Mixed-Review untuk Manchester United

Foto: Twitter @ManUtd.

Manchester United memang membuat momen-momen menyenangkan musim ini. Namun, ada juga sejumlah hasil mengecewakan yang meninggalkan aftertaste yang tak sepadan.

Andai performa Manchester United musim ini mendapatkan sorotan dari Pitchfork, ia mungkin bakal menerima mixed-review dengan sederet kritik di sana-sini. Ada beberapa single menarik, lengkap dengan hook yang earwormed, tetapi selebihnya biasa-biasa saja.

Untuk menutup review tersebut, mereka mungkin akan menulis seperti ini: “Setelah mendapatkan sejumlah kejutan yang menyenangkan, album ini meninggalkan aftertaste yang tak sepadan. Jadi, tolong jangan banyak berharap.”

United memang begitu. Mereka menciptakan momen-momen menyenangkan, mulai dari menang 6-2 atas Leeds United, melumat Southampton 9-0, hingga menyingkirkan Liverpool pada babak keempat Piala FA, tetapi ada saja sejumlah laga yang berakhir dengan mengecewakan.

Kekalahan 1-2 dari Sheffield United, hasil imbang 3-3 dengan Everton setelah kebobolan di injury time, dan hasil imbang 1-1 dengan West Bromwich Albion karena gagal membongkar pertahanan rapat adalah contohnya.

Boleh jadi para pendukungnya pergi tidur setelah menyaksikan laga-laga itu sembari membayangkan apa yang mungkin terjadi kalau satu atau dua peluang berhasil dimaksimalkan. Mungkin juga, mereka mengutuki betapa lamban dan rapuhnya lini belakang pada masa-masa krusial.

Sepak bola memang tidak mengenal pengandaian. Apa yang sudah terjadi dan tergariskan sudah tidak bisa diubah. Berandai-andai jalan ceritanya bakal berbeda karena beberapa hal pada akhirnya cuma upaya untuk menyenang-nyenangkan diri sendiri saja.

Buat United, pengandaian-pengandaian itu barangkali cuma bikin makin sakit saja. Sempat menduduki posisi teratas, kini mereka tersendat di urutan kedua dengan selisih 10 poin dari si pemuncak klasemen, Manchester City. Masokisme dan kesusahan yang acap dibikin sendiri ini memang sudah kepalang mendarah daging di United.

Lantas, kita kemudian bertanya, mengapa United bisa sedemikian kikuknya? Pada satu pertandingan, mereka bisa tampil luar biasa, tetapi pada pertandingan lainnya mati kutu dan bak kehabisan ide.

Yang paling kentara, ‘Iblis Merah’ biasanya tampil apik ketika menghadapi lawan-lawan yang berani bermain terbuka, tetapi betul-betul kerepotan ketika melawan kesebelasan-kesebelasan defensif atau yang bertahan dengan rapat.

Sang pelatih, Ole Gunnar Solskjaer, bukannya tidak pernah memikirkan solusinya. Ketika menghadapi Fulham, misalnya, Solskjaer menginstruksikan anak-anak buahnya untuk bermain dengan formasi 2-3-5 pada fase akhir serangan.

Formasi tersebut memungkinkan United untuk mengeksploitasi lima channel: Kedua sisi sayap, area tengah, dan kedua halfspace. Andai bola lepas, masih ada tiga orang dari tengah yang bisa mengambil alih kembali penguasaan bola atau melepaskan sepakan jarak jauh.

Pada akhirnya, kemenangan atas Fulham pun mereka dapatkan dengan cara yang disebut terakhir tersebut, yakni lewat sepakan jarak jauh dari pemain yang beroperasi di second line, Paul Pogba.

Apes, sejak menang atas Fulham itu, baru satu kemenangan di Premier League yang mereka dapatkan. Itu adalah kemenangan 9-0 atas Southampton. Sisa empat pertandingan lainnya berakhir dengan satu kekalahan (dari Sheffield) dan tiga hasil imbang (masing-masing dengan Arsenal, Everton, dan West Bromwich).

United masih menerapkan cara serupa ketika berusaha membongkar pertahanan rapat West Brom. Kedua full-back mereka bergerak aktif, entah melakukan underlap ataupun overlap, dan tak jarang melepaskan crossing sebagai usaha terakhir. Namun, upaya mereka untuk menembus via halfspace gagal karena kerapatan antarpermain West Brom.

Saking frustrasinya, United kemudian mengandalkan set piece dan sejumlah umpan lambung. Terbukti, Harry Maguire, kapten yang mendapatkan kans bagus pada ujung pertandingan tersebut, berhasil mendapatkan 6 sentuhan di area West Brom. Menurut The Athletic, cuma Marcus Rashford (7) yang memiliki sentuhan lebih banyak di antara pemain-pemain United lainnya hari itu.

Biasanya, ketika menghadapi persoalan seperti itu, United bakal menggunakan dribel sebagai cara untuk menembus pertahanan lawan. Namun, justru di sinilah persoalannya.

Dribel adalah aksi individu yang mengharuskan si penguasa bola untuk menaklukkan lawan, entah dalam kondisi satu lawan satu atau satu lawan dua (atau bahkan lebih). Ada risiko yang mesti ditanggung jika si penguasa bola kalah dalam duel itu: Lawan mendapatkan kesempatan serangan balik dan serangan tim sendiri terhenti di tengah jalan.

United adalah tim yang cukup sering menginstruksikan pemainnya untuk melakukan dribel. Menghadapi lawan yang bertahan dengan garis pertahanan tinggi atau berani bermain terbuka tentu bukan masalah. Namun, lain cerita kalau lawan bertahan dengan amat rapat.

Entah itu Marcus Rashford, Anthony Martial, atau Mason Greenwood biasanya bakal cepat frustrasi manakala kesulitan menembus pertahanan rapat itu dengan dribel. Seringnya United meminta pemain-pemain sayapnya untuk berduel satu lawan satu dengan dribel menunjukkan mereka memilih cara yang cukup merepotkan untuk membongkar pertahanan lawan.

Alih-alih begitu, ada cara yang sebetulnya lebih memudahkan: Bermain dengan kohesif lewat operan-operan cepat, positioning pemain, dan pergerakan tanpa bola. Dengan begitu, para pemain sayap mereka tidak dipaksa untuk bekerja sendirian membawa bola.

Sejauh Premier League 2020/21 berjalan, Rashford adalah pemain United yang paling banyak melakukan dribel (106). Rata-rata, menurut catatan WhoScored, ia melakukan 2,5 dribel sukses per laga. Sementara itu, Martial menorehkan rata-rata 1,6 dribel sukses per laga, sedangkan Greenwood 1 dribel sukses per laga.

Jika para pemain depan mentok, United biasanya bakal berpaling kepada Paul Pogba. Gelandang asal Prancis ini bisa melakukan dua hal, yakni melepaskan sepakan jarak jauh atau melakukan dribel. Pada Premier League musim ini, Pogba rata-rata melakukan 1,5 dribel sukses per laga.

Sebagai tim yang amat gemar bermain direct, senang melakukan transisi cepat dari fase bertahan ke menyerang, dan mengambil risiko, wajar kalau dribel dan umpan langsung menjadi senjata United. Problem baru muncul ketika pola direct itu berhadapan dengan tembok yang kokohnya minta ampun.

Pola 2-3-5 pada fase akhir serangan tidak akan berguna apabila para pemain masih dipaksa untuk membongkar pertahanan sendiri-sendiri, alih-alih bermain kohesif sebagai satu kesatuan.