Nicolas Pepe dan Deja Vu Arsenal

Foto: Twitter @Squawka.

Rasa-rasanya Nicolas Pepe layak mendengarkan opini dari Ljungberg. “Dia menahan perkembangan dirinya dengan kelakuannya sendiri.”

LOSC Lille merengkuh gelar Ligue 1 ketiganya sepanjang sejarah pada musim 2010/11. Pada akhir musim, anak-anak asuh Rudi Garcia sukses merengkuh 76 angka hasil dari 21 kali menang dan 13 kali imbang. Cukup impresif, mengingat terakhir kali mereka memenangi Liga Prancis sebelum itu adalah pada 1954. Sampai hari ini, Lille belum pernah lagi menjadi juara.

Boleh jadi, musim itu adalah salah satu musim terhebat dalam sejarah kesebelasan. Salah satu pemain Lille yang moncer di musim tersebut adalah Gervais Yao Kouassi atau yang lebih kita kenal dengan Gervinho. Pemain asal Pantai Gading itu sukses membuat 15 gol untuk Lille di ajang Ligue 1.

Torehan tersebut menempatkan Gervinho di bawah pemain depan Lille kala itu, Moussa Sow, yang mencetak 25 gol. Tak cuma gol, Gervinho juga mampu memberikan servis kepada rekan-rekannya. Total, ada 11 assist yang ia buat pada musim Lille menjadi juara.

Catatan hebat itu membuat Arsenal kepincut. Jadilah The Gunners mendaratkannya ke London Utara pada musim 2011/12. Tak disebutkan berapa biaya yang dikeluarkan Arsenal untuk mendaratkan Gervinho. Yang pasti Manajer Arsenal saat itu, Arsene Wenger, suka dengan Gervinho karena bisa bermain di banyak posisi.

"Gervinho adalah pemain yang bisa bermain di beberapa posisi di lini depan. Dia bisa bermain di kanan, kiri, atau di tengah. Dia memiliki teknik yang bagus dan sangat piawai dalam situasi satu lawan satu," tutur Wenger seperti dilansir BBC.

Namun, Gervinho tak setokcer kala bermain dengan Lille. Pendukung Arsenal lebih banyak dibuat gemas dan geleng-geleng kepala oleh aksi Gervinho.

Pada debutnya saja, Gervinho sudah memberikan impresi yang tidak bagus. Melawan Newcastle United pada pekan pertama Premier League, Gervinho langsung kena kartu merah. Pemain yang mengenakan jersi bernomor punggung 27 itu terlibat perkelahian dengan Joey Barton.

Imbasnya, Gervinho kudu absen tiga pertandingan. Problem yang ia buat pada pertandingan debutnya itu bukan cuma perkelahian dengan Barton. Manajer Newcastle kala itu, Alan Pardew, juga menuding Gervinho melakukan diving di kotak penalti ketika berduel dengan Cheick Tiote.

Awal yang sudah buruk itu berlanjut menjadi musim yang sebaiknya Gervinho lupakan saja. Ia tidak bisa memperlihatkan kemampuan terbaiknya. Cuma ada empat gol dan tujuh assist yang dibuatnya untuk Arsenal di semua kompetisi.

Pada musim berikutnya, perolehan gol Gervinho memang bertambah. Namun, tetap saja tak menembus dua digit. Gervinho cuma membuat tujuh gol dan lima assist dalam 26 laga di lintas ajang.

Pencapaian yang di bawah ekspektasi itu (kalau tidak mau menyebutnya “buruk”) membuat Gervinho pindah di musim 2013/14 ke AS Roma. Itu artinya, cuma ada dua musim kebersamaan Arsenal dan Gervinho.

***

Musim 2018/19, Lille kembali tampil mengesankan di Ligue 1. Namun, mereka gagal menjadi juara usai kalah bersaing dengan kesebelasan super-kaya, Paris Saint-Germain. Kendati begitu, Lille tetap menelurkan bakat brilian. Pada musim tersebut, giliran Nicolas Pepe yang bersinar bersama Les Dogues.

Pemain asal Pantai Gading itu bisa menorehkan 22 gol di ajang Ligue 1. Jumlah itu lebih baik dari Edinson Cavani (18 Gol) dan Neymar (15 Gol). Pepe cuma kalah dari Kylian Mbappe yang menorehkan 33 gol.

Dribel dan kecepatan menjadi senjata utama dari Pepe. Selain itu, Pepe adalah pemain yang berorientasi pada serangan. Ketika bola ada di kakinya, Pepe akan sesegera mungkin membawa bola ke depan melewati lawan-lawannya.

Pepe juga memiliki kontrol dan olah bola yang bagus. Ditunjang dengan kecepatan, tentunya ia menjadi mimpi buruk untuk para pemain belakang lawan. Semua skill yang Pepe miliki ditunjang oleh Lille yang kerap memainkan strategi counter attack. Di sini, Pepe memiliki ruang yang banyak untuk bisa berlari sambil membawa bola.

Nah, aksi Pepe yang ciamik di musim 2018/19 membuat Arsenal kepincut. Pada musim setelahnya, Arsenal memboyong Pepe. Nilai transfer Pepe cukup fantastis untuk tim yang terkenal irit seperti Arsenal.

Lucunya, pada awal-awal bursa transfer manajemen Arsenal bilang tak memiliki dana transfer yang banyak. Apalagi, ‘Meriam London’ gagal melaju ke Liga Champions di musim berikutnya.

Namun, dengan strategi tak bayar langsung, Pepe tetap berlabuh di Arsenal. Dana yang dikeluarkan The Gunners untuk mendatangkan Pepe mencapai 72 juta poundsterling. Angka itu membuat Pepe menjadi pemain termahal Arsenal sepanjang sejarah.

Pada musim pertamanya, Pepe bisa membuat delapan gol dan 10 assist untuk Arsenal di semua kompetisi. Pepe juga membawa Arsenal menyabet gelar FA Cup di akhir musim. Sekilas, catatan ini memang tidak buruk. Namun, mari kita lihat impak Pepe terhadap permainan.

Pada musim terakhirnya di Lille, Pepe bermain selama 3.332 menit di Ligue 1. Dari total menit tampil tersebut, ia mencetak 22 gol dan 11 assist. Namun, yang tak kasatmata adalah torehan peluang yang ia kreasikan. Per catatan WhoScored, Pepe mengkreasikan 1,8 kans per laga dan --ini yang menunjukkan betapa agresifnya dia di Lille-- melepaskan 3,1 tembakan per laga.

Impak tersebut menurun ketika ia bersalin ke kostum Arsenal. Menit bermainnya yang “cuma” 2.016 di Premier League, tapi boleh jadi itu karena impaknya terhadap permainan juga tidak spesial. Sepanjang musim, Pepe “hanya” menghasilkan 1,3 umpan kunci per laga dan melepaskan 1,6 tembakan per laga.

Hasilnya pun terlihat pada catatan statistik yang lebih kasatmata: Pepe hanya bikin 5 gol dari 31 laga bersama Arsenal di Premier League.

Pada musim keduanya, Pepe jarang mendapatkan menit bermain khususnya di Premier League. Sejauh ini, pemain berkaki kidal itu baru mengemas 278 menit bermain. Pepe juga baru membuat satu gol.

Sial bagi Pepe, kesempatan menjadi starter ia buang sia-sia. Melawan Leeds United, Minggu (22/11/2020) malam WIB, Pepe yang tampil sejak menit pertama malah membuat tindakan bodoh berujung kartu merah. Padahal, itu kali kedua Pepe jadi starter di Premier League musim ini.

Sepanjang laga Pepe memang mendapat pengawalan ketat dari full back Leeds, Ezgjan Alioski. Tak jarang kedua pemain kedapatan saling tarik-menarik baju dalam perebutan bola.

Puncaknya terjadi pada menit ke-51. Emosi Pepe tersulut membuatnya menanduk wajah Alioski. Usai meninjau VAR, wasit lalu memberikan kartu merah kepada Pepe. Manajer The Gunners, Mikel Arteta, berang dengan sikap dari Pepe.

"Ini tidak bisa diterima. Saya sudah bicara ke dia dan bilang bahwa hal semacam itu tak bisa diterima. Saya menyukai sikap tim. Ketika Pepe mengecewakan tim, mereka kesulitan dan melakukan yang terbaik sebisanya," kata Arteta dalam wawancara dengan Sky Sports.

The Athletic menyebut, Pepe menghancurkan kepercayaan Arsenal yang dari sananya sudah rapuh duluan. Mereka juga tidak mengherankan pernyataan Arteta. Sebagai pelatih yang terlihat kalem di luar, nyatanya pria asal Spanyol itu terbilang blak-blakan ketika berbicara.

Opini Freddie Ljungberg, eks gelandang Arsenal yang sempat menjadi caretaker tim, juga mendukung kekecewaan Arteta dan suporter. Menurut Ljungberg, laga melawan Leeds seharusnya menjadi kesempatan Pepe untuk unjuk gigi. Kebiasaan Pelatih Leeds, Marcelo Bielsa, menerapkan man-to-man marking semestinya menguntungkan Pepe yang amat doyan melakukan dribel.

Minimnya impak Pepe terhadap permainan Arsenal hingga keputusan Arteta memainkannya pada laga melawan Leeds sesungguhnya berkaitan. Untuk mencari jawaban dari situasi yang disebut belakangan, kita bisa mengacu kepada opini Ljungberg. Untuk yang pertama, kita bisa melihat kebiasaan dan gaya bermain Arsenal di bawah arahan Arteta.

Arteta memang masih melanjutkan tradisi Arsenal untuk bermain mengandalkan penguasaan bola. Namun, perlu diingat bagaimana Arteta menggunakan penguasaan bola itu. Alih-alih menjadikan Arsenal sebagai tim yang melakukan build-up dengan lambat dan penuh kesabaran, Arteta justru menjadikan timnya melakukan progresi serangan dengan cepat.

Pepe, sebagai pemain yang senang melakukan dribel dan menguasai bola lama-lama, mau tidak mau mesti beradaptasi. Selain kudu berhadapan aspek adu fisik yang masih kerap hadir di Premier League, ia juga mesti menyesuaikan diri dengan gaya permainan Arteta yang direct.

Meski sama-sama bermain direct, di Lille Pepe mendapatkan kesempatan untuk membawa bola sebanyak-banyaknya. Di Arsenal, ia tidak mendapatkan kemewahan serupa. Arteta lebih suka progresi serangan bertumpu pada aliran bola cepat dan pergerakan tanpa bola untuk mengeksploitasi ruang kosong yang di area lawan.

Sebagai perbandingan, di Premier League musim lalu Pepe cuma mencatat 72 take-ons completed (dribel melewati lawan) di Premier League. Berbeda di Ligue 1 saat Pepe bisa membuat 102 take-ons completed.

Ironisnya, setelah Pepe terkena kartu merah, Arsenal justru bermain dengan gaya bermain yang amat mungkin lebih menguntungkan Pepe. Karena kalah jumlah, The Gunners memilih untuk lebih disiplin menjaga shape dan bertahan dengan compact. Ini membuat mereka bertahan lebih dalam sembari menunggu kemungkinan untuk melancarkan serangan balik.

Wajar kalau kemudian Arteta lebih senang memainkan Willian Borges yang lebih kreatif (atau setidaknya tidak one-dimensional) dan punya kemampuan passing mumpuni. Wajar pula kalau Pepe terpinggirkan musim ini.

***

Pepe sempat mengeluh. Kepada Canal+, pria kelahiran 29 Mei 1995 itu mengungkapkan betapa bikin frustrasinya cuma bisa melihat kawan-kawan setimnya bermain dari bench.

“Tujuan saya adalah untuk mendapatkan kesempatan bermain lebih banyak. Memiliki menit bermain yang amat sedikit itu… pokoknya, pemain mana pun pasti frustrasi ketika cuma bisa duduk di bench,” ujarnya.

Namun, rasa-rasanya Pepe juga layak mendengarkan opini dari Ljungberg. “Dia menahan perkembangan dirinya dengan kelakuannya sendiri.”