Murderball

Ilustrasi: Arif Utama

Marcelo Bielsa adalah Terence Fletcher dalam 'Whiplash' dan tokoh-tokoh rekaan yang barangkali cuma ada dalam novel penulis Amerika Latin. Namun, orang terbiasa menyederhanakannya sebagai 'Orang Sinting'.

Saya tidak mengenal Marcelo Bielsa, tetapi sudah pernah membaca dia dilabeli macam-macam oleh macam-macam orang. Sinting, gila, keras, militan, dan yang paling banal: Overrated.

Bielsa, atas apa yang kita ketahui akan dirinya, hidup dari satu kesaksian ke kesaksian lainnya. Seolah-olah Bielsa adalah tokoh yang muncul dari imajinasi para penulis Amerika Latin.

Jorge Luis Borges pernah menulis bagaimana waktu pernah begitu baik meminjamkan sedikit porsinya kepada Jaromir Hladik, supaya Hladik bisa melunasi utangnya pada waktu: Menyelesaikan naskah dramanya yang sudah lama tertunggak.

Di hadapan regu tembak —karena waktu itu Hladik hendak dihukum mati— waktu berkehendak. Hladik menyelesaikan naskahnya dengan seketika di dalam benak. Tepat sebelum peluru menghujam.

Kalau Bielsa lahir dari kepala Borges atau Gabo, saya membayangkan dia adalah guru olahraga yang tinggal di kamar belakang sekolah. Saban sore, ia menyapu habis ruang-ruang kelas, bukan karena masih ada kotoran yang tertinggal, tetapi karena ia memang seobsesif itu.

Pada malam hari, ia menyempatkan diri untuk membaca ulang catatan pribadinya akan tiap-tiap murid yang ia asuh. Semuanya tidak ada yang terlewat. Satu per satu. Begitu tidur, ia bermimpi soal domba-domba yang menolak ia suruh untuk melompati pagar.

Bielsa boleh jadi adalah guru olahraga yang menyebalkan. Dia akan mengkritik kamu habis-habisan, lengkap dengan data dan poin-poin alasan mengapa kamu salah dan dia benar. Padahal, yang kamu lakukan cuma rol ke depan dan ke belakang.

Kalau tidak percaya, tanya saja eks pemain Bielsa di Athletic Club, Ander Herrera. Tak lama setelah Athletic takluk di tangan Barcelona pada final Copa del Rey 2012, Herrera memberikan pengakuan tanpa basa-basi. Menurutnya, para pemain Los Leones sudah kehabisan bensin waktu itu.

Karena digempur habis oleh Bielsa di tiap sesi latihan, kaki pemain-pemain Athletic copot pada akhir musim. Athletic-nya Bielsa adalah ejawantah dari pemikiran si pelatih: Sapu sampai habis, gempur sampai tuntas.

Pressing total di tiap jengkal lapangan itu melengkapi progresi direct ala tim-tim Bielsa. Banyak yang melabeli gaya main tim-tim Bielsa itu sebagai Murderball. Sama seperti karakteristik Bielsa, kita hanya bisa mengetahuinya dari satu kesaksian ke kesaksian lain.

Kapten Leeds, Liam Cooper, bersaksi bahwa Murderball adalah sesuatu yang brutal. Semuanya bermula di latihan dan bermuara di pertandingan. “Kamu harus benar-benar melihatnya langsung untuk bisa percaya,” kata Cooper.

Dalam wawancaranya dengan Sport Bible, Cooper menyebutkan beberapa kata dan frase untuk menggambarkan betapa brutalnya sesi latihan bersama Bielsa. Pertama-tama ia menyebut ‘100%’, lalu ‘chaotic (kacau)’, kemudian ‘no escape (kamu tidak bisa kabur)’.

Kata Cooper, tiap sesi latihan ada empat sampai lima segmen dengan masing-masing segmen berlangsung selama empat sampai lima menit. Dan itu dilakukan berulang-ulang.

Para pemain seperti berada di kamp militer. Mereka terkepung oleh para staf yang berjaga-jaga di luar lapangan. Tiap kali bola keluar, para staf akan langsung mengembalikannya dan para pemain melanjutkan latihannya.

“Semuanya serba man-to-man,” kata Cooper.

Sesi latihan yang seperti neraka itu, kata Cooper, membuat pertandingan jadi terasa lebih mudah. Setelah dihabisi selama tujuh hari dalam sepekan, para pemain justru mendapatkan kemudahan pada akhir pekan. “Sesi pembahasan taktiknya juga mendalam,” ujar Cooper.

“Pokoknya, semuanya selalu soal 11 vs 11 non-stop,” ucap gelandang Leeds, Mateusz Klich.

Setelah dipaksa berlari dan mengoper bola tanpa henti sepanjang sesi latihan, Klich menyebut bahwa ia tak bisa lari barang sejenak dari kenyataan. Bahkan tidak ketika ia menjalani tugas kenegaraan bersama Timnas Polandia.

“Semuanya begitu strict. Bahkan ketika sedang menjalani tugas internasional, saya selalu menimbang berat badan saya. Saya harus memastikan berat badan saya sama dengan ketika saya meninggalkan klub,” kata Klich.

Murderball, tentu saja, bukannya tidak punya kelemahan. Seperti yang diakui oleh Herrera, dan banyak diterka oleh para pundit, gaya permainan Bielsa rentan menghabiskan energi dan fisik pemain. Tak sampai musim habis, mereka sudah kendur.

Whiplash

Teman saya di podcast Box2Box Bola, Dex Glenniza, adalah penggemar Leeds United. Dia hipster. Bahkan sebelum kalian semua mengelu-elukan Leeds, dia sudah lebih dulu mengikuti permainan mereka di Championship.

Tiap kali ada yang mempertanyakan kapasitas Leeds untuk bertahan sepanjang musim, ia akan langsung membantahnya. Argumennya jelas: Championship yang jumlah pertandingannya lebih banyak berhasil dilalap Leeds dengan baik. Itu bukti bahwa mereka punya cukup bensin untuk bermain intens sepanjang musim.

Namun, bukan berarti Leeds tidak menghadapi problem. Kebanyakan tim-tim di Championship bermain dengan gaya defensif ketika menghadapi Leeds. Sementara, di Premier League, kemewahan yang sama boleh jadi tak akan banyak-banyak mereka dapatkan.

Ketika menghadapi tim yang bermain sama terbukanya, Leeds tentu saja harus memikirkan kemungkinan tim tersebut menghajar balik mereka lewat transisi yang sama cepatnya. Oleh karena itu, jangan heran apabila skor ketat seperti ketika menghadapi Liverpool pada laga pertama (4-3) bakal berulang.

Satu yang amat jarang didapatkan Bielsa adalah tim yang betul-betul bisa menerimanya. Dia juga jarang betul bisa berlama-lama di sebuah tim. Di Athletic, ia hanya menjabat sekitar 23 bulan. Ketika Athletic mengalami masalah dengan pemain-pemain pentingnya —ada yang dijual dan dibekukan—, permainan tim menurun. Bielsa pun tak mendapatkan perpanjangan kontrak.

Leeds berbeda. Keberhasilan membawa The Whites kembali ke Premier League, setelah absen selama 16 tahun, membuat Bielsa disanjung bak penemu senter untuk sekelompok orang yang baru mengenal api.

Padahal, untuk berbicara pun Bielsa masih harus menggunakan penerjemah. Ada tembok antara dirinya dengan orang-orang yang hidupnya telah ia sentuh. Namun, tentu saja semuanya mempersetankan itu.

Pemain-pemainnya menaruh respek dan mengikutinya tanpa banyak tanya, meski Bielsa sendiri enggan untuk terlalu dekat dengan para pemainnya. Jarak dengan para pemainnya, buat dia, tetap ia perlukan.

Bielsa dan para pemainnya mengingatkan saya akan Terence Fletcher dan Andrew Neiman dalam ‘Whiplash’. Jarak itu tidak akan penting. Mereka, toh, pada akhirnya akan menunjukkan rasa respek masing-masing lewat bahasa yang cuma mereka yang memahaminya: Jazz dan ketukan.