Musim Baru Locatelli

Foto: Instagram @locamanuel73

Locatelli disebut-sebut diperebutkan Juventus dan Arsenal. Memangnya apa yang bisa ia berikan untuk kedua klub itu?

Pandemi Manuel Locatelli dimulai ketika Adriano Galliani menyodorkan pena untuk membubuhkan tanda tangan sebagai bukti bahwa ia bersedia meninggalkan AC Milan. 

Sekoci bagi Locatelli itu bernama Sassuolo. Di klub ini, ia menemukan alasan yang membuat manajemen Milan menepuk jidat sendiri setiap kali menyaksikannya berlaga. 

Klimaks pertama bagi Locatelli bernama Piala Eropa 2020. Ia menjadi salah satu dari 26 pemain yang dipanggil Roberto Mancini untuk memperebutkan gelar juara Eropa setelah musim yang buruk jelang Piala Dunia 2018.

Locatelli lagi-lagi tampil mengesankan, Italia jadi juara. Bursa transfer lantas mendekatkannya pada dua klub raksasa di Eropa, Juventus dan Arsenal.

Juventus bukan tempat yang nyaman, bahkan bagi para pemain bintang. Klub ini berkawan erat dengan nama besar. Performamu buruk sedikit saja, kau bisa dibilang tak pantas berlaga bersama Juventus. 

Celakanya, Juventus menjalani musim yang pelik pada 2020/21. Mereka tak sanggup mengamankan scudetto, hanya menutup musim sebagai juara Coppa Italia dan Piala Super Italia. Bagi klub lain, dua gelar juara per musim sudah oke. Namun, Juventus tidak sama dengan klub kebanyakan. Bagi mereka menjadi raja di Italia itu wajib hukumnya.

Pangkal hasil buruk itu adalah Juventus tampil sebagai tim yang bingung. Kepelatihan Andrea Pirlo cukup berbeda. Dia lebih percaya role (peran) ketimbang posisi. Itulah mengapa skema yang digunakan di setiap pertandingan dari pekan ke pekan hampir selalu berubah. Itu bukan berarti buruk. 

Skema Juventus yang fleksibel membuat permainan mereka menjadi cair. Masalah utamanya, para pemain membutuhkan waktu buat menerjemahkan pemikiran Pirlo di lapangan, sedangkan Pirlo yang datang tanpa pengalaman melatih juga tidak memiliki cara agar timnya bisa segera mewujudkan taktik yang diinginkannya.

Juventus tak mau lagi macam-macam. Agaknya mereka menyadari betul bahwa melatih tim tidak sama dengan menulis tesis. Massimiliano Allegri kembali dipanggil. Latihan keras yang tak memberikan kesempatan kepada para pemain untuk bercanda sedikit saja pun digelar. Sambil menunggu musim baru dimulai, Juventus memburu pemain. Salah satu di antaranya adalah Locatelli.

Salah satu perkara paling memuakkan jika bicara soal Juventus adalah isu tentang Cristiano Ronaldo. Apa boleh buat, kau mesti bertanggung jawab atas keputusan mendatangkan megabintang sepertinya. Itu artinya, permainan Juventus mesti bermuara pada Ronaldo melulu. Apa-apa Ronaldo, taktik harus menyesuaikan agar Ronaldo tidak tersisih. 

Terlepas dari benar atau tidaknya isu tersebut, Juventus memang tim yang bermasalah. Yang sebenarnya paling mencolok adalah kecenderungan untuk memodernisasi filosofi sepak bola. Allegri awalnya dipecat dan digantikan oleh Maurizio Sarri yang sepak bolanya cukup kekinian: Mengandalkan umpan-umpan pendek dan penguasaan bola. 

Sayangnya, taktik Sarri tidak bekerja dengan maksimal meski mereka tetap sanggup menjadi juara Serie A. Pirlo akhirnya didapuk sebagai pelatih. Keputusan menggaet Pirlo memang terkesan seksi karena ia dapat menerjemahkan ide sepak bola indahnya pada Juventus. Ini membukakan kesempatan bagi Juventus untuk menciptakan sepak bola mereka sendiri.

Sayangnya, Juventus tak punya banyak waktu untuk mewujudkan misi tersebut. Manajemen tak cukup sabar untuk menunggu lebih dari semusim sehingga Pirlo pun berhadapan dengan pemecatan.

Pertanyaannya, apakah yang membuat Juventus tampil biasa-biasa saja di masa kepelatihan Pirlo?

Mengubah pertahanan kompak ke garis pertahanan tinggi membutuhkan transisi yang cukup rumit. Salah satu efek yang timbul adalah berkurangnya percobaan tembakan karena bola lebih sering bergulir jauh dari area pertahanan lawan, entah saat menguasai bola atau saat berusaha merebut penguasaan bola lawan dengan counter pressing

Di situasi ini, Juventus merupakan tim yang unik. Mengutip statistik ESPN, Juventus tercatat sebagai tim kedua yang paling sering "membiarkan" lawan menembak per possession. Angkanya mencapai 0,13 shot per possession. Biasanya, tim-tim yang tampil baik di kompetisi liga memiliki tembakan per possession yang rendah. Ambil contoh Manchester City yang membukukan angka 0,08 tembakan per possession.

Untungnya, Juventus mencatatkan xG per shot allowed yang cukup rendah, yaitu 0,10. Kesimpulan sederhananya, mereka tidak membiarkan lawan melepas tembakan-tembakan berbahaya. Akan tetapi, bukan berarti tidak ada yang perlu dikhawatirkan oleh Juventus. Lawan-lawan Juventus hanya kehilangan 34,6% penguasaan bola per laga di sepertiga akhir pertahanan mereka. Ini merupakan kedua yang terendah dari 20 tim terbaik di Eropa. 

Lawan-lawan tersebut juga menyelesaikan 39% possession sampai ke area sepertiga serangan Juventus per pertandingan. Angka-angka itu mengindikasikan bahwa Juventus tidak melakukan pressing yang cukup baik meski menyebut diri sebagai tim yang mengandalkan possession.

Jika menyebut Ronaldo sebagai biang kerok persoalan ini rasanya tidak pas juga karena bagaimanapun, Ronaldo tidak didatangkan untuk menekan lawan atau melakukan aksi memenangi bola kembali (recovery). Namun, penyerang-penyerang hebat memang tidak didesain untuk itu. Yang menjadi pembeda, para penggawa itu memiliki orang-orang di sekitar mereka yang dapat diandalkan untuk melakukan recovery

Mengutip ulasan Bill Connelly di ESPNFC, penyerang sekaliber Robert Lewandowski memiliki Joshua Kimmich, Leon Goeretzka, dan Alphonso Davies yang bisa diandalkan untuk recovery. Bila ditotal ketiganya membuat 30,96 recovery per pertandingan liga. Begitu pula dengan Kylian Mbappe yang memiliki Gueye, Rafinha, dan Marco Verratti; atau Romelu Lukaku yang ditopang oleh Nicolo Barella dan Arturo Vidal. 

Bandingkan dengan Ronaldo yang dikelilingi oleh Rodrigo Bentancur, Danilo, dan Matthijs De Ligt. Untuk atribut yang sama mereka hanya mencatatkan 24,95 per pertandingan liga dengan rincian De Ligt 8,07, Danilo 7,88, dan Bentancur 9. Kalaupun angka-angka itu bukan indikator yang buruk, mereka juga tidak dapat bergerak sejauh Ronaldo.

Agar possession football Juventus tidak sia-sia, mereka mesti memiliki seseorang yang tidak mudah kehilangan bola. Itulah sebabnya, Locatelli bisa menjadi orang yang tepat. Meski terdepak dari Milan, Locatelli bertumbuh di Sassuolo. 

Ternyata Sassuolo adalah sebenar-benarnya sekoci yang aman bagi Locatelli. Di situlah ia belajar  cara menjadi salah satu gelandang terbaik yang dimiliki sepak bola Eropa. 

Di bawah asuhan Roberto De Zerbi, Sassuolo bermain dalam formasi 4-2-3-1. Locatelli turun arena dengan mengemban peran mendistribusikan bola ke lini serang. 

Keberhasilannya menjalankan tanggung jawab itu ditunjukkan dengan kedisplinan mengalirkan umpan kepada pemain seperti Domenico Berardi atau Filip Djuricic. Mengutip statistik Fbref, ini diindikasikan dengan rataan umpan ke sepertiga akhir yang mencapai 8,5 umpan per pertandingan dan 8,37 umpan progresi (akurasi 98%) per laga.

Untuk mengatasi masalah possession Juventus yang cukup melempem, kemampuan recovery Locatelli juga dapat diperhitungkan. Di Serie A 2020/21 ia membukukan rerata 9,5 recovery per pertandingan. Jumlah itu jauh lebih baik masing-masing dari De Ligt, Bentancur, Adrien Rabiot, maupun Danilo.

Locatelli juga menjadi pemain yang paling aman untuk menerima umpan dari para pemain Sassuolo. Itu adalah bukti bahwa Locatelli merupakan kunci penguasaan bola sekaligus progresi I Neroverdi. Predikat itu melekat karena Locatelli andal dalam distribusi bola dan cerdik dalam menjaga kontrol bola.

Locatelli mahir mengelak dari pressing serta tenang saat mengecoh lawan. Locatelli juga merupakan pemain yang selalu mewawas pemosisian dan potensi pergerakan lawan sebelum menerima bola.

Ada yang menyebut bahwa Locatelli akan menjalankan peran serupa Paul Pogba jika ia menjejak ke Juventus. Anggapan itu rasanya bisa menjadi kenyataan. Melihat heatmap Locatelli di Sassuolo, ia nyaris menjadi gelandang tersibuk. Ia berperan membantu pertahanan, ikut membantu melakukan build-up, hingga dalam sejumlah momen mengkreasikan peluang di sepertiga akhir lapangan.

Locatelli memang bukan pemain yang terus-menerus beroperasi di area kotak penalti. Namun, bukan tak mungkin keberadaannya bisa menjadi opsi lain bagi serangan Juventus. Ambil contoh di laga melawan Swiss. Jangan lupa bahwa ia yang datang ke area para striker untuk mengonversi peluang.



Juventus tak menjadi satu-satunya klub yang dikaitkan dengan Locatelli. Arsenal pun dikabarkan tengah mengupayakan tanda tangannya. Isu mendekatnya Locatelli ke Arsenal dikaitkan dengan potensi duetnya dengan Thomas Partey. 

Jika berduet dengan Locatelli, Partey diharapkan dapat mencapai potensi terbaiknya. Keberadaan Locatelli bisa saja memberikan ruang yang lebih luas kepada Partey. Kemungkinan ia tidak selalu dituntut berada di depan pemain belakang, tetapi juga menutup kreator serangan lawan jika dibutuhkan. Dengan begitu, Arsenal akan memiliki pemain pivot yang mampu menutup pergerakan para penyerang lawan. 

Partey tiba di Arsenal dengan ruang lingkup untuk bermain lebih ekspansif daripada yang dia lakukan di Atletico Madrid. Sebagai gelandang bertahan proaktif, menghindari tekanan dan membawa Arsenal ke fase kedua adalah hal yang membuat permainan alaminya bisa hidup.

Locatelli dapat bermain di tepi dan memungkinkan Partey untuk melepaskan turnover dan menghentak. Duet impian ini tidak akan hanya bergantian mengemban tugas bertahan dan menyerang, tetapi juga dapat berkontribusi di sepertiga akhir lapangan. 

Keduanya dapat melepas umpan ke pemain depan melalui ruang sempit dan mematahkan garis pertahanan lawan. Fleksibilitas dan keserbabisaan keduanya menjadi nilai plus sehingga bukan tak mungkin missing link di lini kedua Arsenal itu dapat segera teratasi.