” kata Fevre kepada The Athletic.

Giggs adalah salah satu pasien pertama Fevre. Di usia yang saat itu baru memasuki awal 20-an, ia sudah mengalami cedera hamstring yang akut. Tim medis United pun bertanya-tanya, apa yang salah dengan kondisi Giggs?

Mereka pun coba menginspeksi banyak kemungkinan yang membuat kaki Giggs sedemikian mengkhawatirkannya. Ternyata alasannya adalah kondisi jok mobil. Lantas, semua pemain berikut mobilnya diperiksa.

“Mayoritas mobil mewah tidak memiliki kursi yang nyaman. Padahal, hampir semua pemain menyetir 90 menit hingga 2 jam untuk datang dan pulang latihan. Dalam kasus Giggs, kami memastikannya agar tidak duduk terlalu rendah atau mundur,” kata Fevre.

Tidak hanya jok mobil, Fevre juga menceritakan metode lain yang digunakan tim medis United medio 90-an untuk membantu pemain terbebas dari segala macam bentuk cedera. Salah satunya adalah menentukan matras tidur.

“Saya ingat bahwa kami pernah melakoni pertandingan tandang sambil membawa matras lipat dan bantal milik pemain. Kami melakukannya karena beberapa pemain, seperti Paul Scholes, Henning Berg, dan David May memiliki asma yang bisa kambuh kapan saja,” imbuh Fevre.

1997/98 jadi salah satu musim terberat untuk Fevre. Bukan soal gaji yang turun atau beban kerja yang kian berat, melainkan tugas tambahan yang diberikan, yakni menangani cedera Roy Keane. Keane mengalami cedera ACL ketika hendak berduel dengan Alf-Inge Haaland.

“Ada lima pemain yang disegani jika berbicara ruang ganti tim. Jika mereka bisa membaur dengan Anda, maka pemain lain akan mengikutinya. Salah satu dari lima orang itu adalah Keane,” kata Fevre.

Ternyata, Keane saat cedera adalah sosok yang berbeda. Tanpa banyak celoteh, ia mengiyakan tawaran Fevre. Enam hari dalam satu pekan selama hampir satu musim dihabiskan Keane bersama Fevre.

“Kami menghabiskan banyak hal. Mulai dari beraktivitas di gym hingga bersepeda di wilayah pegunungan,” kata Fevre. Menjelang terapinya berakhir, Fevre meminta Keane untuk sedikit bermain lebih hati-hati. Keane mengangguk dan menyanggupi permintaannya.

Metode Fevre membuat Keane kembali ganas. Musim 1998/99, Keane tampil dominan dan hanya absen di tiga pertandingan liga. Prestasi terbaiknya musim itu: Membawa United meraih treble winners dan tidak lagi absen karena cedera kambuhan.

***

Juergen Klopp dan Christopher Rohrbeck memiliki hubungan yang teramat dekat sebagai manajer dan fisioterapis. Maka, saat Rohrbeck memutuskan untuk kembali ke Jerman, Klopp menginginkan orang dengan kemampuan yang sama. Pada akhirnya, Chris Morgan-lah yang dipilih.

Morgan bukan orang yang asing dengan Liverpool. 10 tahun kariernya sebagai fisioterapis dihabiskan di Liverpool. 2016 lalu, ia hijrah untuk memimpin tim medis Crystal Palace dan berikutnya Los Angeles Galaxy serta Arsenal.

Morgan rutin menjelaskan banyak hal soal dunia fisioterapi di akun Twitter-nya, yang dianggap hanya sebatas penanganan cedera dan tindakan pencegahannya. “Kami juga menangani segala yang berkaitan dengan kondisi pemain, terutama fisik dan performa.”

“Di luar itu, kami selalu berupaya melakukan analisis terhadap cedera pemain. Bagaimana cedera itu terjadi dan risiko untuk menguranginya. Agar, saat muncul cedera yang sama, kami dapat bekerja lebih efisien,” imbuhnya.

Morgan banyak belajar dari olahraga lain soal penanganan cedera, seperti atletik, rugbi, atau balap sepeda. Bahkan, ia mengaku tak segan untuk belajar dari bagaimana tim american football menangani atlet dari kemungkinan cedera.

2020 menjadi tahun ke-19 Morgan menjadi fisioterapis profesional. 2020 juga menjadi tahun ujian bagi Morgan. Sebabnya, baru sembilan pekan Premier League, Liverpool tercatat telah kehilangan 11 pemain akibat cedera.

Padatnya jadwal pertandingan kemudian jadi alasan mengapa banyaknya pemain berguguran. Morgan, meski memiliki kemungkinan untuk menjawab asumsi tersebut lewat akun Twitter-nya, memilih untuk diam.